Perselingkuhan antara Kaivan dan Diana saat tiga hari menjelang pernikahan, membuat hati Alisa remuk redam. Keluarga Kaivan yang kepalang malu, akhirnya mendatangi keluarga Alisa lebih awal untuk meminta maaf.
Pada pertemuan itu, keluarga Alisa mengaku bahwa mereka tak sanggup menerima tekanan dari masyarakat luar jika sampai pernikahan Alisa batal. Di sisi lain, Rendra selaku kakak Kaivan yang ikut serta dalam diskusi penting itu, tidak ingin reputasi keluarganya dan Alisa hancur. Dengan kesadaran penuh, ia bersedia menawarkan diri sebagai pengganti Kaivan di depan dua keluarga. Alisa pun setuju untuk melanjutkan pernikahan demi membalas rasa sakit yang diberikan oleh mantannya.
Bagaimana kelanjutan pernikahan Alisa dan Rendra? Akankah Alisa mampu mencintai Rendra sebagai suaminya dan berhasil membalas kekecewaannya terhadap Kaivan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejujuran di Malam Pertama
Acara resepsi telah rampung. Alisa memandang kosong ke luar jendela mobil tatkala menuju kediaman orang tuanya. Sambil menopang dagu, ia memikirkan nasib masa depan rumah tangga yang dibangunnya tanpa dasar cinta.
Berkali-kali wanita itu bertanya pada hatinya, Apa aku bisa membina rumah tangga tanpa rasa cinta pada suamiku sendiri? Apa Kak Rendra akan tetap menganggapku sebagai istrinya kalau tahu tujuanku bersedia menikah dengannya hanya karena ingin membalas perbuatan Kaivan? Bagaimana saat malam pertama nanti? Apa Kak Rendra akan dengan lancang menyentuh tubuhku?
Alisa kemudian melirik Rendra sebentar, sembari menggeser posisi duduknya lebih dekat ke pintu mobil. Matanya terpejam rapat. Kepalanya menggeleng pelan, bahkan tubuhnya sampai bergidik gara-gara membayangkan malam pertama dengan seorang pria yang selama ini dianggapnya seperti kakak sendiri.
"Kamu kenapa, Alisa? Masih kepikiran sama Kaivan?" tanya Rendra memandangi Alisa dengan cemas.
Alisa terperanjat dan menatap Rendra dengan mata membulat. "Eng? E-Enggak, Kak ... aku nggak lagi mikirin Kaivan. Aku cuma ... cuma agak kedinginan," jelasnya tergagap-gagap sembari mengusap kedua bahunya dan tersenyum canggung.
"Oh." Rendra melepas jas pengantin dan memakaikannya pada Alisa. "Udah nggak dingin, kan?"
Dengan sungkan, Alisa mengangguk. "Terimakasih ya, Kak."
Rendra membalasnya dengan senyuman. Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela, sambil melipat kedua tangannya.
"Kalian ini pengantin baru, tapi kok nggak mesra-mesraan kayak kebanyakan orang? Kalian nikahnya dijodohin?" tanya seorang sopir yang mengemudikan mobil mereka.
Dengan cepat, Alisa membantah. "Enggak, kok, Pak. K-Kami nggak dijodohin kok."
"Kalau gitu, kenapa duduknya pada jauhan? Kalian sudah sah suami istri. Berdekatan juga nggak bakal jadi fitnah. Saya justru senang melihat pasangan pengantin baru bermesraan. Tiga bulan pernikahan itu lagi hangat-hangatnya, loh!" seloroh sopir diselingi tawa kecil.
Alisa tersenyum kecut, Rendra tersipu-sipu. Untuk sesaat, keduanya saling berpandangan dan merasa malu satu sama lain. Sambil memalingkan muka ke jendela mobil, Rendra menggeleng pelan dan mengulas senyum sesekali. Adapun Alisa, mendengus sebal gara-gara candaan sang sopir yang memunculkan kembali bayangan mengenai malam pertama di benaknya.
Tak lama kemudian, mereka tiba di depan kediaman Pak Brata. Kedatangan mereka disambut hangat oleh keluarga dan kerabat dekat Alisa. Setidaknya, wajah sumringah mereka dapat menghilangkan kecanggungan antara Rendra dan Alisa untuk sementara waktu.
Namun, kehangatan keluarga besar Pak Brata tak berlangsung lama. Canda tawa kerabat dekat Alisa perlahan-lahan mereda seiring berlalunya waktu. Ketika malam menjemput, mereka kembali ke rumah masing-masing guna melepas penat. Seserahan serta kado dari para tamu telah dibuka, kemudian isinya disusun rapi.
Setelah tamu terakhir pulang, Rendra termenung di teras rumah Pak Brata ditemani secangkir kopi hitam buatan Alisa. Dalam hening, pria itu memandang langit gelap dengan penuh tanya. Apakah keputusan menikahi Alisa sudah benar? Bagaimana jika Alisa tak bisa menerimaku dan enggan melepaskan diri dari bayang-bayang Kaivan? Apakah aku bisa bersabar sampai cinta itu datang?
"Kamu sedang mikirin apa, Rendra?" tanya Pak Brata, duduk di sebelah menantunya.
Rendra pun terhenyak, kemudian menoleh pada mertuanya dengan sungkan. "Enggak, Saya cuma sedang mikirin masa depan pernikahan dengan Alisa."
Pak Brata terkekeh-kekeh sambil merangkul Rendra. "Apa lagi yang kamu risaukan, Nak Rendra? Kamu sudah punya pekerjaan yang bagus, bahkan dari caramu mengambil keputusan untuk menggantikan Kaivan, sudah jelas menunjukkan sifat bertanggungjawab pada dirimu."
"Kalau soal materi, saya akan berusaha penuh untuk memenuhi semua keperluan Alisa. Tapi soal hati ... sepertinya kami butuh waktu untuk saling mengerti," jelas Rendra, menatap mertuanya sebentar, kemudian tertunduk lesu.
"Maksudmu, kalian belum bisa saling jatuh cinta?" Pak Brata mengerutkan dahi.
"Begitulah," jawab Rendra, mendesah lemah.
Pak Brata mengangguk cepat sembari menepuk-nepuk pundak Rendra. "Begini, Rendra. Yang namanya cinta itu datang karena terbiasa, dan mulai hari ini kalian akan terus bersama dari bangun pagi sampai tidur saat malam tiba. Bukan hal yang mustahil jika kalian bisa jatuh cinta satu sama lain, kan?"
"Saya harap juga begitu, Pak. Tapi ... apa mungkin saya sanggup membantu Alisa melupakan kenangannya bersama Kaivan? Mereka sudah menjalin hubungan sejak lima tahun lalu, dan itu bukan waktu yang sebentar," tutur Rendra.
Tersenyum Pak Brata menatap keraguan yang begitu kentara di wajah menantunya. "Selama kamu memiliki kesabaran seluas samudera dan membuktikan diri lebih baik dari adikmu sendiri, percayalah, kamu pasti bisa mendapatkan hati Alisa."
Rendra tersenyum getir.
"Baiklah, sepertinya malam sudah sangat larut. Kita harus segera tidur. Bukankah besok kamu akan membawa Alisa ke rumahmu yang ada di perumahan itu?" ujar Pak Brata, beranjak dari sebelah Rendra.
"Silakan Bapak masuk duluan saja, saya mau menghabiskan kopi dulu," kata Rendra sambil menoleh pada mertuanya.
Selepas mertuanya pergi, Rendra meneguk sisa kopi di cangkirnya sampai habis. Keraguan mendekati Alisa terus saja menggelayuti benaknya. Sesekali ia memandang ke dalam rumah, memikirkan reaksi Alisa saat dirinya masuk ke kamar nanti.
Kendati demikian, bagaimanapun juga mereka sudah resmi sebagai suami istri. Rendra melangkah dengan santai menaruh cangkir kopi ke dapur, sebelum akhirnya kembali ke depan kamar Alisa. Pria itu menghela napas, kemudian mengetuk pintu.
"Alisa, apa aku boleh masuk?" tanya Rendra.
"Masuk saja, Kak," jawab Alisa dari dalam kamar.
Rendra membuka pintu perlahan-lahan, dan mendapati istrinya sedang duduk di tepi tempat tidur. Setelah masuk, ia menutup pintu lagi, kemudian berjalan menghampiri Alisa.
"Kamu belum tidur?" tanya Rendra.
Alisa menggeleng pelan, matanya masih menatap kosong ubin di bawahnya. Sesekali ia menyibak rambut panjangnya ke punggung.
"Apa aku boleh duduk di sebelah kamu? Tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu tanpa persetujuan," kata Rendra dengan canggung.
"Silakan, Kak." Alisa beringsut dari tempatnya semula duduk.
Rendra duduk di sebelah Alisa dan menatap wajah polos istrinya. "Alisa, sebelum tidur, aku ingin mengatakan sesuatu sama kamu. Aku tahu, kamu pasti belum sepenuhnya menerima pernikahan ini. Butuh waktu lama buat kita saling mengerti, meskipun ya ... aku tahu, kalau kita memang sudah kenal satu sama lain sejak lima tahun lalu, saat kamu jadian dengan Kaivan. Tapi, aku sangat menghormati kamu sebagai perempuan yang sama-sama memiliki kehendak. Jadi, selama hatimu masih belum bisa menerimaku, maka malam pertama kita sebagai pengantin baru akan kita tunda sampai kamu setuju."
Kedua mata Alisa seketika membulat tatkala mendengar penuturan suaminya. Ia menoleh, seraya bertanya, "Apa itu artinya ... Kakak tidak akan menyentuhku sampai aku setuju?"
Rendra mengangguk pelan dan tersenyum tipis. "Bagi sepasang pengantin, berhubungan intim itu bukan sekadar meluapkan berahi, melainkan penyatuan dua hati. Jika sekadar meluapkan berahi tanpa persetujuan pasangan, apa bedanya aku dengan para lelaki hidung belang yang memaksakan kehendak terhadap perempuan? Tidak, Alisa. Aku tidak mau memulai pernikahan kita seperti itu."
Senyum lega mengembang di bibir merah jambu Alisa. Matanya berbinar-binar, menatap sang suami yang begitu menghargainya. "Terimakasih, Kak. Kakak memang pria yang sangat baik."
"Kalau begitu, aku tidur di karpet, ya. Kamu tidur di kasur saja biar nggak kedinginan," kata Rendra, beranjak dari tepi tempat tidur.
"Tunggu, Kak!" seru Alisa memegang tangan Rendra.
"Apa?" Rendra duduk kembali di sebelah Alisa.
"Aku mau bilang jujur sama Kakak, kalau sebenarnya ... a-aku ... aku ... aku setuju menikah dengan Kakak karena ingin membalas pengkhianatan Kaivan. Aku ingin dia mendapatkan rasa sakit yang lebih pedih dariku. Aku mohon, Kakak jangan marah, ya," terang Alisa tergagap-gagap.
lanjut thorrrr.