Seorang penembak jitu tewas kerena usia tua,dia mendapatkan dirinya bereinkarnasi kedunia sihir dan pedang sebagai anak terlantar, dan saat dia mengetahui bahwa dunia yang dia tinggali tersebut dipenuhi para penguasa kotor/korup membuat dia bertujuan untuk mengeksekusi para penguasa itu satu demi satu. Dan akan dikenal sebagai EXONE(executor one) / (executor utama) yang hanya mengeksekusi para penguasa korup bahkan raja pun dieksekusi... Dia dan rekannya merevolusi dunia.
Silahkan beri support dan masukan,pendapat dan saran anda sangat bermanfaat bagi saya.
~Terimakasih~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aegis zero, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
solo
Dina menatap tajam ke arah Venus, kemarahan membara di matanya. "Hei, Venus! Kenapa kalian bisa sekejam itu?! Kalian malah membuat tempat eksperimen manusia?!"
Venus hanya tersenyum santai, mengangkat bahu. "Ara~ bukan aku yang membuatnya, jadi kenapa marahnya ke aku?"
"Kalian yang memberi izin pada para ilmuwan biadab itu!" bentak Dina, suara gemetar menahan emosi.
Venus menyipitkan mata. "Suatu saat nanti, kamu akan mengerti maksud kami."
"Apa maksudmu?!" tanya Dina, semakin kesal.
"Ya, begitulah maksudku," jawab Venus, dengan nada menggantung dan acuh tak acuh.
Melihat ketegangan antara keduanya, Gamma buru-buru menyela. "Sudah, sudah! Jangan bertengkar dulu. Nih, makan dulu, Kak!" Ia menyodorkan dua bungkus makanan kepada Dina dan Venus.
Dina langsung menyambar makanan itu. "Makasih, Gamma! Aaa\~ lapar banget!" katanya sambil mulai melahap.
Venus mendelik. "Jangan dimakan semua! Itu makanan kiriman dari Reisa-chan, tahu!"
"Siapa cepat, dia dapat!" jawab Dina sambil tertawa puas.
"Apa?!" Venus berseru kesal.
Gamma cepat-cepat menyodorkan satu lagi. "Tenang, ini ada lagi, Kak."
Venus langsung menerimanya dengan senyum cerah. "Aaa~ makasih banyak, Reisa-chan!"
---
Sementara itu, di kota Azura, Arya melangkah cepat menuju pusat kota.
"Hei, bukankah itu Exone?"
"Benar! Kita harus menunduk untuk berterima kasih padanya!"
Warga yang melihat Arya sontak menundukkan kepala sebagai tanda hormat. Arya menghentikan langkahnya, bingung.
"A-ada apa ini? Kenapa semua orang menunduk?" gumamnya, sebelum buru-buru melangkah menuju mansion penguasa.
Sesampainya di gerbang, Arya menatap penjaga dan berkata, "Bisakah aku masuk?"
Salah satu penjaga memicingkan mata. "Anak kecil? Ada keperluan apa?"
"Maaf, Nak. Pergilah," kata penjaga lainnya.
Arya menatap mereka datar. "Exone."
Keduanya langsung pucat. "E-Exone?! Maafkan kami! Silakan masuk!" seru mereka panik sambil membuka gerbang.
*Krekkk...*
Arya mengangguk ringan. "Semudah ini ya? Terima kasih."
"Ba-baik! Selamat datang!" sahut mereka gugup.
Arya mengangkat alis. "Kenapa mereka begitu gugup...?" gumamnya, melangkah masuk. Ia heran melihat lorong kosong tanpa penjaga.
"Tak ada penjaga? Ya sudah, kubuka saja pintunya," ujarnya sambil mendorong daun pintu yang mengeluarkan suara berderit pelan.
"Hm... tak ada interior? Sepertinya Pirlo memang tak suka dekorasi berlebihan," katanya sambil menyusuri lorong.
Saat melewati para pelayan, terdengar bisik-bisik di antara mereka.
"Itu Exone!"
"Beri hormat!"
Para pelayan langsung menunduk. Arya tersenyum tipis. "Permisi, apakah kalian tahu di mana ruangan Tuan Pirlo?"
"Di-itu... di sana!" jawab salah satu dari mereka gugup. "Silakan ikuti kami."
Setelah mengetuk pintu, salah seorang pelayan berkata, "Tuan, ada yang ingin bertemu."
"Masuklah," sahut Pirlo dari dalam.
"Silakan masuk, Tuan," ucap pelayan itu sambil membungkuk.
Arya mengangguk sopan. "Terima kasih, Nona. Lama tak bertemu, Pirlo."
"Exone? Ada apa ke sini? Bukankah kamu bisa menghubungiku lewat alat komunikasi?" tanya Pirlo, sedikit terkejut.
"Ada urusan mendadak. Apa kau punya informasi terbaru?"
"Informasi? Tidak ada yang khusus. Hanya tentang kalian yang sedang diburu para pengejar," jawab Pirlo santai.
Arya terkekeh. "Hahaha, iya juga sih." Lalu, nada suaranya berubah serius. "Hei, Pirlo. Apa kau tahu kalau di sini ada tempat eksperimen? Aku akan memberitahumu."
"Tempat eksperimen? Maksudmu?"
"Tempat eksperimen manusia menjadi monster."
Pirlo sontak berdiri. "Apa?! Aku tak tahu apa-apa soal itu! Kamu menuduhku?!"
"Bukan kamu," Arya menjelaskan tenang. "Aku hanya ingin memberitahumu bahwa penguasa sebelumnya kota ini yang melakukannya. Alasanku datang adalah untuk menghancurkan tempat itu."
Ia melanjutkan, "Tapi tempat itu sekarang berada di bawah rumah-rumah warga. Bisakah kau menyuruh mereka pergi agar tak menarik perhatian? Aku tak ingin mereka panik."
"Hm... Tapi kenapa kami tak menemukan ruangan luas saat membangun?" tanya Pirlo, bingung.
"Karena tempat eksperimen itu dibangun di bawah tanah. Di atasnya hanya rumah biasa. Letaknya di ujung kota sebelah barat, jadi meski kalian membangun rumah baru, pondasi yang dalam tidak menyentuh ruang bawah tanah itu."
"Baiklah, aku akan memerintahkan penjaga untuk mengosongkan area tersebut. Tapi alasan apa yang harus kuberikan pada warga?"
"Bilang saja aku ingin survei. Tak perlu penjelasan lebih."
"Baik, tunggu sebentar."
Pirlo pun memerintahkan para penjaga.
"Para warga sekalian!" seru mereka. "Kosongkan area ini sekarang! Ini perintah dari penguasa kota!"
"Kenapa? Apa maksudnya?!"
"Ini atas permintaan Exone! Ia ingin survei! Kalian tidak ingin menghalangi Exone, bukan?!"
"Ba-baiklah!"
"Ayo kita pergi!"
Arya segera bergerak menuju lokasi. Ia mengangguk pada para penjaga. "Terima kasih, Tuan Penjaga."
"Sama-sama! Kami pergi dulu!"
Di hadapannya berdiri sebuah rumah sederhana. Arya membuka pintunya.
*Kerchak...*
Ia melangkah masuk. "Tak ada penjaga, untuk menghindari kecurigaan, ya? Mereka benar-benar cerdas."
*Krreeott...* Pintu besi berderit pelan saat dibuka. "Mereka menyamarkan pintu dengan tanah... Hebat juga mereka. Makanan dan perlengkapan pun sudah mereka siapkan, bahkan tak perlu keluar masuk..."
Arya menutup hidungnya. "Ugh... Meski sudah sering masuk, aku tetap tak terbiasa dengan bau busuk ini..."
"Siapa itu?!"
"Penyusup!"
"Penjaga! Bunuh dia!"
Arya mengangkat tangan. "Berisik!" *Dor! Dor!* Ia menembak cepat, menghabisi mereka semua.
Ia berjalan ke tengah ruangan. Menutup mata sejenak. "Maafkan aku... Aku akan membunuh kalian semua tanpa rasa sakit." Ia merapatkan kedua tangannya. "Semoga kalian tenang di alam sana."
*Ultra Freeze!* Seluruh ruangan membeku seketika. Ia mencabut katana.
*Sword Blazing!* Dengan satu putaran cepat, Arya menebas dan menghancurkan segalanya menjadi serpihan es.
"Aku minta maaf..." bisiknya lirih.
Ia mengaktifkan alat komunikasi. "Pirlo, aku sudah selesai."
"Apa?! Cepat sekali! Padahal baru lima menit!"
"Aku tak ingin berlama-lama. Hancurkan rumah di atasnya. Ratakan saja. Jangan sampai ada yang masuk lagi."
"Baik! Terima kasih, Exone!"
"Aku pergi dulu. Masih ada empat kota lagi."
"Sebanyak itu?"
"Ya. Ada sembilan tempat eksperimen tersebar di kota-kota yang pernah kami selamatkan. Jika dihitung dengan ibu kota, ada sepuluh."
"Sepuluh?! Gila... Baiklah. Semoga berhasil, Exone!"
"Sampai jumpa."
*Teleportasi!* Arya menghilang, menuju kota Tizar.
Ia menyelesaikan tiga kota — Tizar, Eryua, Yuiria — dengan cepat. Tak banyak warga yang memperhatikannya.
"Baiklah, tinggal satu kota terakhir... Kota Oiter."
*Teleportasi!
---
Arya muncul di halaman depan mansion kota Oiter. Suara teleportasinya yang tiba-tiba membuat seorang pelayan yang sedang membawa baki makanan menjerit.
“Kyaaah!”
Baki di tangannya nyaris terjatuh. Pelayan itu mundur selangkah, matanya membelalak.
“Ke-kenapa tiba-tiba muncul?!”
Arya menundukkan kepala sopan, suaranya tenang dan santun. “Maaf sudah mengejutkanmu, Nona cantik. Jangan pikirkan, lanjutkan saja pekerjaanmu. Tapi… bisakah salah satu dari kalian mengantarkan saya ke ruangan Tuan Tarze?”
Pelayan itu masih terbata, namun akhirnya mengangguk. “Ba-baiklah… Silakan ikuti saya.”
Mereka berjalan menyusuri koridor mansion yang bersih dan tenang. Tak lama, mereka tiba di depan ruangan utama.
Pelayan mengetuk pelan. “Tuan, ada tamu.”
Dari balik pintu terdengar suara berat namun tenang. “Silakan masuk.”
Arya tersenyum pada pelayan. “Terima kasih banyak, Nona cantik. Permisi.”
Wajah pelayan itu memerah, ia buru-buru membungkuk dan pergi.
Tarze, seorang pria paruh baya dengan janggut terawat dan pakaian formal bangsawan, menoleh dari kursinya. Matanya membulat begitu melihat siapa yang masuk.
“Suara itu… Exone?”
Arya mengangguk. “Selamat siang, Tuan Tarze. Saya ada urusan.”
“Urusan… apa ya?” Tarze menyipitkan mata, bingung.
“Aku akan langsung ke intinya,” ujar Arya, berdiri tegak. “Di bawah mansion ini, ada tempat eksperimen manusia.”
Tarze sontak berdiri dari kursinya. “Hah?! Apa maksudnya? Aku… aku tidak pernah tahu soal itu!” Seruannya terdengar seperti seseorang yang baru saja ditampar kenyataan.
“Ada ruangan tersembunyi. Pintu masuknya ada di lantai,” jelas Arya tenang. “Bolehkah saya diizinkan memasukinya?”
Tarze mengangguk perlahan, masih terguncang. “Boleh saja… tapi kamu sendirian? Apa aku boleh ikut melihatnya?”
“Tentu. Mari, akan kutunjukkan.”
Mereka berjalan menuruni lorong gelap menuju ruangan rahasia. Arya membuka pintu tersembunyi yang terletak di bawah lantai dengan satu dorongan pelan.
*Kreoottt...*
Suara pintu besi tua menggema di ruangan bawah tanah yang dingin dan lembap.
Tarze langsung menutup hidung. “Ughhh… Bau sekali…”
Arya menyodorkan sapu tangan kecil. “Gunakan ini.”
“Terima kasih…” gumam Tarze sambil mengambilnya.
“Aku peringatkan, ini akan mengerikan. Jika tidak kuat, kau boleh keluar.”
“Akan… kucoba.”
Mereka melangkah masuk. Begitu pandangan Tarze menyapu ruangan itu, wajahnya seketika pucat. Matanya membelalak, rahangnya ternganga.
“A-a-apa ini…?” suaranya parau. “Kenapa… mengerikan sekali?! Manusia… utuh… dalam tabung? Dan bagian tubuhnya berubah seperti monster…?”
Tarze menggigil. Ia menahan tangis, tetapi suaranya pecah. “Maaf… Tuan Exone. Bisakah… bisakah saya pergi sekarang…?”
Arya menunduk pelan. “Silakan. Aku akan menyelesaikan sisanya.”
Tarze berjalan limbung keluar dari ruangan. Arya menatap tabung-tabung besar berisi jasad dan tubuh-tubuh tak utuh yang masih bergelembung dalam cairan. Ia menghela napas, menutup mata sejenak.
“Ultra Freeze.”
Seketika seluruh ruangan membeku dalam lapisan es biru keperakan yang tajam dan dingin. Uap dingin menyelimuti langit-langit.
Arya mencabut katana dari punggungnya. Ia menarik napas, mencondongkan tubuh ke kiri bawah untuk bersiap.
“Sword Blazing.”
Putaran cepat tubuhnya menghempas segalanya dalam satu serangan membabi buta namun presisi. Tabung, makhluk, dan mesin-mesin hancur menjadi serpihan es yang hancur perlahan.
Setelah semuanya diam, Arya merapatkan kedua telapak tangannya.
“Semoga kalian tenang di alam sana.”
Ia melangkah keluar, menemukan Tarze yang terbaring pingsan di lantai lorong, napasnya berat dan tubuhnya masih menggigil.
Arya tersenyum samar. “Hm… mencoba tegar sebagai lelaki, ya?” Ia mengangkat tubuh Tarze dan menggendongnya perlahan ke kamarnya.
Setelah menutup pintu kamar, Arya menatap langit sore yang mulai memerah dari jendela. Angin membawa bau tanah dan ketegangan yang baru saja usai.
“Baiklah… semua sudah selesai. Waktunya kembali ke mereka bertiga.”
Dengan satu gerakan tangan, Arya menghilang.
*Teleportasi!*
---