:"Ya Allah, kalau Engkau tidak mengirimkan jodoh perjaka pada hamba, Duda juga nggak apa-apa ya, Allah. Asalkan dia ganteng, kaya, anak tunggal ...."
"Ngelunjak!"
Monica Pratiwi, gadis di ujung usia dua puluh tahunan merasa frustasi karena belum juga menikah. Dituntut menikah karena usianya yang menjelang expired, dan adiknya ngebet mau nikah dengan pacarnya. Keluarga yang masih percaya dengan mitos kalau kakak perempuan dilangkahi adik perempuannya, bisa jadi jomblo seumur hidup. Gara-gara itu, Monica Pratiwi terjebak dengan Duda tanpa anak yang merupakan atasannya. Monica menjalani kehidupan saling menguntungkan dengan duren sawit, alias, Duda keren sarang duit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Monica , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
Pagi itu, Monica bangun lebih awal karena kegelisahan yang belum reda. Pesan dari nomor tak dikenal masih menghantuinya. Ia membuka pesan itu lagi—tidak ada tanda tambahan, nomornya masih tak bernama, dan tak ada balasan.
Monica menghela napas, menggigit bibirnya. Sambil menyeduh kopi, pikirannya tertuju pada Teddy. Ia ingin bertanya, tapi ragu bagaimana caranya agar tak terkesan posesif.
Belum sempat ia merancang kalimat, ponselnya berdering. Panggilan video dari Teddy. Ia merapikan rambutnya.
"Assalamu'alaikum…" Teddy menyapa dengan senyum hangatnya.
"Wa’alaikumsalam," jawab Monica, sedikit gugup.
"Aku baru aja beres nyuci motor. Tiba-tiba kepikiran kamu," katanya sambil menyeka keringat.
"Pikiranmu produktif banget, ya. Setelah nyuci motor, langsung mikirin aku," jawab Monica sambil tersenyum miring.
Teddy tertawa, "Iya dong. Tapi kamu kenapa? Mukamu nggak kayak biasanya."
Monica terdiam, lalu bertanya lembut, "Teddy… kamu yakin nggak ada masa lalu yang belum selesai?"
Teddy terkejut, lalu wajahnya serius, "Kenapa kamu tanya begitu?"
"Ada yang kirim pesan ke aku. Isinya… nyeremin. Seolah aku merebut kamu dari seseorang."
Teddy menarik napas dalam-dalam. Ia diam sesaat sebelum menjawab, "Aku jujur ya, Mon. Aku duda, bukan malaikat. Ada masa lalu yang pernah rumit, bahkan mungkin belum sepenuhnya tuntas. Tapi bukan berarti aku menutupi apapun dari kamu."
"Jadi… kamu tahu siapa yang ngirim pesan itu?"
Teddy mengangguk pelan, "Mungkin. Tapi aku belum bisa yakin sebelum aku pastikan sendiri."
Monica menggenggam gelas kopinya erat-erat. Hatinya tak karuan.
Teddy menatap layar ponselnya dengan tatapan bersalah, "Kalau kamu mau mundur sekarang, aku nggak akan salahkan kamu. Tapi kalau kamu bertahan… aku janji akan menyelesaikan semuanya. Untuk kita."
Monica menatap layar. Ada jeda lama sebelum ia menjawab, lalu mengangguk pelan, "Aku akan bertahan. Tapi jangan jadikan aku pelarian, Teddy. Aku mau jadi tujuan."
Teddy tersenyum tulus, "Kamu bukan pelarian. Kamu rumah."
Monica sadar—perasaan ini sudah terlanjur tumbuh. Tapi cinta dengan duda bukan hanya soal perasaan, melainkan keberanian menghadapi kenyataan.
Usai panggilan video, Monica tak tenang. Kalimat Teddy, "Kamu bukan pelarian. Kamu rumah," terngiang. Tapi rumah seperti apa jika masih ada bayangan masa lalu?
Siang itu, ia pergi ke toko kelontong Bu Lastri, bukan untuk belanja, tapi menenangkan pikiran. Namun, sebelum masuk, suara langkah sepatu hak tinggi menghentikannya. Seorang perempuan muda, anggun, bermake-up tipis namun tajam, datang dari arah berlawanan. Ia tampak asing, namun melangkah seperti mengenal lingkungan itu.
Perempuan itu menatap Monica dari ujung kepala sampai kaki, tak ramah, hanya tatapan menilai.
"Kamu Monica?" tanyanya tanpa basa-basi.
Monica mengerutkan dahi, "Iya. Kamu siapa?"
"Aku Vania." Ia tersenyum miring. "Mantan istri Teddy."
Monica nyaris menjatuhkan tasnya.
"Maaf?" Suaranya tercekat.
Vania menyilangkan tangan, berdiri santai, "Aku tahu kamu dekat dengan dia. Aku juga tahu kamu bukan siapa-siapa di hidupnya."
Monica menelan ludah, "Kalau kamu mantan, artinya kamu bagian dari masa lalu. Kenapa kamu datang sekarang?"
Vania melangkah pelan, suaranya datar namun tajam, "Karena aku belum selesai dengan dia. Dan kamu… hanya gangguan kecil. Aku cuma mau bilang: dia belum sepenuhnya lepas dari aku. Dan kamu sebaiknya tahu posisi."
Tanpa menunggu jawaban, Vania berlalu, meninggalkan aroma parfum mahal dan ancaman yang menggantung.
Monica berdiri mematung. Ia tak tahu mana yang lebih mengejutkan—kedatangan Vania, atau kalimat terakhirnya.
Sesampainya di rumah, Monica duduk lama di kursi teras. Ia tak menangis, tak marah, hanya hatinya kosong. Lalu sebuah pesan masuk:
Teddy:
“Mon, aku mau jujur. Kalau kamu siap, malam ini aku akan ceritakan semuanya. Tentang Vania. Tentang perpisahan kami. Tentang kenapa aku masih dibayangi dia. Tapi juga, tentang kenapa kamu lebih penting dari apa pun sekarang.”
Jantung Monica berdetak tak karuan. Ini bukan cerita cinta biasa. Ini tentang keberanian melangkah, saat masa lalu datang mengetuk pintu.