NovelToon NovelToon
Dijodohin Dengan Kepala Desa

Dijodohin Dengan Kepala Desa

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Perjodohan / Cintamanis / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: komurolaa

Ketika Olivia, gadis kota yang glamor dan jauh dari agama, dipaksa menikah dengan Maalik—kepala desa yang taat, dunia mereka berbenturan. Tapi di balik tradisi, ladang, dan perbedaan, cinta mulai tumbuh… pelan-pelan, namun tak terbendung.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon komurolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

[ BAB 7 ] Lamaran

Acara sudah selesai. Musik lembut masih mengalun samar di udara malam, berpadu dengan gemerincing sendok garpu dan gelak tawa tamu-tamu yang mulai larut dalam suasana hangat. Cahaya lampu gantung yang menggantung elegan di atas meja makan memantul di gelas-gelas kristal, mempercantik suguhan mewah yang tersaji di sepanjang meja panjang keluarga Olivia.

Olivia duduk di sisi kanan Maalik. Tubuh laki-laki itu tegap, duduk terlalu lurus seolah tongkat kayu terselip di punggungnya. Olivia meliriknya dari ujung mata, lalu mendesah pelan dalam hati. Kaku banget. Kayak kanebo kering, batinnya. Kalau bisa melipat kursi, mungkin dia sudah angkat kaki dari tadi.

Untuk mengalihkan kekesalannya, Olivia melayangkan pandangan ke sekelompok anak kecil yang sedang bermain tak jauh dari tempat duduk mereka. Suara tawa dan langkah berlarian kecil terdengar seperti gangguan baginya. Wajah Olivia mengerut seketika. Ia bisa menebak, itu pasti anak-anak dari keluarga besar Maalik. Mungkin keponakan, mungkin adik sepupu. Tapi baginya, tetap saja... anak-anak. Makhluk kecil berisik yang tak pernah bisa ia mengerti. Ia menggertakkan gigi kecil-kecil, lalu memutar bola matanya malas.

Tiba-tiba, suara berat di sampingnya memecah lamunan dongkolnya.

“Kamu sudah makan?” tanya Maalik dengan nada tenang, datar seperti biasa.

“Belum,” jawab Olivia, suaranya terdengar jelas-jelas malas, bahkan tanpa upaya menyembunyikan nada tidak pedulinya.

“Mau saya ambilkan?” tawar Maalik dengan sopan, tanpa menoleh.

Olivia hanya meliriknya sekilas, lalu menukas dengan tajam, “Nggak. Gue diet.”

Tak ada kemarahan dalam respons itu, hanya kekesalan yang nyaris bosan. Maalik hanya mengangguk kecil, lalu kembali menatap lurus ke depan. Sikapnya tetap diam, seperti batu karang yang tidak terusik meski dihantam ombak.

Olivia bersandar sedikit ke kursinya, menahan rasa jengah yang semakin mengendap dalam dada. Tapi kemudian matanya menangkap sesuatu. Seorang wanita dengan riasan sederhana namun tatapan tak suka. Duduk di seberang ruangan, bersama kelompok rombongan keluarga Maalik. Sudah sejak awal, Olivia merasa mata wanita itu terus menilainya. Pandangan yang tidak ramah. Pandangan yang sama seperti saat Maalik pertama kali datang bersama orangtuanya dan kakeknya ke rumah Olivia.

Olivia menyipitkan mata, lalu membuka suara.

“Nyokap lo nggak suka sama gue,” ucapnya santai, seolah hanya sedang menyebutkan fakta cuaca.

Maalik menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Kamu tahu dari mana?”

Olivia mendengus pendek, senyumnya miring sinis. “Orang buta pun pasti bisa baca gelagat nyokap lo. Apalagi gue.”

Untuk sesaat, Maalik hanya diam. Ia menarik napas panjang, seperti sedang memilih kata-kata yang tepat di antara lautan emosi yang tidak ingin ia perlihatkan.

Akhirnya ia berkata, suara rendahnya mengalir dengan ketegasan yang tak bisa dibantah.

“Saya yang memilih kamu, Olivia. Dan ibu saya tahu, sekalipun dia keberatan... dia tidak akan pernah bisa ikut campur dalam urusan rumah tangga, apalagi tentang istri dan keluarga istri saya.”

Matanya menatap lurus pada Olivia. Bukan tatapan membara, bukan pula membujuk, tapi seperti pagar kokoh yang memagari keyakinannya. Olivia tidak menjawab langsung. Ia hanya diam, menatap lelaki di sampingnya dengan ekspresi datar. Tapi ada seberkas sesuatu yang tak ia ucapkan—mungkin keterkejutan, mungkin juga sejumput rasa yang belum ia kenali.

Maalik kembali menoleh ke depan. Ia tidak perlu mengulang kalimatnya. Baginya, satu kali cukup untuk menyampaikan bahwa dirinya bukan pria yang bisa diatur ibunya. Dan Olivia, meski tidak berkata apa-apa, tahu betul kalimat itu bukan hanya pernyataan... tapi janji.

-----

"Olivia... Maalik... kalian belum makan, Nak?" suara Camilla terdengar lembut, hangat seperti biasanya, meski ada semburat lelah yang terselip di ujung kalimatnya. Perempuan paruh baya itu menatap dua anak muda di hadapannya dengan mata penuh kasih.

Maalik menundukkan kepala sedikit, sopan. "Saya sudah makan tadi, Tante. Terima kasih," jawabnya halus, dengan senyum kecil yang tulus.

Camilla mengangguk lalu menoleh ke putrinya. "Olivia?"

"Gak nafsu," jawab Olivia dingin, pendek, tanpa menatap ibunya.

Senyum Camilla menegang. Sekilas, ia menatap Maalik dengan raut memaklumi, lalu mengembuskan napas dalam-dalam. Sementara Maalik hanya mengangguk pelan, menerima suasana tak nyaman itu dengan kesabaran yang tak tergoyahkan.

Tak lama kemudian, langkah kaki berat dan berwibawa mendekat. Hadikusuma, sang Eyang yang juga kepala keluarga besar itu, berdiri tegak di dekat meja. Wajahnya datar, suaranya tenang namun tak bisa disangkal kekuatannya.

"Olivia."

Gadis itu hanya melirik sekilas sebelum menjawab dengan nada malas, "Apa lagi?"

"Selama beberapa hari ke depan menjelang pernikahan, kamu akan dipingit. Tidak ada keluar rumah. Gunakan waktumu untuk berkemas dan menyiapkan diri."

Olivia mengerutkan kening. Kedua alisnya bertaut dan satu di antaranya terangkat sinis. "Berkemas? Maksud Eyang?"

"Setelah menikah, kamu akan ikut suamimu tinggal di desa," jawab Hadikusuma tanpa jeda, suaranya tetap tenang seperti samudra dalam, namun begitu jelas, tak bisa diganggu gugat.

"Apa?!" seruan Olivia menggema, mengejutkan sebagian tamu yang mulai melirik ke arah mereka. Beberapa bisik-bisik terdengar, tapi Olivia tak peduli.

"Jaga intonasimu. Kita sedang ada banyak tamu," tegur Hadikusuma.

Namun Olivia justru semakin tak terkendali. "Tidak peduli! Biar sekalian mereka tahu siapa Olivia! Biar semua tahu gimana rasanya diperlakukan seperti ini!" suaranya tinggi, matanya mulai berkaca-kaca.

"Kenapa kalian semua bertindak seolah Olivia ini gak punya hak untuk memilih? Gak ada satu pun dari kalian yang tanya, Oliv mau atau tidak! Oliv ingin ini atau tidak! Semua sudah diputuskan, seakan hidup Oliv ini bukan milik Oliv sendiri!" serunya lagi, suaranya tajam, menyayat seperti belati yang dilemparkan dengan kemarahan.

Hadikusuma tetap berdiri tegak, tak bergeming. "Eyang tidak perlu bertanya padamu. Sudah Eyang katakan, semua keputusan saat ini ada di tangan Eyang dan Maalik."

Seketika, dunia Olivia terasa runtuh. Kepalanya berdenyut, dadanya sesak. Ia menghapus air mata yang mulai jatuh dengan kasar, lalu membalikkan tubuh dan melangkah pergi cepat-cepat, meninggalkan suasana yang tiba-tiba sunyi dan sesak.

Camilla memegangi dada, menahan haru dan sedih. Ratih, istri Hadikusuma, menunduk pilu. Sementara Maalik hanya menatap punggung Olivia yang menjauh, tatapan yang tak bisa dijelaskan: antara iba, harap, dan tekad yang mulai terbentuk.

Ratih berdiri pelan, menghampiri Maalik yang masih duduk tenang di antara kursi tamu. Wajahnya teduh, sorot matanya lembut seperti embun pagi.

"Maalik..." panggilnya pelan, seperti seorang ibu pada anak yang ingin ia rangkul dengan penuh kasih.

Maalik menoleh, segera berdiri menghormati. "Iya, Bu."

Ratih tersenyum, lalu duduk di sampingnya dan menyentuh tangan pemuda itu. "Panggil Eyang saja ya, Nak. Sejak awal keluarga ini sudah menerima kamu sebagai bagian dari kami."

Maalik mengangguk pelan, senyumnya menghormati.

Ratih menghela napas lirih. "Olivia memang keras kepala, Maalik. Sejak kecil, dia terbiasa mendapat apa yang dia mau. Ia manja, mudah tersinggung, dan sering tak mau kalah. Tapi bukan karena dia jahat, hanya saja... hatinya belum benar-benar mengerti arah."

Ia menatap Maalik lebih dalam, seolah ingin memastikan bahwa kata-katanya menyentuh hingga ke relung batin lelaki muda itu.

"Eyang harap kamu bisa membimbingnya. Bukan hanya membawanya ke rumahmu... tapi juga ke jalan yang lebih baik. Ajari dia tentang kesederhanaan, tentang makna sabar, dan kalau kamu bisa... kenalkan dia pada kekuatan agama yang meneduhkan. Eyang tahu, kamu bisa jadi tempat berteduh yang ia butuhkan selama ini."

Ada jeda hening di antara mereka. Sebentuk kepercayaan begitu jelas terpahat dalam suara Ratih. Dan di balik ketenangan Maalik, ada ketulusan yang mulai menebal seperti awan sebelum hujan.

Dengan suara rendah namun yakin, Maalik menjawab, "Saya akan menjaga Olivia, Eyang. Insya Allah, saya akan membimbingnya dengan baik. Bukan hanya sebagai istri... tapi juga sebagai perempuan yang kelak akan menemukan jati dirinya."

Ratih menatap Maalik dengan mata basah namun penuh bangga. Dalam hatinya, ia menggenggam harapan bahwa mungkin, dari lelaki ini, Olivia akan belajar menjadi lebih dari sekadar pewaris nama besar... tapi juga perempuan yang bisa membahagiakan dirinya sendiri dan orang lain dengan utuh.

1
Titik Sofiah
awal yg menarik ya Thor /Good/
komurolaa: terimakasih kak💗
total 1 replies
Gái đảm
Endingnya puas. 🎉
Hoa xương rồng
Teruslah menulis dan mempersembahkan cerita yang menakjubkan ini, thor!
komurolaa: terimalasih kak
total 1 replies
Dani M04 <3
Menggugah emosiku.
komurolaa: terimakasih sudah mampir kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!