kisah nyata seorang anak baik hati yang dipaksa menjalani hidup diluar keinginannya, hingga merubah nya menjadi anak yang introvert dengan beribu luka hati bahkan dendam yang hanya bisa dia simpan dan rasakan sendirian...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widhi Labonee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecewa
Sepuluh hari sudah Tiwi berada di rumah sang Paman. Hari ini waktunya dia pulang ke rumahnya. Bajunya sudah dia masukkan kedalam tas. Termasuk uang saku yang diberi oleh kakeknya kemarin. Tampak sang Paman sedang memanasi mobil bak terbuka milik sang Kakek yang akan dibuat mengantar dirinya kembali pulang.
“Wi, Bibi titip ini ya buat mbah Mirah,” ujar tante nya yang sedang hamil tua itu kepada Tiwi sembari menyerahkan bungkusan dan menyimpannya kedalam tas milik Tiwi.
Gadis kecil itu mengangguk, dipeluknya tubuh Bibinya ini erat, diusap dan diciumnya perut buncit sang Bibi.
“Adik, nanti kalau kamu lahir aku kesini lagi ya, kita akan main bersama-sama ya…”
Sang Bibi mengusap lembut kepala Tiwi. Kemudian mengantar anak itu ke halaman depan, dan menyuruhnya segera masuk ke dalam mobil itu.
“Dadadadah.. mbak Tiwiii! Nanti kalau libur kesini lagi yaaa!” Seru Widya dan Lili, dua orang sepupu yang menemaninya selama dia mengungsi ke rumah ini.
“Iyaaa… kalian juga main ke rumahku yaaaa!” Seru Tiwi dari dalam mobil.
Dan sang Paman pun melajukan mobil meninggalkan desa di lereng gunung itu dengan perlahan.
“Wi, apapun yang akan kamu temui di rumah nanti, itu lah yang terbaik bagimu kedepannya. Kamu jangan sampai kepikiran hingga sakit lagi ya. Kamu itu anak kuat, anak hebat! Paman percaya kamu akan mampu menghadapi kenyataan hidupmu seberat apapun itu,” paman Suyitno berkata sembari mengusak lembut rambut Tiwi yang duduk disebelahnya dengan anteng itu.
“Loh, memangnya ada apa di rumah Paman?” tanya Tiwi penasaran.
Sang Paman hanya tertawa kecil.
“Ibumu sudah menikah lagi. Dan kali ini dengan orang yang tepat, yang akan menyayangimu sepenuh hatinya. Kamu harus patuh dan menghormatinya sebagai Bapak mu. Apapun yang dikatakan padamu, itulah kebenaran. Jangan dengarkan kata orang lain. Ingat kata Paman ya Wi,” pesan Om Suyitno pada keponakannya ini.
Tiwi hanya mengangguk ragu, terus terang dia bingung, mengapa yang disampaikan oleh Pamannya ini hampir mirip dengan pesan dan nasehat kakeknya? Dan apa tadi? Ibunya sudah menikah lagi? Apa? Berarti dia punya Bapak baru dong… dia berharap Bapaknya adalah Pak Raka, lelaki lembut yang begitu menyayanginya, sering membelikannya hadiah dan juga es krim di wadah yang besar. Seringkali mengajaknya jalan dengan mobil sedan warna hijaunya itu. Ah, alangkah bahagianya hati Tiwi membayangkan itu semua.
Setelah satu jam kemudian, sampailah mobil yang ditumpangi paman dan keponakan itu di halaman rumah bu Mirah. Tiwi yang tidak sabaran segera membuka pintu dan turun dari kursi penumpang, berlari menuju pintu samping berteriak memanggil neneknya.
“Mbaaahh.. mbah Miraaahh… Tiwi pulang Mbah… !”
Seorang wanita tua dengan kebaya dan kain jarit lusuhnya, tampak teegesa keluar dari dapur. Mencuci tangannya, kemudian mengusap wajahnya.
“ Alhamdulillaahh… cucuku yang cantik sudah pulang..” bu Mirah merentangkan tangannya dan Tiwi pun merangsek masuk ke dalam pelukannya. Diciuminya kepala anak kecil yang tingginya sudah hampir di telinganya ini.
“Diantar siapa Ndhuk?”
“Paman Yitno, Mbah… Ibuk mana Mbah?”tanya Tiwi mencari keberadaan ibunya.
“ Ibumu sedang keluar dengan Bapakmu Ndhuk, mungkin sebentar lagi mereka datang. Masuk sini Le !” panggil bu Mirah kepada anak lelaki bungsunya itu.
Paman Suyitno pun segera duduk dekat ibunya. Disalaminya tangan keriput sang Ibu, diciumnya pipi tirus milik wanita yang telah melahirkannya ini.
“Masak apa Bu? Kok baunya harum dan enak begini?” tanyanya.
“Bikin sayur Nangka muda dan juga pepes ikan Tuna. Kamu mau makan? Ibu ambilkan ya?”
“Nggak usah Bu, duduk sini saja. Aku mau ambil sendiri saja,” ujar Suyitno berdiri dan mengambil makanan di dapur.
“Mbah… beneran Ibu sudah menikah lagi? Sama siapa Mbah? Pak Raka ya?” tanya Tiwi yang masih menggelendot manja kepada neneknya ini.
“Iya Ndhuk, ibumu sudah menikah lagi. Tapi bukan dengan pak Raka, melainkan pak Ismawan. Jadi kamu sekarang sudah punya bapak lagi, yang akan menyayangimu sepenuh hati. Hormati dan patuhi dia ya…” jawab bu Mirah dengan menambahkan pesan pada Tiwi.
Degh.
Mengapa harus dengan pak Ismawan? Mengapa bukan dengan pak Raka?
“Loh, Mbah… mengapa ibu tidak menikah dengan pak Raka? Aku sangat menyayanginya, seperti dia yang selalu menyayangiku Mbah. Aku nggak mau sama Pak Ismawan… dia jahat! Aku nggak suka…hiks..hiks..” Tiwi pun mulai menangis.
Bu Mirah hanya bisa merengkuhnya dalam dekapannya. Satu tetes air mata meluncur di pipi tirus wanita tua itu…
‘ Andai kamu tau, bahwa, kami pun sebenarnya berharap Raka yang menjadi Bapakmu, tapi bagaimana mungkin jika Bapak kandungmu yang meminta untuk menikahi ibumu, dengan ancaman kamu yang akan dia ambil kembali jika ibumu tidak mau…’ monolog bu Mirah dalam hatinya.
“Pokoknya Tiwi mau sama pak Raka… dia janji akan belikan Tiwi boneka yang bisa bicara dan menangis Mbah… Tiwi maunya pak Raka Mbah…huwaaaaa….”
Bagai ditampar, wajah bu Mirah menjadi pias. Dia ingat tentang Boneka yang dimaksud Tiwi dan memang sudah dibelikan oleh Raka. Hanya saja dibakar dengan sadis oleh Ismawan hanya karena rasa cemburu nya itu.
Ingin rasanya bu Mirah menceritakan hal itu. Tapi beliau tidak ingin membuat gadis kecil ini menjadi semakin sedih. Cukup hanya dia dan Riyanti yang merasakan kehancuran hati menyaksikan Raka yang patah hati
dan berjalan dengan gontai keluar dari rumah ini.
Suyitno hanya bisa melihat semua itu, dia sebenarnya sudah tidak berselera makan, tetapi karena dia sudah terlanjur mengambil nasi dan lauk serta sayurnya, mau tidak mau harus dia makan dan habiskan.
Ditengah-tengah tangisan Tiwi yang terdengar begitu menyayat hati itu, tiba-tiba terdengar langkah mendekat bukan cuma satu tapi dua.
“Tiwi sayang… “ panggil Riyanti pada anaknya yang sedang menangis pilu di pelukan sang Nenek itu.
Gadis kecil itu pun mendongakkan kepalanya, tampak air mata yang deras menetes di pipinya. Dia hendak berpindah memeluk ibunya ketika dilihatnya sesosok laki-laki yang berdiri sedikit di belakang ibunya. Ditatapnya lelaki itu dengan tajam, seolah ia ingin menelan pria matang itu.
“Sini, peluk Ibu. Apa kamu nggak kangen sama Ibu Nak?” Bujuk Riyanti kepada anak cantiknya ini.
Dengan perlahan Tiwi, beralih memeluk ibunya. Setelah itu, dia bertanya dengan suara terbata-bata,
“Ib-bu..meng-ngapa ti-tidak menik-kah dengan pak Ra-ka sssaja? Ti-wi sangat menyayanginya Bu..Tiwi maunya dia yang jadi pengganti Bapak yang sudah di Surga sana…hiks..hiks..”
Riyanti tercekat, dia hanya diam dan mengelus lembut surai anaknya. Hatinya kembali teriris mengingat satu nama itu. Dimana baru saja dia mendapat kabar jika Raka telah menghembuskan nafas terakhirnya, setelah sepulang dari rumah ini dia langsung terkena serangan jantung dan masuk ICU..
“Mulai sekarang akulah Bapakmu, Tiwi, karena kamu adalah anak kandungku. Jasi tidak akan ada lelaki lain yang bisa menggantikan aku dihidupmu. Ingat itu !” ujar Ismawan kepada anaknya dengan nada sedikit tinggi.
“Mas…Jangan berkata dengan nada kasar kepada anakmu, dia adalah anak yang berhati lembut. Dan dia tidak pernah mendapatkan bentakan satu kata pun dari kami semua, karena kami selalu mengajarkan kelembutan padanya, bukan kekerasan.” Tukas Riyanti kepada suami barunya itu.
“Aku hanya mengajarkan hal yang benar dan mengatakan yang sesungguhnya pada anak ini. Dengar Tiwi, aku adalah Bapak kandungmu. Jadi kamu harus mematuhi apapun yang aku ucapkan, karena akan berdosa besar seorang anak yang berani melawan dan membantah kepada kedua orang tuanya.” Ujar Ismawan lagi kali ini dengan intonasi yang biasa tidak meninggi seperti tadi.
Tiwi hanya terdiam di pelukan ibunya. Sungguh dia tidak suka pada lelaki ini, tapi mengapa justru dia lah yang menjadi Bapaknya sekarang. Setelah puas menangis, Tiwi pun bermaksud mencari ketiga bestie-nya.
Dipanggilnya nama ketiganya bergantian.
Tapi tidak ada satu tanda pun yang menandakan dua ekor anjing dan satu kucing peliharaannya itu masih ada. Dengan setengah berlari Tiwi berlari mengitari rumah. Namun tidak ada satupun dari tiga hewan itu yang muncul.
“Mbaaahhh…Ibu… kemana Lupus, Melky dan Boy? Kok mereka tidak ada di rumah?” Teriak anak itu ketakutan.
Tiba-tiba Ismawan muncul dsri dalam rumah dan berkata lantang,” Mereka sudah aku buang. Aku berikan kepada siapa saja yang membutuhkan. Aku tidak ingin rumah ini penuh dengan najis dari mereka. Mulai besok kamu masuk ngaji di sekolah Diniyah dan ngaji ke Kyai Rusdi. Biar kamu paham. Kita tidak boleh memelihara Anjing dirumah.
Brugh.
Tiwi terjatuh lemas, ketiga temannya dibuang? Dunianya terasa gelap. Hatinya sesak. Rasa kecewa yang sedari tadi menumpuk akhirnya membuatnya susah bernafas. Dan gadis kecil itu pun pingsan di halaman.
Bagaimana Tiwi menjalani hari-harinya kemudian?
Sanggupkah dia bertahan?
...****************...