Lasmini adalah seorang gadis desa yang polos dan lugu, Ketenangannya terusik oleh kedatangan Hartawan, seorang pria kota yang bekerja di proyek pertambangan. Dengan janji manis dan rayuan maut, Hartawan berhasil memikat hati Lasmini dan menikahinya. Kebahagiaan semu itu hancur saat Lasmini mengandung tiga bulan. Hartawan, yang sudah merasa bosan dan memiliki istri di kota, pergi meninggalkan Lasmini.
Bara, sahabat Hartawan yang diam-diam menginginkan Lasmini. Alih-alih melindungi, Hartawan malah dengan keji "menghadiahkan" Lasmini kepada Bara, pengkhianatan ini menjadi awal dari malapetaka yang jauh lebih kejam bagi Lasmini.
Bara dan kelima temannya menculik Lasmini dan membawanya ke perkebunan karet. Di sana, Lasmini diperkosa secara bergiliran oleh keenam pria itu hingga tak berdaya. Dalam upaya menghilangkan jejak, mereka mengubur Lasmini hidup-hidup di dalam tanah.
Apakah yang akan terjadi selanjutnya terhadap Lasmini?
Mungkinkah Lasmini selamat dan bangkit dari kuburannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lasmini terlahir kembali
Aura keemasan yang menyelimuti tubuh Suci Pratiwi semakin menyala terang, seolah-olah jasad yang telah mati sepuluh tahun itu sedang mengalami kelahiran kedua.
Di sisi lain, jasad Lasmini yang kaku kini tampak semakin layu, seperti bunga yang kehilangan sari kehidupannya, setelah jiwanya ditarik sempurna.
Darma, yang masih bersimpuh, memejamkan mata. Ia bisa merasakan energi yang bergolak di dalam goa, perpaduan antara kesedihan murni putrinya, amarah yang terpendam dari Suci Pratiwi, dan kekuatan tak terbatas dari Nyai Kencana Dewi. Itu adalah badai emosi dan kekuatan yang siap dilepaskan ke dunia fana.
Nyai Kencana Dewi mengangkat kedua tangannya. Di udara, benang cahaya keemasan yang merupakan jiwa Lasmini kini tersedot ke dalam raga Suci. Tiba-tiba, tubuh Suci mengejang kuat. Sebuah teriakan panjang, perpaduan antara kesakitan dan kemarahan yang tertahan selama bertahun-tahun, menggema, memantul di dinding goa.
Teriakan itu bukan hanya milik Suci, melainkan jeritan kolektif dari jiwa Lasmini yang teraniaya, dan kemarahan Suci yang mati demi kehormatannya. Mereka menyatu, menciptakan satu entitas baru.
Goa itu bergetar. Keris pusaka yang ditancapkan Darma di tanah kini memancarkan cahaya merah darah. Kembang tujuh rupa di sekeliling batu tiba-tiba layu dan menghitam, seolah semua kehidupan dihisap habis oleh ritual terlarang tersebut.
Nyai Kencana Dewi tersenyum puas. "Sudah selesai, cucuku. Bangkitlah, Lasmini-Ku yang baru."
Perlahan, tubuh Suci Pratiwi berhenti bergerak. Kelopak matanya yang tertutup berkedip, lalu terbuka.
Sepasang mata yang dulu dimiliki Suci, yang penuh ketakutan dan kepolosan, kini digantikan oleh sorot mata yang dingin, tajam, dan menyimpan kobaran api dendam yang tak terpadamkan. Itu adalah tatapan Lasmini, namun diperkuat oleh amarah sepuluh tahun dari Suci.
Sosok itu bangkit duduk. Jasad yang tadinya dingin kini memancarkan aura panas yang mencekam. Ia menoleh perlahan ke Darma, yang masih berlutut.
"Ayah..." Suara yang keluar dari bibir Suci terdengar berbeda, lebih berat dan mengandung resonansi kekuatan gaib.
Darma mengangkat wajahnya, air mata menetes.
"Putriku..."
Lasmini berada di dalam raga Suci, ia berdiri tegak dan melangkah mendekati jasadnya yang lama, jasad Lasmini yang asli, yang kini terbujur kaku. Ia menatap tubuh yang penuh luka itu tanpa emosi.
"Darah harus dibayar darah," bisiknya, suaranya mengancam. "Mereka akan tahu bagaimana rasanya neraka di dunia ini."
Nyai Kencana Dewi melayang di sampingnya.
"Kekuatanmu kini berlipat ganda, Lasmini. Amarah Suci akan menjadi bahan bakarmu. Panggil aku saat darah segar para bedebah itu siap untuk kuserap."
Sosok leluhur itu perlahan-lahan memudar, kembali menjadi asap putih beraroma melati, yang kemudian menghilang ke langit-langit goa.
Darma berdiri, kini pandangannya penuh tekad. Ia melihat bukan hanya Lasmini, putrinya, melainkan seorang prajurit pembalasan yang siap tempur.
"Kita akan mulai, Ayah. Tapi kita tidak akan membunuh mereka dengan cepat. Kita akan menghancurkan hidup mereka. Kita akan membuat mereka menyesal telah menyentuhku," ucap Lasmini, menunjuk ke arah jasadnya yang lama.
"Kuburkan raga ini dengan layak. Setelah itu, kita akan mencari Bara, komplotannya, dan siapa pun yang berani melindungi mereka."
Darma mengangguk. Ia segera menggendong jasad putrinya yang lama dan membawanya keluar dari goa untuk dikuburkan di tempat yang tersembunyi dan terhormat.
Setelah tugas itu selesai, ia kembali ke Lasmini (di raga Suci).
"Kita harus menjemput Ibumu, Nak. Dia harus melihatmu," kata Darma.
"Tidak perlu, Ayah," jawab Lasmini. Mata tajamnya menatap ke arah luar hutan, seolah ia bisa melihat menembus pepohonan lebat.
"Aku tahu di mana Ibu. Aku merasakan ketakutan dan kelelahannya. Aku akan menjemputnya. Ayah, siapkan semua yang kita butuhkan. Aku ingin semua bekal gaibmu, semua jimat dan mantra yang pernah Ayah pelajari. Kita akan melakukan ritual pembersihan sebelum kita mulai memburu."
Darma terkejut melihat inisiatif dan kekuatan yang begitu cepat muncul.
"Baik, Putriku. Tapi hati-hati, Mbah Ageng sudah tahu kita bergerak."
Lasmini tersenyum dingin, senyum yang sama sekali tidak dimiliki Lasmini yang dulu.
"Mbah Ageng? Dia hanya pelayan kebaikan yang bodoh. Aku tidak akan menyentuh rumahnya. Aku akan langsung ke sumbernya. Tapi, aku akan singgah sebentar di rumah kita di Pandan Sari."
Darma mengerutkan kening. "Kenapa ke sana?"
"Dinding gaib yang Ayah rasakan tadi," jelas Lasmini, menyentuh dadanya. "Energi Mbah Ageng terlalu kuat, tapi aku bisa mencari titik lemahnya. Lagipula, aku ingin memberikan pesan pertama. Pesan darah."
Tanpa menunggu jawaban Darma, sosok Lasmini yang baru, dengan raga Suci Pratiwi telah melayang cepat ke arah luar goa, menghilang di antara rimbunnya hutan.
Malam semakin larut. Di rumah kedua orangtuanya Lasmini, Mbah Ageng sedang duduk bersila, matanya terpejam, mempertahankan dinding gaib yang ia ciptakan. Ia merasakan energi Darma sudah menjauh, namun ada sensasi lain, energi baru yang jauh lebih dingin dan bengis, yang kini bergerak mendekat.
Tiba-tiba, suara retakan keras terdengar dari depan rumah.
Mbah Ageng membuka mata. Ia melihat bayangan yang melayang di halaman. Itu adalah sosok wanita yang sangat cantik, namun auranya gelap.
"Kau Darma?" tanya Mbah Ageng, suaranya waspada.
Sosok itu tertawa kecil, tawa yang menusuk tulang. "Bukan, Kakek tua. Aku adalah yang akan membunuhmu. Atau lebih tepatnya... aku adalah yang akan membalaskan dendamnya."
"Kau bukan Lasmini..."
"Aku adalah Lasmini yang baru. Yang pantas mendapatkan nyawa para bajingan itu."
Lasmini tidak menyerang dinding gaib Mbah Ageng. Ia tahu itu membuang waktu. Sebaliknya, ia melompat tinggi, melewati benteng tak terlihat, dan mendarat di atap rumah kayu tua di samping rumah kedua orangtuanya.
Mbah Ageng hanya bisa berteriak, "Jangan! Jangan sentuh Bu Kanti! Dia tidak bersalah!"
Lasmini tersenyum keji. Ia kemudian merapal mantra singkat. Tubuh Bu Kanti, yang sedang tertidur lelap, tiba-tiba terbangun dan melayang, ditarik paksa keluar dari jendela kamarnya.
Lasmini tidak melukai Bu Kanti. Sebaliknya, ia mendarat di tanah, memegang erat tangan Bu Kanti yang ketakutan.
"Tenang, Ibu. Aku Lasmini. Putrimu," bisik Lasmini, matanya melembut sesaat. "Ayah sudah menunggumu."
Kemudian, Lasmini kembali menoleh ke arah Mbah Ageng, yang kini berdiri di ambang pintu rumah nya dan siap untuk menyerang.
Lasmini mengangkat tangan kirinya, dan dengan kecepatan yang tidak mungkin dilakukan manusia, ia menyabetkan kukunya ke udara. Bukan Mbah Ageng yang terluka, melainkan sebuah pohon nangka tua yang berdiri di perbatasan halaman rumah.
Pohon itu, yang selama ini dianggap keramat, tiba-tiba terbelah menjadi dua. Darah hitam pekat mengucur dari batangnya yang terbelah. Di dalam batang pohon, tersembunyi jimat-jimat pelindung yang telah disiapkan Mbah Ageng.
Lasmini mengeluarkan pisau belati kecil yang Darma berikan padanya, dan dengan cepat menusuk telapak tangan Bu Kanti hingga berdarah. Ia lalu mengusap darah Bu Kanti ke batang pohon yang terbelah.
"Ini adalah Sumpah Darah pertamaku, Mbah Ageng," ujar Lasmini dengan nada penuh kemenangan. "Kau lindungi mereka, maka aku akan mengorbankan yang kau sayangi. Perburuan sudah dimulai. Suruh Bara dan komplotannya untuk bersiap, karena mereka akan menjadi santapan pertamaku!"
Setelah mengatakan itu, Lasmini membawa Bu Kanti menghilang ke dalam kegelapan hutan, meninggalkan Mbah Ageng yang tertegun, menatap pohon keramat yang terbelah dan berlumur darah.
Lasmini telah mengumumkan perang.
Bersambung...
aku GK berani bc tp. cuma intip sinopsis.. keliatan serem banget