NovelToon NovelToon
Biarkan Aku Jatuh Cinta

Biarkan Aku Jatuh Cinta

Status: tamat
Genre:Tamat / Nikahmuda / CEO / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:11.8M
Nilai: 5
Nama Author: Me Nia

BIARKAN AKU JATUH CINTA
Ig @authormenia

Akbar diundang ke SMA dan bertemu dengan Ami yang muda dan cantik. Hatinya terasa kembali pada masa dia masih muda, bagaikan air dingin yang dituangkan air mendidih. Dia menemukan jiwa yang muda dan menarik, sehingga dia terjerumus dalam cinta yang melonjak.
Akbar menjalin hubungan cinta dengan Ami yang berumur belasan tahun.
Bagaimana hubungan dengan perbedaan usia 16 tahun akan berkembang?
Bagaimana seorang gadis yang memutuskan untuk menikah muda harus berjuang untuk mendapatkan persetujuan dari keluarganya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

7. Nikah Yuk!

Sebuah paper bag besar ditenteng Ami begitu turun dari mobil. Ternyata Akbar tidak hanya memberi oleh-oleh untuk Bu Sekar saja, tetapi juga untuk Enin. Ia berjalan bersisian dengan Akbar menuju pintu utama yang terbuka lebar. Bisa jadi sengaja dibuka karena motor yang dipakai Leo sudah lebih dulu terparkir di pekarangan.

Ami dan Akbar bersamaan berucap salam. Di ruang tamu ada Panji dan Padma yang menemani Leo berbincang santai.

"Bestie!" Padma berseru riang usai menjawab salam. Langsung menepuk tempat duduk di sisinya yang kosong untuk Ami.

Sementara Akbar dan Panji adu tos dan berpelukan serta saling bertanya kabar. Ia juga menerima salamannya Padma.

"Lo kapan nyampe? Gue gak liat motor lo jalan di depan." Akbar mengerutkan kening menatap Leo.

"Dari tadi kali. Lo bawa mobil sport apa bawa odong-odong. Lelet banget. Gue tancap gas waktu di lampu merah." Leo mencibir dengan tatapan memicing.

"Ya kan lagi menikmati suasana jalanan. Lagian di jalan desa mana boleh ngebut. Bisa-bisa dicegat warga." Akbar beralasan.

Sementara Ami dan Padma memilih beranjak ke dalam. Bersamaan dengan Enin yang baru keluar dari kamar usai sholat isya.

"Enin, ini oleh-oleh dari Kak Akbar." Ucap Ami usai mencium tangan sepuh yang masih bugar itu dengan takzim.

"Akbar?! Akbar mana ya?" Enin menerima paper bag, tapi dengan wajah yang nampak bingung dan berpikir.

"Akbar pacarnya Ami, Enin. Hihihi." Celetuk Padma.

"Hus. Kau ini Munaroh!" Ami menyenggol Padma sampai oleng. Membuat bestie nya itu tertawa.

"Akbar sepupunya Kak Rama dari Papi Krisna. Enin ingat?" Ami mengikuti langkah Enin yang akan duduk ke sofa ruang tengah. "Tuh, orangnya, Enin." Tunjuknya begitu melihat tiga pria tampan sama-sama memasuki ruang tengah.

"Oh iya iya. Duh kalo udah tua mah jadi pelupa." Enin mengusap-usap bahu Akbar yang menyalaminya dan berlanjut saling bertanya kabar.

"Kalau aku Leo. Masih ingat nggak, Enin?" Ucap Leo sebelum mencium tangan sepuh yang ramah itu.

"Ingat atuh. Kalian kan satu paket. Kayak Rama sama Damar." Sahut Enin yang juga mengusap-usap bahu Leo. Kemudian menyuruh semuanya duduk.

"Ini teh udah pada nikah belum?" Enin menatap Akbar dan Leo silih berganti.

"Akbar belum. Kalau Leo udah, Enin." Akbar yang mewakili menjawab.

Enin manggut-manggut. "Akbar mau cari jodoh orang Ciamis juga kayak Rama? Panji juga masih jadi pejuang revolusi tuh. Enin mesti jadi penasehat terus soalnya Panji tidak sabaran."

Ucapan Eni membuat semua orang tertawa. Terkecuali Panji yang nyengir kuda.

"Enin please, jangan buka kartu. Ini rahasia antara Panji dan Enin." Protes Panji.

"Mi, ke kamar yuk. Ini obrolan 17 tahun ke atas." Bisik Padma di telinga Ami. Yang kemudian diangguki Ami. Dua anak gadis itu pun berpamitan.

"Nin, sepertinya Akbar juga pengen dapat jodoh gadis Ciamis." Ucap Akbar usai menatap punggung Ami yang menjauh dan hilang di balik pintu kamar. Tersenyum tipis penuh arti.

"Ya, Enin do'akan. Kalau pengen jodoh orang sini, Akbar harus sering main ke Ciamis. Kan witing tresno jalaran soko kulino."

"Noted, Enin. Insya Allah saran Enin nanti dipraktekin." Akbar tersenyum simpul.

Obrolan masih berlangsung dengan santai. Bahkan Enin menyuruh Akbar dan Leo untuk makan dulu. Namun ditolak dengan sopan dengan alasan sudah makan di Dapoer Ibu.

"Akbar sama Leo, malam ini harus nginep di sini. Jangan pulang ke Tasik. Kapan lagi coba kalian sengaja nengokin Enin. Orang pada sibuk gitu." Ucapan Enin bukanlah tawaran tapi perintah.

"Siap, Enin." Akbar mengangguk kuat. Tentu saja tidak akan menolak.

Di dalam kamar, Padma san Ami duduk sila di karpet dengan sekotak cemilan di tengah keduanya. Bekal yang dibawa Ami dari rumah. Berupa pisang goreng keju mozarella yang sudah dipotong-potong.

"Ami, Kak Akbar itu yang dulu hadir di nikahan Kak Cia, ya?" Tanya Padma. Ia mengusap lelehan keju mozarella di sudut bibirnya.

"Betullll, 100 buat Padma. Kak Akbar itu fans aku yang terbuang." Sahut Ami dengan mulut penuh pisang goreng yang masih dikunyah.

"Terbuang gimana maksudnya?" Padma serius bertanya.

"Nomer kontaknya terbuang bersama hapeku yang nyemplung ke sungai dulu. Aku juga udah lupa karena gak ada lagi komunikasi. Eh, nggak nyangka kemarin malah ketemu di sekolah." Ami pun menceritakan ulang tentang kedatangan Akbar ke kelasnya.

Padma menyimak dengan antusias. "Besok ke Padepokan, Mi?" Ia beralih topik pembicaraan.

"Iya. Pengen buru-buru naik tingkat. Tapi kalau sampe level atas seperti Teh Puput, aku nggak yakin deh. Soalnya sering malas latihan. Tapi mau usaha disiplin lagi ah. Seperti kata Coach Akbar, LAWAN DAN KALAHKAN DIRI SENDIRI."

"Semangat Selimut!" Padma mengepalkan tangan. Lalu terkikik bersamaan.

"Eh, aku nggak liat Ayah sama Bunda. Lagi kemana?" Ami menatap Padma dengan serius.

"Tadi siang Bunda nyusul Ayah ke Bandung. Ayah nggak bisa pulang ke sini karena lagi sibuk. Jadinya Bunda yang nyusul. Mau weekend di Bandung katanya." Penjelasan Padma membuat Ami manggut-manggut.

Panji mengajak Akbar dan Leo berpindah duduk di teras belakang setelah Enin berpamitan tidur lebih dulu. Sebuah papan catur terpasang di meja. Panji dan Akbar mulai permainan catur.

"Nji, hubungan sama Aul gimana? Udah nembak?" Akbar mulai melangkahkan dua bidak bersamaan.

***

Aul merapatkan ponsel di telinganya. Menunggu sambungan telepon dijawab oleh Anggara. Sudah dua kali menghubungi ulang. Berharap panggilan kedua itu bisa dijawab oleh Pak Polisi.

"Assalamu'alaikum, Aul."

Aul bernafas lega mendengar suara Anggara di ujung telepon. Ia menjawab salam dengan riang.

"Kak Angga, sekarang di mana?" Karena kabar terakhir yang Aul tahu, Anggara berada di Jakarta.

"Ada di Tasik. Baru pulang. Kenapa Aul? Kangen ya." Terdengar suara kekehan Anggara.

Aul hanya tersenyum tipis yang tentu saja tidak terlihat oleh Anggara. "Besok bisa ketemu nggak, Kak? Aku ada perlu sama Kak Angga." Ia berharap kali ini permintaannya bersambut. Mengingat susahnya bertemu dengan Anggara yang sedang disibukkan oleh tugas serta ikut pendidikan lagi di Akpol Semarang untuk meraih pangkat baru menjadi Ipda Anggara. Hanya hadiah dan hadiah serta komunikasi telepon yang masih terjalin selama setahun terakhir ini. Pernah bertemu, namun situasi selalu tidak pas untuk menyampaikan isi hatinya.

"Oke, Aul. Aku lagi libur. Tapi besok siang ada acara keluarga dulu. Paling bisanya malam minggu. Gimana?"

Aul terdiam sesaat. Lebih tepatnya, memikirkan tempat yang cocok untuk bicara serius. Tapi sebaiknya serahkan saja pilihan tempat kepada Anggara. "Oke, Kak. Kita ketemuan di mana?"

"Nggak gitu. Tunggu aja jam tujuh, aku akan jemput kamu. Oke?"

Aul mengakhiri panggilan usai menyetujui ajakan Anggara. Ia beralih membuka lemari. Tumpukan paper bag berderet ke atas sebanyak dua jajar. Semuanya hadiah dari Anggara dan juga Panji. Ia bukanlah seperti kebanyakan wanita yang akan senang dan melambung saat mendapat hadiah dari pria. Justru merasa beban akan adanya konsekuensi timbal balik yang harus dibayarnya.

Pagi menyapa. Di dapur rumah Enin penuh keriangan dua gadis yang sedang bersiap memasak sarapan. Itu karena Ami dan Padma sedang membuat nasi goreng sambil becanda.

"Padma, ini apa?" Ami mengacungkan apa yang dikeluarkannya dari kulkas.

Padma yang sedang mengirs bawang merah, mendongak. "Bakso," ujarnya.

"Kenapa dinamakan bakso?" Ami menyiapkan wajah di atas kompor gas. Menuangkan sedikit minyak. Menyalakan api kecil. Meski ada bibi yang bisa disuruh, ia dan Padma lebih senang melakukan sendiri setiap akhir pekan seperti ini.

"Ya karena bulat. Terus terbuat dari daging sapi." Padma beralih mengiris bakso. Sementara Ami mulai mengocok 2 butir telur di mangkuk.

"Salah, ih. Yang benar, karena lagi pengen." Ami mulai menumis bawang merah dan bawang putih.

Padma mendongak. Mengiris bakso sudah selesai dan memberikannya pada Ami. "Gimana-gimana? Padma nggak ngerti deh." Ia berdiri di samping Ami.

"Kan tadi aku nanyea, aku bertanyea-tanyea, KENAPA DINA MAKAN BAKSO? karena lagi pengen. Bener, kan?" Ami memeletkan lidah. Kocokkan telur sudah masuk ke dalam wajan kemudian disusul irisan bakso.

"Astaga, Marimar. Kirain nanya serius. Kejebak lagi deh Munaroh." Padma menyenggol pinggang Ami usai memasukkan nasi. Dua gadis itu tertawa bersama.

Mendengar kehebohan dari arah dapur, yang bagi Panji sudah tidak aneh, ia dan Akbar yang baru pulang joging, datang menghampiri. Leo masih di luar karena sedang menelepon istrinya. "Bagi dong. Kita juga mau."

"Boleh-boleh. Tapi kalau nggak enak harap maklum ya. Kita masih belajar." Sahut Ami yang menoleh sekilas. Ia sedang menambahkan kecap serta bumbu lainnya sebagai penyedap.

"Tapi dari wanginya ini pasti enak." Akbar memperhatikan dari dekat sebelum mengambil air minum di meja.

"Semoga saja. Hihihi." Ami menyuruh Padma untuk tes rasa. Setelah mendapat acungan dua jempol, barulah api dimatikan.

Padma menyiapkan piring. Ami mendekati Akbar yang minum sambil duduk di mini bar bersama Panji. Ia berdiri di samping Akbar yang mengenakan kaos putih slimfit.

"Kak Akbar, ini terbuat dari apa?" Ami menunjuk nampan coklat di samping lengan kanan Akbar.

Akbar menyimpan gelasnya di meja usai meneguk sampai habis. "Kayu," jawabnya yakin.

"Kalau ini?" Ami beralih mengambil sendok garpu estetik di pajangan.

"Kayu juga." Akbar mencoba meraba maksud pertanyaan Ami. Tapi masih gelap.

Padma urung menuangkan nasi goreng ke piring. Mendekati mini bar. Penasaran dan curiga terhadap pertanyaan Ami. Begitu juga Panji antusias menyimak dengan satu tangan menopang dagu.

Ami mulai menjajarkan nampan dan sendok garpu di tengah meja berbahan marmer. Lalu mulai menunjuk dan berkata, "Nih Kayu, nih kayu." Terakhir telunjuknya di tempelkan ke dada Akbar. "NIKAH, YUK! Hihihi."

"Ahahaha....kena deh!" Padma tertawa lepas. Begitu juga Panji.

Sementara Akbar menangkap tangan Ami. Dengan ekspresi gemas mengeratkan gigi. Seolah ingin menggigit telunjuk gadis itu yang cekikikan.

1
Aira Azzahra Humaira
seeerrr tarik mang
Aira Azzahra Humaira
ahhaayyy aku yang kelonjotan serrr
Aira Azzahra Humaira
ah dasaaar cewek gatel
Pudji Widy
ami kan di tinggal ayah nya dr kecil,jadi di suka dan nyaman dg pria dewasa' Krn merindukan kasih sayang bapak nya
Pudji Widy
kenapa yg berasa dag Dig dug aku juga ya? hiss apa aku jatuh cinta sama Akbar?? amii..Akbar ku tikung yaaaa!!!!😀😀
𝕭'𝐒𝐧𝐨𝐰 ❄
3tahun bisa sabar, ehhh 1hari aja gak sanggup sih...
𝕭'𝐒𝐧𝐨𝐰 ❄
ehhh kode tuh...
𝕭'𝐒𝐧𝐨𝐰 ❄
🤣🤣🤣🤣
Aira Azzahra Humaira
ah camer perhatian amat
Aira Azzahra Humaira
MasyaAllah cutie 🥰🥰
Aira Azzahra Humaira
pokoknya mah ter Ami amii 🥰🥰
Aira Azzahra Humaira
Amiin
Aira Azzahra Humaira
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Aira Azzahra Humaira
hahhhh bukan matre tapi kebutuhan 🤣🤣🤣
Aira Azzahra Humaira
selamat ya iko 😘
Aira Azzahra Humaira
hahhhh salam paham kira Anu ehm ehmmm ya sya 😂😂
Aira Azzahra Humaira
percintaan manis penuh dengan senyuman
Aira Azzahra Humaira
bukan mimpi itu Amii emang ayang lg nonton
Aira Azzahra Humaira
akbar jadi SUPORTERNYA Amii
Aira Azzahra Humaira
tuh akbar bijak orangnya suka deh
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!