Madava dipaksa menikah dengan seorang pembantu yang notabene janda anak satu karena mempelai wanitanya kabur membawa mahar yang ia berikan untuknya. Awalnya Madava menolak, tapi sang ibu berkeras memaksa. Madava akhirnya terpaksa menikahi pembantunya sendiri sebagai mempelai pengganti.
Lalu bagaimanakah pernikahan keduanya? Akankah berjalan lancar sebagaimana mestinya atau harus berakhir karena tak adanya cinta diantara mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tawa
Pagi-pagi sekali, Ayu sudah bangun untuk mengerjakan pekerjaannya seperti biasa. Tak ada yang berubah meskipun ia tidak kekurangan materi sama sekali. Bahkan sebelum berangkat ke luar kota, Bu Shanum menyempatkan memberi Ayu sejumlah uang yang menurut Ayu cukup banyak. Bahkan lebih besar dari gajinya saat menjadi art dan tukang cuci dulu.
Sungguh Ayu tidak pernah memegang uang sebanyak itu. Mungkin untuk orang-orang kayak, uang sebanyak 10 juta tidak berarti apa-apa. Tapi berbeda bagi Ayu yang seumur hidup hanya bisa bekerja sebagai art. Pendidikannya yang hanya sebatas SMA membuatnya tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Bukan berarti pekerjaan sebagai art tidak baik, hanya saja gajinya yang terbatas. Belum lagi ia memiliki seorang anak yang sering sakit-sakitan. Jelas saja gaji art jauh dari kata cukup. Namun Ayu tidak pernah mengeluh. Ia justru tetap bersyukur setidaknya ia masih diberikan kesehatan agar bisa bekerja dan memenuhi kebutuhan putranya tersebut.
Oleh sebab itu, Ayu tidak pernah menyesali menikah dengan Madava. Meskipun sikap laki-laki yang sudah menjadi suaminya itu cenderung mengesalkan, tapi ia anggap ia sepadan dengan apa yang ia dapatkan. Ia tidak perlu bekerja terlalu keras lagi. Ia tidak perlu berpindah-pindah kontrakan karena diusir akibat menunggak pembayaran. Ia juga tidak perlu kelaparan karena uang belanja yang Madava berikan cukup banyak. Bahkan baru beberapa hari di sana, Madava sudah berapa kali memberinya uang belanja. Meskipun tidak secara langsung karena Madava meletakkan uang itu di atas meja makan, tapi setidaknya laki-laki itu tidak terlalu menyebalkan. Ia masih bertanggung jawab atas dirinya dan Rafi. Ia juga tidak pernah protes dengan apa yang dimasaknya.
Pagi ini Ayu memasak sup ayam, tahu goreng, dan sambal kentang ampela. Ia tidak tahu, Madava menyukai menu masakan ini atau tidak sebab ia tidak tahu makanan kesukaan suaminya tersebut. Selama ia bekerja di rumah Bu Shanum, Ayu baru beberapa kali saja bertemu Madava sebab laki-laki itu lebih suka tinggal di apartemen.
Setelah semua makanan terhidang, Madava pun muncul dengan setelan jas mahalnya. Madava memang tampan. Tatapannya tajam. Dengan rahang tegas dan bulu mata lentik. Jujur, Ayu iri dengan bulu mata itu. Padahal Madava laki-laki, tapi bulu matanya lebat, panjang, dan lentik.
"Kok lama-lama aku liat wajah Mas Dava mirip Rafi ya? Bahkan bulu mata dan alisnya pun juga mirip," gumam Ayu sambil memperhatikan Madava yang berjalan mendekat seraya memasang kancing di ujung lengan kemejanya.
"Kenapa liat-liat? Terpesona?" ujar Madava membuat mata Ayu terbelalak.
"Dih, narsis!" sahut Ayu sinis. Madava mengerutkan keningnya. Pagi ini Ayu tidak bersikap manis seperti kemarin-kemarin.
Madava mendekat. Lalu ia memegang dahi Ayu membuat Ayu membulatkan matanya.
"Apaan sih?" kesal Ayu karena Madava menyentuh keningnya tanpa izin.
"Boleh aku tanya sesuatu?" tanya Madava.
"Biasanya juga langsung bicara aja, nggak pake izin segala," cibir Ayu.
"Izin salah, nggak izin salah," omel Madava kesal.
Ayu menahan tawanya. "Ya udah, mau tanya apa," ucap Ayu seraya meletakkan piring berisi nasi di hadapan Madava. Terlepas kalau ia sebenarnya terpaksa menikah dengan laki-laki itu, tapi ia tetap harus melayani Madava dengan baik. Hanya satu hal saja yang belum sanggup Ayu lakukan, yaitu melayani di atas ranjang. Ayu harap Madava tidak pernah meminta haknya satu itu.
"Kamu punya kepribadian ganda?" tanya Madava to the poin. Ia sudah benar-benar penasaran dengan perubahan sikap Ayu tersebut.
"Apa? Kepribadian ganda? Maksudnya?" tanya Ayu bingung.
"Itu, sikap kamu itu, aneh. Entar baik, entar judes. Entar ramah, tersenyum manis, entar sudah seperti ibu tiri. Serem," ujar Madava membuat Ayu menganga.
Tak lama kemudian, Ayu tergelak kencang. Ia sampai memegang perutnya yang berguncang.
"Astaghfirullah, pikiran aneh dari mana itu?" ujar Ayu yang masih tertawa. Lalu ia berusaha meredakan tawanya saat melihat ekspresi Madava yang seakan melihatnya aneh. "Aku nggak seperti yang kau katakan itu. Apa tadi? Kepribadian ganda? Ya ampun, pikiran dari mana itu? Dengar ya, aku bersikap ramah itu hanya di hadapan Rafi. Bagaimanapun aku tidak ingin Rafi meniru sikapku itu. Aku tidak ingin mengajarkan hal-hal yang tidak baik padanya. Oleh sebab itu, sebisa mungkin bila di hadapan Rafi aku akan menjaga sikapku. Aku pun berharap kau melakukan hal yang sama. Meskipun Rafi bukan anakmu, tapi aku mohon, jangan melakukan sesuatu yang bisa membuatnya tidak nyaman," ucap Ayu dengan wajah penuh pengharapan.
Melihat wajah itu, entah kenapa Madava terenyuh. Ia pun berdeham sambil memalingkan wajahnya.
"Oke. Tak masalah." Namun Madava diam-diam tersenyum tipis.
Mengingat sesuatu, Madava pun menoleh ke meja makan.
"Dimana anakmu?" tanya Madava heran karena biasanya Rafi sudah duduk di meja makan.
"Dia sedang demam jadi aku memintanya tetap di kamar."
Madava menganggukkan kepalanya. Ia pun segera duduk di meja makan. Dan mulai menyantap apa yang sudah dihidangkan padanya. Sebenarnya ia tidak biasa makan nasi pagi-pagi. Tapi ia tidak mau menyia-nyiakan makanan yang sudah terhidang di hadapannya. Apalagi masakan Ayu cukup lezat.
'Sepertinya tidak masalah membiasakan makan nasi mulai sekarang,' gumam Madava dalam hati.
...***...
Hari ini hari Minggu, Madava seperti biasanya melakukan jogging pagi-pagi sekali. Saat hendak keluar, Rafi menegur Madava.
"Papa mau kemana?" tanya Madava yang pagi itu sedang menikmati tayangan televisi. Sementara Ayu sedang mencuci pakaian.
Madava melirik datar pada Rafi. Ia masih belum bisa terima menikah dengan janda beranak satu. Oleh sebab itu, ia pun belum bisa benar-benar menerima keberadaan Rafi.
"Jogging," jawab Madava datar kemudian segera pergi.
Rafi menundukkan wajahnya. Ia merasa sedih karena sikap Madava tidak seperti ayah teman-temannya. Sejak dulu Rafi ingin sekali memiliki ayah seperti teman-temannya, tapi setiap ia bertanya pada ibunya dimana ayahnya, ibunya selalu mengatakan kalau ia sudah tidak ada. Saat Rafi kembali menanyakan memangnya kemana ayahnya, tapi Ayu tidak pernah menjawab. Ia selalu diam dan mengalihkan perhatian.
Madava diam-diam melirik wajah murung Rafi. Entah kenapa, ia merasa terganggu dengan ekspresi itu. Ada rasa tak nyaman. Namun Madava tidak mau terlalu memikirkannya. Ia memilih segera pergi dari sana.
Pulang dari jogging, Madava masuk ke pekarangan rumah. Namun ada yang aneh. Ia mendengar suara tawa dari dalam rumahnya. Salah satu tawa itu ia yakin berasal dari Rafi. Namun yang membuatnya penasaran, Rafi tampaknya sedang bercanda dengan seorang pria. Tangan Madava mengepal. Ia kesal karena Ayu sudah membawa laki-laki lain ke dalam rumah tanpa sepengetahuannya.
"Dasar perempuan sialan! Berani-beraninya dia membawa laki-laki masuk ke dalam rumah. Awas saja, aku pasti akan memberinya pelajaran!" kesal Madava dengan tangan terkepal.
Baru saja Madava ingin berseru kesal, tapi saat melihat siapa yang sedang bercanda dengan Rafi, mata Madava seketika terbelalak.
" ... "
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰 ...