Menjalin hubungan dengan pria lajang ❌
Menjalin hubungan dengan duda ❌
Menjalin hubungan dengan suami orang ✅
Mawar tak peduli. Bumi mungkin adalah suami dari tantenya, tapi bagi Mawar, pria itu adalah milik ibunya—calon ayah tirinya jika saja pernikahan itu dulu terjadi. Hak yang telah dirampas. Dan ia berjanji akan mengambilnya kembali, meskipun harus... bermain api.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ila akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Senja menggantung indah di langit Jakarta, mewarnai cakrawala dengan semburat jingga yang hangat. Di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur, Mawar dan anak-anak jalanan berjalan beriringan di trotoar. Tangan mereka menggenggam tumpukan koran lusuh, sementara tawa riang mereka sesekali pecah di antara langkah-langkah kecil yang menyusuri jalanan.
Untuk pertama kalinya sejak tiba di kota ini, Mawar merasa sedikit lebih ringan. Kebersamaan dengan mereka—anak-anak yang juga sama-sama terhimpit kekurangan—memberinya ketenangan yang tak pernah ia duga.
Mawar menatap langit senja, rona keemasan membalut gedung-gedung tinggi di kejauhan. Bibirnya melengkung dalam senyum kecil.
“Terima kasih, Tuhan, untuk hari ini...”
Mereka terus melangkah, saling bergandengan, menyanyikan lagu-lagu kecil yang mereka ciptakan sendiri. Tak ada kemewahan, tak ada kepastian akan hari esok, tapi di saat ini—di bawah langit senja yang begitu indah—mereka bahagia.
Namun, kebahagiaan itu seketika hancur saat sebuah jeritan melengking membelah udara.
“Tolong! Tolooooong! Jambreeeeet!”
Refleks, Mawar dan anak-anak jalanan saling berpandangan. Tanpa pikir panjang, mereka segera berlari menuju sumber suara.
Di kejauhan, seorang wanita paruh baya tengah berjuang mempertahankan tasnya, sementara seorang pria bertubuh besar dengan tato menjalar di lengannya menariknya dengan kasar sebelum melarikan diri.
“Jambreeeeet!” Mawar berteriak lantang, diikuti oleh anak-anak jalanan lainnya.
Tanpa ragu, mereka berlarian mengejar pria itu. Langkah kaki mereka menghentak trotoar yang panas, menembus kerumunan yang hanya bisa menoleh tanpa berani bertindak. Nafas Mawar memburu, jantungnya berdentum cepat.
Ia tak peduli. Yang ada dalam benaknya hanya satu: ia harus menangkap orang itu!
Pengejaran membawa mereka ke sebuah gang sempit yang buntu. Pria itu tersadar dirinya terjebak. Ia menoleh ke belakang, mendapati Mawar dan anak-anak jalanan sudah mengepungnya.
Matanya menyala penuh amarah. Dengan suara berat dan geraman menyeramkan, ia mengancam, “Mau apa kalian, bocah-bocah sialan?!”
Mawar menelan ludah, tubuhnya sedikit gemetar. Tapi ia meneguhkan hatinya. Dengan suara bergetar, ia berkata, “Balikin tas itu!”
Pria itu terkekeh sinis, lalu melangkah maju dengan gerakan mengintimidasi. Namun, sebelum ia sempat bertindak lebih jauh, anak-anak jalanan serempak menyerbu.
Mereka mungkin kecil, mungkin tak berdaya, tapi mereka banyak.
Tangan-tangan kecil mencengkeram bajunya, mendorong, menendang, bahkan memukulkan koran yang mereka pegang. Pria itu berusaha melepaskan diri, namun jumlah mereka membuatnya kewalahan.
Di tengah kekacauan itu, Mawar melihat kesempatan. Dengan sekuat tenaga, ia meraih tas yang masih digenggam pria itu dan menariknya dengan kuat.
Brak!
Pria itu tersungkur ke belakang, nyaris jatuh ke tanah.
Menatap sekumpulan bocah yang tak kenal takut di hadapannya, ia mengumpat kasar sebelum akhirnya memilih melarikan diri.
Mawar terengah-engah, kakinya gemetar. Tangannya masih mencengkeram erat tas yang berhasil ia rebut.
Perlahan, ia melangkah mendekati wanita paruh baya yang masih berdiri dengan napas tersengal. Dengan tangan gemetar, ia menyodorkan tas itu.
“Ini, Bu. Tasnya sudah kembali.”
Wanita itu terdiam sejenak. Sorot matanya penuh keterkejutan, seakan tak percaya bahwa barang berharganya telah kembali. Sesaat kemudian, ia menghela napas lega, bahunya yang semula tegang perlahan merosot, melepaskan ketakutan yang sempat mencengkeramnya.
Tatapannya jatuh pada Mawar. Ada kehangatan di sana. Sesuatu yang menggetarkan hatinya. Ia tersenyum lembut, menatap gadis muda di hadapannya dengan perasaan yang entah mengapa terasa begitu asing, namun familiar di saat bersamaan.
“Terima kasih, Nak... Kalau tidak ada kalian, mungkin tas ini sudah hilang.”
Mawar hanya tersenyum tipis.
Namun, saat wanita itu kembali berbicara, tubuhnya seketika membeku.
“Terutama kamu... terima kasih sudah berani menolong saya.”
Deg!
Dunia seakan berhenti berputar.
Suara bising kota mendadak meredup. Yang tersisa hanya detak jantungnya yang berpacu begitu cepat, seolah nyaris meledak di dalam dadanya.
Dengan tangan bergetar, Mawar mengangkat wajahnya, menatap wanita di hadapannya lebih dalam.
Matanya... wajahnya... senyum itu...
Tuhan...
Tidak mungkin...
Benarkah ini kenyataan? Ataukah hanya mimpi sesaat?
Jantungnya berdentum keras. Darahnya berdesir, mengalir begitu kencang hingga ia hampir merasa pusing.
Wanita yang berdiri di hadapannya, wanita yang baru saja ia selamatkan...
Adalah Mutia.
Omanya.
Ibu dari Resti, ibunya. Ibu dari Lusi, tantenya.
Mawar nyaris tak bisa bernapas. Matanya memanas, dadanya bergemuruh hebat. Sejak kecil, ia hanya bisa mengingat wajah itu dalam kenangan yang samar, yang hampir memudar oleh waktu.
Namun kini, sosok itu berdiri tepat di hadapannya—nyata, begitu dekat, begitu familiar, tetapi terasa begitu jauh.
Bibirnya bergetar, suaranya tercekat di tenggorokan.
“Oma...”
Ia ingin berlari dan memeluknya. Ingin menangis di pelukannya, Ingin menceritakan semua penderitaan yang selama ini ia pendam—tentang ibunya yang telah tiada, tentang Anjani yang dengan penuh cinta merawatnya di pulau kecil setelah ibunya kehilangan kewarasannya.
Tentang betapa sulitnya hidup mereka…
Bertahun-tahun berjuang dalam keterbatasan, mengurus seorang ibu yang tak lagi mengenali mereka, bertahan dengan segala kekurangan, sementara dunia seakan menutup mata terhadap derita mereka.
Tapi sesuatu menahannya.
Oma Mutia tidak mengenalinya.
Bagaimana bisa mengenalinya? Terakhir kali mereka bertemu, Mawar masih bocah enam tahun yang polos. Sekarang ia telah tumbuh menjadi remaja, dengan wajah yang jauh berbeda dari dulu.
Namun, ada sesuatu yang aneh di mata Mutia.
Dahinya berkerut samar, tatapannya menelusuri wajah Mawar dengan lebih saksama.
“Mengapa gadis ini terlihat begitu familiar?”
Dadanya bergetar tanpa alasan yang jelas. Ada perasaan aneh yang menyelusup ke relung hatinya, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
Entah mengapa, melihat gadis itu membuatnya enggan untuk pergi begitu saja.
Seharusnya ia hanya berterima kasih dan melanjutkan perjalanannya. Tapi kakinya terasa berat untuk melangkah.
Tanpa ia sadari, hatinya seperti menolak meninggalkan Mawar.
Seolah ada ikatan yang tidak bisa ia jelaskan.
Mengabaikan perasaan aneh itu, Oma Mutia akhirnya membuka suara, “Nak, apakah kamu sudah bekerja?”
Mawar mengerjap, mencoba mengendalikan emosinya. “Belum, Bu,” jawabnya lirih.
Oma Mutia mengangguk pelan, lalu berkata dengan lembut, “Kalau begitu, bagaimana kalau kamu bekerja di rumah anak saya? Dia sedang membutuhkan seorang pembantu.”
Mawar tertegun. Jantungnya mencelos.
Anaknya...?
Ia ingat betul bahwa Mutia, Omanya, hanya memiliki dua anak—Resti, ibunya, dan Lusi, tantenya.
“Tidak mungkin... yang Oma maksud pasti Tante Lusi. Aku akan bekerja sebagai pembantu di rumah yang—seandainya saja Om Bumi menikahi Ibu waktu itu, seandainya Tante Lusi tidak menggagalkannya—seharusnya menjadi rumahku sendiri.”
Batinnya bergemuruh, tangannya mengepal erat, sementara sorot matanya dipenuhi bara dendam yang selama ini ia pendam.
Namun, di tengah gejolak itu, senyum tipis perlahan terbentuk di bibirnya.
“Atau mungkinkah... ini takdir? Takdir yang mempertemukan kita kembali?”
Dengan napas tercekat, ia mendengar Mutia melanjutkan, “Namanya Lusi Maheswara, seorang model terkenal.”
Deg!
Mawar nyaris tak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya.
Lusi Maheswara...?
Setahunya, tantenya bernama Lusi Atmaja, bukan Maheswara. Sama seperti nama ibunya, Resti Atmaja, yang mengambil nama belakang dari kakeknya, Wiratama Atmaja.
Selama ini, ia mencari Lusi Atmaja—istri seorang pengusaha, bukan seorang model terkenal.
Dan tiba-tiba, semuanya terasa masuk akal.
Selama di Jakarta, ia telah mencari orang yang salah. Bertanya ke orang yang salah. Pantas saja tak ada satu pun yang mengenal nama itu.
Ternyata, setelah bertahun-tahun berpisah, banyak hal telah berubah.
Tangannya mengepal semakin erat di sisi tubuhnya, sementara dadanya kembali bergemuruh hebat.
Ini dia.
Kesempatan yang selama ini ia cari.
Kesempatan untuk membalas semua penderitaan yang telah ia, ibunya—Resti, dan kakaknya—Anjani, alami.
Kesempatan untuk merebut kembali semua yang telah direnggut darinya.
Dengan tangan sedikit gemetar, ia menerima kartu nama yang disodorkan Mutia.
Di sana, tertulis alamat rumah dan nomor telepon yang bisa dihubungi jika ia setuju dengan tawaran itu.
Mawar menatap kartu itu lekat-lekat, lalu menggenggamnya erat.
Takdir telah membawanya ke tempat yang seharusnya.
Mutia tersenyum lembut, sebelum akhirnya melangkah pergi.
Namun, saat menjauh, hatinya terasa berat. Ia sendiri tidak mengerti mengapa ada perasaan aneh yang terus mengganggunya.
Seolah ada sesuatu tentang gadis itu yang membuatnya tak bisa tenang.
Seolah, seharusnya... ia tidak meninggalkannya begitu saja.
Tapi, tanpa menyadari siapa gadis itu sebenarnya, ia tetap melangkah, menghilang di antara hiruk-pikuk kota.
Sementara itu, Mawar masih berdiri mematung di tempatnya.
Matanya menatap tajam kartu nama di tangannya, jemarinya perlahan mengepal di sekelilingnya. Napasnya terasa berat saat ia mengalihkan pandangan ke kejauhan, menatap kosong ke arah jalanan yang ramai, namun terasa hampa di matanya.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup penuh emosi.
Takdir akhirnya mempertemukannya dengan musuh yang selama ini ia cari.
Senyum tipis terukir di bibirnya—bukan senyum kebahagiaan, melainkan senyum dingin yang menyimpan dendam yang telah lama membara.
Dengan suara nyaris berbisik, namun penuh keteguhan, ia berkata, “Tante Lusi... tunggu aku! Aku akan membalaskan semua penderitaan yang telah kau timpakan pada Ibu!”