Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.
sanggupkah ia lepas dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanasta 6
Ruang pribadi Soni berada di lantai tiga, sebuah area yang jarang dilewati siapa pun.
Pintu besar dari kayu gelap itu terbuka dengan suara berat, dan Hana melangkah masuk dengan kaki gemetar.
Ruangan itu luas.
Terlalu luas.
Dindingnya dipenuhi buku-buku tebal, lukisan mahal, dan aroma kayu cendana serta anggur merah yang melekat di udara.
Tempat tidur besar berada di tengah ruangan, dengan lampu emas yang menerangi sisi-sisinya.
“Masuk,” perintah Soni tanpa menoleh.
Hana mematuhi.
Jantungnya berdetak begitu keras hingga ia bisa mendengarnya sendiri.
Soni menutup pintu.
Klik.
Suara itu membuat tubuh Hana kaku sepenuhnya.
Soni duduk di sofa dan menatap Hana lama sekali
“Kenapa kau berdiri di sana?”
Suaranya rendah, tetapi tidak lembut.
Hana menelan ludah.
“Saya… menunggu instruksi Anda, Tuan.”
Soni mengangkat alis.
“Bagus. Kau mulai mengerti.”
Ia memberi isyarat agar Hana mendekat.
Hana berjalan pelan, tak berani menatap mata Soni.
“Hari ini kau berlutut. Besok, kau belajar aturan baru.”
Hana menggenggam ujung bajunya erat.
“A-aturan?”
Soni menyandarkan tubuhnya.
“Setiap istri yang baik tahu cara bersikap.
Kau, sayangnya… terlalu dekat dengan anakku.”
Hana gemetar.
“Saya tidak… saya tidak bermaksud—”
Soni memotongnya.
“Karena itu, aku perlu memastikan kau tidak berpikir untuk mendekatinya lagi.”
Hana merasakan tenggorokannya mengering.
“Apa yang harus saya lakukan…?”
Soni mendekat.
Ia menempatkan kedua tangannya di kedua sisi tubuh Hana, tidak menyentuh, tapi mengurungnya.
“Kau tinggal di ruangan ini.
Bersamaku.
Tidak di lantai dua, tidak di dekat James.”
Hana mengangguk cepat.
“Baik…”
“Dan kau tidur di sini,” kata Soni sambil menepuk sofa panjang di sebelahnya.
Hana membeku.
“T-di sofa?”
“Ya. Dekat aku.”
Soni menatapnya dingin.
“Aku ingin mengawasi setiap gerakmu.”
Hana menelan rasa takut.
“Baik, Tuan…”
Soni berjalan ke arah meja, menuang anggur merah ke dalam gelas kristal.
Sambil membelakangi Hana, ia berkata:
“Kalau kau kabur lagi… aku sendiri yang akan menyerahkanmu ke polisi dengan tuduhan yang tidak akan bisa kau bela.”
Hana membeku.
Itu ancaman yang lebih buruk dari apa pun.
Karena Hana—di masa lalunya—memiliki sesuatu yang tidak boleh diketahui siapa pun.
Sesusatu yang bisa menghancurkan hidupnya bila dibuka kembali.
Dan Soni tahu itu.
Hana duduk di sofa, ketakutan tapi patuh
Soni kembali dan duduk hanya beberapa sentimeter darinya.
Ia menyeruput anggur, lalu berkata dengan nada datar:
“Sekarang… kau aman.
Selama kau tetap di sisiku.”
Hana menunduk, menyembunyikan air mata yang jatuh tanpa suara.
“Aku ingin kau ingat sesuatu, Hana,” ucap Soni pelan, hampir seperti bisikan.
“James tidak bisa melindungimu dari masa lalumu.
Hanya aku yang bisa.”
Hana menutup mulutnya dengan tangan agar tidak terisak keras.
Soni melihat itu.
Ia tersenyum kecil—puas.
“Sekarang tidur.”
Hana berbaring di sofa sempit itu, menjauh dari Soni sejauh yang ia bisa tanpa membuatnya marah.
Matanya memandang langit-langit ruangan gelap itu.
Dan untuk pertama kalinya sejak menikah dengan Soni…
Hana benar-benar merasa seperti tahanan.
Di luar pintu, dua penjaga ditempatkan sesuai perintah.
Tidak ada jalan keluar.
Tidak ada lorong gelap untuk kabur lagi.
Hanya ketakutan… dan suara napas Soni di sebelahnya.
Sementara itu, di lantai dua…
James berdiri di depan kamar kosong Hana.
Kamar itu gelap.
Tempat tidur rapi, lampu tidak menyala.
Ia menutup kembali pintu kamar itu, tangannya bergetar.
“Hana ada di mana…?” gumamnya.
Ketika seorang pelayan lewat, James menahan lengannya.
“Sebutkan.”
Suaranya rendah dan berbahaya.
“Hana tidur di mana?”
Pelayan itu pucat.
“Saya… Tuan, saya—Tuan Soni melarang kami bicara…”
James mencengkeram bahu pelayan itu.
“Di mana?”
Pelayan itu akhirnya membisikkan jawaban…
dengan suara yang gemetar hebat:
“Di ruang pribadi Tuan Soni… Tuan.”
James memejamkan mata.
Bahunya bergetar oleh amarah dan ketidakberdayaan.
Hana…
di ruangan pria itu.
Sendirian.
Tanpa jalan keluar.
James meninju dinding.
BRAK.
Sampai kulit tangannya sobek.
“Tenang…” ia berbisik pada dirinya sendiri.
“Tenang. Kau akan mengambilnya kembali.
Kau akan selamatkan dia.”
Pagi itu matahari sudah naik, tapi ruangan Soni tetap gelap karena tirai tebal tertutup rapat.
Hana terbangun di sofa sempit, tubuhnya kaku karena tidur dengan posisi yang tidak nyaman.
Kepalanya pening.
Matanya bengkak.
Dan pergelangan tangannya masih terasa sakit akibat cengkeraman Soni malam sebelumnya.
Ia perlahan bangun, ingin bangkit ke kamar mandi, tapi—
“Jangan bergerak.”
Suara itu muncul dari arah jendela.
Soni berdiri di sana, sudah rapi dengan setelan jas hitam, menatap Hana seperti seseorang menilai barang miliknya.
Hana menunduk cepat. “Selamat pagi, Tuan…”
Soni mengangguk kecil, lalu berjalan mendekat.
“Mulai hari ini, jadwalmu berubah.”
Hana mengangkat wajah sedikit. “Jadwal saya…?”
Soni memegang dagunya, mengangkatnya agar Hana melihat langsung ke matanya.
“Kau akan berada dalam pengawasanku.
Setiap. Saat.”
Hana tertegun, tubuhnya membeku.
Soni tersenyum kecil—senyum orang yang tahu ia menang.
“Aku tidak lagi mempercayaimu berada di mansion ini sendirian.”
Ia melepas dagu Hana, lalu berjalan ke meja dan mengambil dua map tebal.
“Kau akan menemani aku kemanapun aku pergi.
Perusahaan. Pertemuan. Rumah keluarga. Makan malam bisnis.”
Hana mengangguk pelan.
“Baik…”
“Tapi itu baru permulaan.”
Soni menepuk map itu, lalu menunjuk pintu.
“Keluar.”
Hana mengikutinya dengan langkah kecil.
Begitu pintu terbuka—dua pelayan laki-laki berdiri di sana.
Tubuh besar. Tegap. Sorot mata datar.
Mereka seperti penjaga penjara, bukan pelayan.
“Mulai hari ini,” kata Soni, “mereka mengikuti kemanapun kau pergi.”
Hana membeku.
Suara napasnya tercekat.
Dikawal.
Dikurung.
Diawasi.
“Jika kau masuk kamar mandi,” tambah Soni,
“pintu tetap harus terbuka sedikit. Mereka berjaga di luar.”
Hana memejamkan mata, rasa malu dan takut bercampur.
“Tuan… saya—”
“Mereka tidak akan menyentuhmu,” kata Soni datar.
“Tapi mereka memastikan kau tidak lari.”
Hana menunduk sambil menahan isak.
“Terima kasih… Tuan,”
ucapnya pelan—karena ia tahu kalau ia tidak mengatakan itu, Soni akan marah.
Soni mendekat, wajahnya tepat di depan Hana.
“Dan satu hal lagi.”
Hana menegakkan tubuh, ketakutan.
“Kau tidak boleh berbicara dengan James.”
Nada Soni berubah gelap.
“Tidak boleh berdekatan dengannya. Tidak boleh memanggil namanya. Tidak boleh menatapnya terlalu lama.”
Hana menggigit bibirnya.
“Kalau aku lihat kalian bicara…
aku pastikan James menyesal pernah menyayangimu.”
Hana menunduk dalam, air mata jatuh membasahi lantai.
“Saya mengerti…”
Di ruang makan – pagi itu terasa seperti penyiksaan
Hana duduk di meja makan panjang, dengan dua penjaga berdiri tepat di belakangnya, seperti bayangan gelap yang tidak bisa ditinggalkan.
Soni duduk di ujung meja, membaca laporan.
Saat itu, langkah kaki terdengar dari arah tangga.
James muncul.
Ia melihat Hana—dan berhenti.
Begitu melihat penjaga di belakang Hana, mata James langsung berubah gelap.
“Hana…” bisiknya lirih.
Hana buru-buru menunduk.
Tangan di pangkuannya bergetar begitu keras sampai meja ikut bergetar.
James mendekat satu langkah.
“Hana, kau—”
Soni mengangkat tangan.
“Tahan.”
James berhenti… tapi matanya penuh kebencian ke arah ayahnya.
“Apa maksud semua ini?”
James menatap penjaga itu satu per satu.
“Kau menempatkan pengawal untuk Hana? Di dalam rumah sendiri?”
Soni tersenyum santai.
“Dia istriku. Aku berhak tahu setiap geraknya.”
“Itu berlebihan,” James menahan marah.
“Itu perlindungan,” Soni menoleh ke Hana.
“Karena ada pria yang mencoba mempengaruhi pikirannya.”
James mengepalkan tangan.
“Hana,” panggil James pelan.
Hana menutup mata.
Ia tidak boleh menjawab.
Tidak boleh menoleh.
Tidak boleh menyebut nama James.
Jika ia melanggar…
Hana sudah tahu apa yang akan terjadi.
Soni menyeringai.
“Jawab dia, Hana,” ujar Soni pelan.
“Tapi ingat… setiap kata yang keluar dari mulutmu akan aku simpan.”
Hana menahan napas.
Kemudian, tanpa mengangkat wajahnya,
dengan suara yang hampir tidak terdengar—
“Saya baik-baik saja… Tuan James.”
James menutup mata sesaat, wajahnya seperti hancur.
Itu bohong.
Bohong terbesar yang Hana katakan dalam hidupnya.
Tapi kalau ia berkata sebaliknya…
Soni bisa membalas itu nanti.
James menatap Hana lama, sangat lama.
Seperti mencoba membaca sesuatu yang tidak bisa diucapkan.
Soni meletakkan koran.
“Ada masalah, James?”
James menatap ayahnya dengan dingin.
“Kau pikir kau bisa mengurung Hana selamanya?”
Soni bersandar santai.
“Kau mau protes? Silakan. Tapi yang jelas—dia tidur denganku. Dia bangun denganku. Dan dia akan selalu ada di sisiku.”
Hana menunduk lebih dalam.
Air matanya jatuh ke meja.
Dia tidak berani menghapusnya.
James hampir meledak, tapi ia ingat kata-kata Nadira:
“Semakin kau marah, semakin Soni menyiksa Hana.”
Jadi James menahan diri dengan susah payah.
Ia menghela napas panjang dan berjalan pergi.
Tapi sebelum ia benar-benar menjauh, ia berkata pelan—tanpa menoleh, tapi Hana bisa mendengarnya:
“Aku akan menyelamatkanmu, Hana.”
“Aku janji.”
Dan Hana menangis tanpa suara.
Sementara Soni hanya tersenyum puas,
seperti raja yang baru saja mengikat tawanan kesayangannya lebih kuat.
"Jika kau tau kebenarannya apakah kau masih mampu mengucapkan kata itu." batin Soni menatap James.
By: Eva
13-11-25