Anindya Semesta hanyalah gadis ingusan yang baru saja menyelesaikan kuliah. Daripada buru-buru mencari kerja atau lanjut S2, dia lebih memilih untuk menikmati hari-harinya dengan bermalasan setelah beberapa bulan berkutat dengan skripsi dan bimbingan.
Sayangnya, keinginan itu tak mendapatkan dukungan dari orang tua, terutama ayahnya. Julian Theo Xander ingin putri tunggalnya segera menikah! Dia ingin segera menimang cucu, supaya tidak kalah saing dengan koleganya yang lain.
"Menikah sama siapa? Anin nggak punya pacar!"
"Ada anak kolega Papi, besok kalian ketemu!"
Tetapi Anindya tidak mau. Menyerahkan hidupnya untuk dimiliki oleh laki-laki asing adalah mimpi buruk. Jadi, dia segera putar otak mencari solusi. Dan tak ada yang lebih baik daripada meminta bantuan Malik, tetangga sebelah yang baru pindah enam bulan lalu.
Malik tampan, mapan, terlihat misterius dan menawan, Anindya suka!
Tapi masalahnya, apakah Malik mau membantu secara cuma-cuma?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semesta 26.
Pandangan Malik naik-turun, mirip laser pemindai barang-barang ilegal. Tapi yang dipindai kali ini bukan narkoba atau barang berbahaya, melainkan penampilan Anindya.
Terbiasa melihat sang gadis tampil apa adanya dengan kaos kebesaran dan celana kolor selutut (atau paling banter dress warna nude), Malik jelas terheran-heran melihat Anindya tampil begitu cetar mengenakan dress merah terang sebatas lutut.
Rambutnya diblow, dibiarkan tergerai menggantung dengan aksesoris jepit rambut mutiara nemplok di atas telinga kiri. Alisnya digambar. Bulu matanya melengkung indah dibubuh maskara dan dua lapis bulu mata palsu. Pipinya merona menyala, seirama bibirnya.
Namun, yang paling membuat Malik tak habis pikir adalah lensa kontak warna abu-abu yang terpasang di matanya. Mengubur warna mata asli Anindya yang cantik cokelat terang.
"Kamu tahu kan kita mau pergi ke mana?" tanyanya memastikan. Kali saja Oma iseng menyebutkan tempat tujuan lain, makanya Anindya tampil heboh seperti sekarang.
"Tahu." Anindya menjawab yakin.
Malik menurunkan pandangannya sekali lagi. Makin terheran-heran melihat kaki jenjang Anindya dibalut heels runcing tujuh senti. Warnanya sama merah terang. Kilaunya ngalah-ngalahin semburat keemasan langit senja yang membentang di atas kepala mereka.
"Kalau tahu, kenapa dandannya begini?"
"Kenapa? Jelek?"
Malik langsung menggeleng. "Cantik," katanya, "tapi terlalu heboh."
"Bukan heboh," elak sang gadis. "Ini namanya all out. Anin kan baru pertama kali ke sana, wajar dong kalau mau tampil maksimal? First impression itu penting, Mas Malik. Penting."
Malik mengusap wajahnya frustrasi. Sia-sia memang mengkhawatirkan Anindya dan perasaannya yang tidak menentu itu. Harusnya terpatri di kepalanya bahwa Anindya ini memang makhluk aneh bin absurd.
"Kita mau jalan sekarang atau tunggu Mas Malik puas dulu memandangi penampilan Anin yang keren abis ini?" celetuk sang gadis.
"Naik." Malik mengibaskan tangan. Dia tidak punya vertigo, tapi dunianya mendadak terasa berputar.
Anindya tersenyum lebar, kemudian naik ke kursi penumpang. Memasang seatbelt penuh semangat dan kali ini memastikan talinya tidak melilit. Oma bilang perjalanan mereka lumayan jauh. Sekitar satu setengah jam. Akan tidak nyaman kalau seatbelt-nya tidak dipasang dengan benar.
Sementara Malik, lelaki itu lunglai mendaratkan bokongnya di kursi pengemudi. Mendadak malas tangannya meraih kemudi. Sempat terlintas niat untuk batal pergi.
Tapi tentu tidak bisa. Maka Malik mencoba tutup mata. Mesin dinyalakan, pedal gas diinjak dan mobil mulai melaju perlahan.
Suara penyiar radio langsung mengalun begitu tape dinyalakan. Tone yang cerah menemani perjalanan dengan suara ceria. Sedikit mengaburkan terguncangnya Malik atas gebrakan yang Anindya buat dengan penampilan barunya.
Kendati begitu, Malik tetap saja menghela napas berkali-kali, diselingi gelengan kepala tak habis pikir.
"Mas Malik,"
"Hm."
"Anin boleh setel lagu nggak?"
Malik menoleh. Was-was Anindya akan kembali berulah. Namun, dia akhirnya tetap mengangguk dan kembali fokus menyetir.
Begitu dapat izin, Anindya langsung sumringah. Ia mematikan radio, lalu menyalakan bluetooth dan menyambungkannya ke ponsel. Jari-jarinya sibuk menelusuri layar, mencari sesuatu. Begitu menemukan, senyum puas terbit di wajahnya. Ia menekan tombol play dan seketika satu lagu memenuhi kabin mobil.
Malik yang semula curiga, justru tertegun. Ia tak menyangka Anindya akan memutar lagu ini. Soal dari mana gadis itu tahu, Malik nyaris yakin seratus persen Oma yang memberi tahu. Namun, tetap saja ia tidak menduga Anindya memilih memutarnya saat ini—di momen ketika mereka sedang menuju orang yang selama ini Malik rindukan.
Anindya tak banyak bicara setelah lagu diputar. Duduk tenang, seakan sengaja memberi ruang bagi Malik untuk menikmati irama dan membiarkan kerinduannya mengalun. Seolah ia paham betul kapan harus diam.
Malik melirik Anindya sesekali. Lagi-lagi merasakan sesuatu berhasil menyentuh bagian terdalam di sudut hatinya.
...🌲🌲🌲🌲🌲...
Langit sudah gelap sewaktu Anindya dan Malik tiba di tempat tujuan. Malik memarkirkan mobilnya di dekat pintu masuk. Dia turun duluan, mengambil buket bunga matahari yang dia simpan di jok belakang, kemudian baru membukakan pintu untuk Anindya.
Anindya mengucapkan terima kasih dan tersenyum manis. Setelah itu mereka berjalan beriringan masuk ke area makam. Walaupun sudah gelap, pemakaman itu sama sekali tidak kelihatan seram. Banyak lampu-lampu dipasang di tiang tinggi. Cahayanya terang, cukup untuk menegaskan bahwa tempat ini bukan tempat yang menakutkan, melainkan tempat bagi orang-orang beristirahat dengan damai setelah bertarung melawan kehidupan.
Makam mama dan papanya Malik ada di blok yang tidak terlalu jauh dari pintu masuk. Adanya di sisi kiri. Malik menuntun Anindya, bahkan sampai menggandeng tangannya karena khawatir sang gadis tersandung karena heelsnya.
Sampai di pusara mama papa, Malik langsung berjongkok. Yang pertama dia lakukan tentu meletakkan buket bunga yang dia bawa ke atas pusara. Setelahnya, Malik hanya duduk diam tidak melakukan apa-apa.
Anindya sampai terheran dibuatnya. Biasanya orang setiap berkunjung ke makam pasti berdoa, lalu berbincang-bincang seputar update kehidupan. Tapi ini Malik malah hanya diam seribu bahasa.
"Mas Malik nggak mau ngomong sesuatu sama Mama Papa?" Lidah Anindya akhirnya gatal untuk tidak bertanya.
Malik menggeleng.
"Kenapa?"
"Percuma," jawab Malik. Pegal berjongkok, dia lepaskan jaketnya, lalu dipakai sebagai alas duduk. Dia menyuruh Anindya untuk ikut duduk di sebelahnya.
"Percuma kenapa?"
"Nggak akan ada yang jawab."
Hening sebentar. Anindya merasa seperti habis ditampar realita. Malik terlalu logis untuk ukuran manusia.
"Berarti kalau ke sini, Mas Malik cuma kasih bunga terus diem aja?"
"Iya." Malik menunduk sedikit, tersenyum getir. "Apa lagi emangnya yang bisa saya lakuin? Ajak mereka ngomong pun nggak akan ada respons. Mau nangis juga percuma, mereka nggak akan tiba-tiba bangun."
Anindya menghela napas. Dia menatap epitaf mama papanya Malik cukup lama. Kelopak matanya berkedip lebih pelan daripada biasanya.
Kemudian, dia mulai bersuara setelah beberapa lama.
"Halo, mama papanya Mas Malik," sapanya. Suaranya ramah, seperti customer service bank swasta yang pelayanannya terkenal juara.
Malik memperhatikan Anindya dengan dahi berkerut bingung. Selain tidak biasa mendengar Anindya dalam mode soft spoken, Malik juga tidak paham kenapa Anindya tiba-tiba mengajak mama papanya bicara.
"Perkenalkan, nama saya Anindya, calon istrinya Mas Malik." Waktu bicara begitu, Anindya agak malu-malu. "Ini pertama kalinya kita ketemu, jadi saya dandan secantik mungkin. Saya harap mama sama papa suka ya."
Malik di samping hanya diam, tapi dia serius mendengarkan ocehan Anindya.
"Saya tahu Mas Malik irit bicara, tapi nggak nyangka kalau sama mama papanya pun dia ogah-ogahan ngeluarin suara." Anindya sambil tertawa pelan. "Anak mama sama papa ini emang unik. Bikin saya rasanya jadi pengen banget jagain."
Malik mendecih, lalu tak lama tersenyum tipis. "Ada juga saya yang harus jagain kamu tiap hari," cetusnya.
Biasanya Anindya suka berdebat. Hari ini, dia hanya tersenyum dan kembali fokus ke pembicaraan satu arahnya dengan epitaf mama papa Malik.
"Saya emang baru kenal sama Mas Malik. Belum lama, belum cukup waktu buat kenal luar dalamnya. Jadi Mama sama Papa pasti merasa aneh karena saya tahu-tahu memperkenalkan diri sebagai calon istrinya." Dia bicara sambil memikirkan lagi awal pertama dia melihat Malik pindah ke rumah sebelah.
Waktu itu hari Minggu, jam 5 sore, matahari masih terang benderang mentereng di atas kepala. Anin melihat rumah sebelah yang sudah lama kosong akhirnya dihuni juga.
Yang pertama kali keluar dari mobil adalah nenek-nenek sekitar awal kepala 7. Disusul lelaki tampan berkaus hitam pas badan yang langsung membuat Anindya suka pada pandang pertama. Aura dinginnya begitu terasa sewaktu tatapan mereka tidak sengaja bertemu. Berbeda dengan neneknya yang full senyum, Malik waktu itu kelihatan datar. Tapi, Anindya bisa melihat dengan jelas kesedihan yang Malik simpan di matanya. Sesuatu yang malah membuatnya tertarik.
"Saya belum pandai masak, Mama, Papa. Nggak bisa cuci baju, nggak pandai cuci piring, nyapu-ngepel pun nggak pernah. Tapi, saya mau belajar kok. Saya juga bisa janji sama Mama dan Papa buat bantu jagain Mas Malik."
Malik sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Jadi dia diam dan masih lanjut mendengarkan.
Hanya saja, konsentrasi Malik berhenti di momen terakhir saat Anindya minta restu kepada mama papanya. Habis itu pikirannya seperti hilang. Lalu perasannya kembali campur aduk.
Bersambung....