Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?
Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.
“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.
Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hijrah Rasa - 06
Di dalam area kampus, suasananya lebih tenang. Langkah kaki mahasiswa terdengar berbaur dengan percakapan kecil di koridor.
Setelah mendapat informasi dari administrasi kampus, disinilah kedua gadis itu berada. Farah dan Zira baru saja keluar dari gedung administrasi setelah mengambil dokumen yang telah dilegalisir.
"Finally," Zira menghembuskan napas lega, menggoyang-goyangkan amplop cokelat di tangannya. "Satu langkah lebih dekat ke Venezia."
Farah hanya tersenyum tipis. Langkahnya sedikit melambat saat mata mereka menangkap pemandangan familiar di depan-kantin kampus. Tempat yang dulu menjadi pelarian mereka dari jadwal kuliah yang padat, sekarang terasa seperti nostalgia.
Tanpa banyak bicara, mereka masuk dan memilih sudut favorit. Kursi di dekat jendela besar, tempat mereka dulu menghabiskan waktu berjam-jam, membicarakan mimpi, tugas, atau sekadar mengeluh soal dosen killer.
Zira menyandarkan punggungnya ke kursi, menyeruput jus jeruknya pelan. "Aku seneng banget, Fa! Akhirnya kita bisa ke Venezia." Nada suaranya dipenuhi antusiasme
Farah tersenyum samar. "Hm… aku juga seneng." Ia mengaduk-aduk bakso yang di pesan tadi, tanpa mencicipinya sedikit pun. "Akhirnya cita-cita gue buat kuliah di sana bentar lagi akan terwujud."
Zira mengangguk cepat. "Aku nggak sabar! Kita bakal tinggal di negeri seribu kanal. Kamu bayangin, Fa! Gondola, bangunan klasik, arsitektur terbaik dunia. Ini gila!"
Farah mengalihkan pandangan pada jendela disamping.Keresahan pada sorot matanya terpancar jelas disana.
Zira menangkap perubahan, antusias Gadis itu tak lagi sama seperti awal mereka mengurus dokumen S2.
Zira menyesap jusnya lagi sebelum bertanya, "Fa... gimana Tante Rina dan Om Danial? Mereka udah tau?"
Farah terdiam sejenak. Ada jeda yang terlalu lama sebelum ia akhirnya menjawab, "Papa udah tau."
Zira menghela napas lega. "Alhamdulillah. Tapi... dizinin kan ambil S2 di Venezia?"
Farah menggeleng pelan. "Papa nggak setuju." Suaranya berat. "Papa cuma bakal setuju kalau aku mau dijodohin sama Bang Azzam."
Zira spontan tertawa. "Ya ampun, Fa! Yaudah kamu terima aja! Langsung nikah juga nggak pa-pa." Ia menyikut lengan sahabatnya pelan. "Lagian, kamu beruntung banget tau, dijodohin sama Bang Azzam. Udah mapan, good looking, perfect. Masya Allah, tabarakallah."
Farah menatap sinis. "Ngomong sama lo emang nggak pernah dapet solusi ya? Malah ngejerumusin."
Zira terkekeh. "Namanya juga usaha, Fa. Udah terima aja.Gue sih seneng banget kalau kamu jadi istri bang Azzam."
Farah mendecit kesal. "Cih... ogah." Tiba-tiba mata itu berbinar,” Kamu bener, manusia kutub itu satu-satunya cara buat aku bisa kesana.” Sedetik kemudian wajah itu berubah sendu. “ Tapi dia udah Batalin, gimana dong, Ra?”
Bukannya menjawab Zira malah tertawa keras. Farah yang sudah sebal langsung menyentil kening sahabatnya.
"Aww! Sakit, Fa!" Zira merajuk, mengusap dahinya.
Farah memajukan bibirnya,tidak peduli dengan keluhan Zira. “Ottokke ,Ra? Aku kudu Ottokke?”
Dengan santainya Zira berucap. “Yauda, Paksa dia nikahin Kamu.Gimana?”
Farah memicingkan tatapannya. “Kesannya kok aku jadi murahan gini ya, udah jelas-jelas aku nolak dia kemari, tiba-tiba sekarang maksa-maksa minta di nikahin.”
Zira terkekeh pelan. “Nggak pa-pa nurunin harga diri dikit, demi masa depan yang mahal.”
Farah mendecih kesal. “Cih.. nggak.”
Zira memutar bola matanya. “Kalau gitu lupain Venezia dan segala pesonanya.”
“Ra…” pekiknya.
“Yauda, usaha dulu gih. Masa baru gini udah nyerah.”
“Emang,dia mau gitu, udah aku tolak.”
“Paksa.” ucap Zira singkat.
“Ish…”
"Fa..." panggil Zira lagi, kali ini lebih pelan.
"Hm?" Farah masih sibuk dengan baksonya.
"Gimana sama Tante Rina? Dia udah tahu rencana kamu?"
Gerakan tangan Farah terhenti. Ia tidak langsung menjawab, hanya memandangi jus jeruknya yang belum ia sentuh.
"Belum." Napasnya terdengar lebih berat setelah nama Rina disebut. "Dan kamu tau jawabannya,Ra tanpa aku jelasin."
Zira meneguk salivanya. Ia tahu betul apa yang dimaksud Farah.
"Sorry, Fa... Aku nggak maksud ngerusak mood kamu, tapi..."
Farah menghela napas panjang. “Bisa kan... nggak usah bahas wanita itu?"
Zira terdiam. Ia ingin meminta maaf lagi, tapi rasanya percuma. Ia hanya mengangguk pelan.
—
Teriknya mulai menyelimuti langit Jakarta. Gedung-gedung pencakar langit terlihat berdiri angkuh.Cahaya matahari masuk melalui pentilasi bangunan.
Di dalam cafeteria Moonlight Corporation, suasana kontras dengan hiruk-pikuk di luar. Beberapa karyawan masih duduk dengan laptop di meja mereka, sementara yang lain berbincang santai..
Di sudut ruangan gadis dengan rambut sebahu duduk sendiri.Tangannya melingkari gelas jus jeruk yang mulai mencair. Matanya menatap pada jendela kaca besar yang berada tepat di depannya.
Farah sengaja datang dan meminta bertemu Azzam.Namun, sudah lebih dari sejam Azzam tak kunjung menemuinya. Padahal jadwal kerja Pria itu bisa dikatakan tidak padat untuk hari ini, ia mendapat info itu dari Rayyan — suami Zira.
Farah mengetukkan jarinya ke meja dengan ritme pelan. Matanya melirik layar ponsel-tidak ada pesan masuk. Napasnya dihela panjang, menahan sebal yang mulai membuncah.
Di tengah kegelisahannya menunggu, akhirnya-pria itu datang.Langkahnya tegas, terukur, membawa aura yang membuat orang-orang di cafeteria menoleh sekilas.
Azzam datang tidak sendiri ia bersama seorang wanita dan pria seumurannya.Terlihat ketiganya berbincang, nampak keseriusan di raut wajahnya.
Mungkin sedang membicarakan bisnis atau entah apalah itu Farah tidak tahu.
Farah melambai kearah pria itu, tapi Azzam tidak mengubris, padahal jelas-jelas sejak awal masuk tadi Azzam sudah melihat keberadaannya.
Dengan raut kesal Farah berdiri dan berteriak. “ Bang Azzam..,” pekiknya. Lengkap dengan senyuman lebar yang terlihat di paksakan.
Sontak teriakan ikut mengalihkan atensi Pria itu dan karyawan yang ada di sana.
Azzam menghela pelan mengalihkan perhatiannya pada Gadis yang tengah tersenyum lebar kearahnya.
“Siapa sih?lo, kenal dia?” Tanya wanita yang bersama Azzam sejak tadi, Dia Sienna sahabat Azzam.
“Bukannya itu Farah, anaknya pak Danial kan?” Tanya Rizam,Pria yang bersama Azzam.
“Hm.” Azzam hanya berdeham sebagai jawaban.
“Ngapain dia disini?” Tanya Sienna,dengan wajah ketus.
Tanpa menjawab pertanyaan Azzam, berlalu menghampiri Farah yang sedang menunggunya disana.
“Apa?” Tanya Azzam datar saat sudah berada didepan gadis itu.
Farah nyengir kuda. “Duduk dulu.Aku mau bahas masa depan kita.”
Azzam mendecit. “Cih.” Ia menjatuhkan diri ke kursi, menyilangkan tangan di dada.
Farah terkekeh.“Mukanya jangan jutek gitu dong, calon cuami.”
“Cepat katakan. Saya nggak punya banyak waktu.” Sergah Azzam.
“Sok sibuk banget sih.” Celetuk Farah.
“Memang saya sibuk.” Ketus Azzam. “Katakan apa maumu!”
Farah mengulas senyum semanis mungkin. “Mau jadi istri kamu. Kita nikah yuk.”
Azzam sama sekali tidak kaget dengan ucapan gadis di depanya. “Nggak.”
“Ishh… maulah… mau dong… mau ya… ya…” Bujuk Farah.
Azzam menatap datar gadis di depannya yang kini tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat, kemarin jelas-jelas menolak perjodohan mereka, dan sekarang tiba-tiba datang ngajak nikah.
“Nggak… pulang sana…” usir Azzam.
“Ishh…please, kita nikah dong,” bujuk Farah sembari menaik turunkan alisnya.
Azzam menghela napas kasar. “Nggak.. kamu sendirikan yang minta Om Danial batalin.”
Farah mengedurkan bahunya. “Iya sih, aku yang minta. Tapi sekarang aku siap kok jadi istri kamu.” ucapnya lengkap dengan cengiran khas.
Azzam memutar bola matanya malas,lalu berdiri siap untuk pergi. “Pulang sana.”
“Ish..”Geram Farah.” Dasar manusia kutub.” Ucapnya samar, tapi mampu menghentikan langkah Azzam.
Pria itu berbalik menatap Farah.Gadis itu melempar senyum manisnya.
Sebelum Azzam berbicara Farah lebih dulu bersuara. “Besok aku datang lagi ya, Mas Azzam.”
***
Matahari mulai meninggi, sinarnya menembus celah-celah jendela kaca di sebuah kamar bernuansa putih. Cahaya itu jatuh ke atas seprai, merayap perlahan hingga menyentuh wajah seorang gadis yang masih terlelap di ranjangnya.
Farah tertidur pulas di king bed yang luas, tubuhnya terbalut piyama lengan panjang berwarna navy. Napasnya teratur, tetapi kelopak matanya sesekali bergerak gelisah, seolah terganggu oleh cahaya yang semakin menusuk. Silau itu membuatnya memicingkan mata, netranya bergerjab beberapa kali sebelum akhirnya terbuka sempurna.
Begitu matanya benar-benar terbuka, pemandangan pertama yang disuguhkan kepadanya adalah sosok seorang wanita paruh baya yang bersandar di tembok dekat nakas. Tatapan wanita itu tajam, dingin.
Farah mendengus kecil. Pandangannya segera beralih, menolak untuk terjebak dalam sorot mata yang sangat di bencinya. Suara ketukan heels menggema saat Rina melangkah mendekat, atmosfer dalam kamar terasa lebih menyesakkan.
"Bisakah kamu berhenti melakukan hal bodoh,” suaranya terdengar tegas.
Farah mengernyit heran, entah apa yang membuat wanita paruh baya itu murka.
Namun Farah tak begitu terkejut, bukankah hal seperti ini sudah sering terjadi setiap kali wanita itu gagal—dalam bisnis, atau Hal apapun itu. Seolah, bagi wanita itu, Farah adalah sumber dari setiap masalah yang menimpanya.
Farah yang masih duduk di tempat tidurnya, kini menatap ibunya dengan sinis. Ia bangkit perlahan, lalu menegakkan tubuhnya dengan tatapan yang tak kalah tajam.
"Bisakah Anda berhenti mencampuri urusan saya?" ujarnya dingin. "Setidaknya, saya tidak menyusahkan Anda, Ibu Rina Paramita."
Nada sarkas dalam suaranya begitu jelas, membuat ekspresi Rina berubah seketika. Wanita itu mendecit pelan.
"Cih, dasar anak pembangkang. Tidak tahu berterima kasih."
Farah tersenyum sinis. "Apakah saya harus berterima kasih atas kehancuran keluarga saya, Rina Paramita?"
Ucapan itu seperti tamparan telak. Wajah Rina seketika menegang, rahangnya mengeras, dan kedua tangannya mengepal kuat. Ada kilatan murka yang jelas terpancar dari netranya.
"Anak sialan!"
PLAK!
Sebuah tamparan mendarat telak di pipi Farah.
Tubuhnya tersentak ke belakang, tersungkur di atas kasur. Mata gadis itu merah menyala, bukan karena air mata, melainkan kemarahan yang membuncah. Tangannya mengepal erat, seakan berusaha menahan ledakan emosi yang mendesak keluar.
Sementara itu, Rina masih berdiri tegak, menatapnya nyalang. Tidak ada sedikit pun rasa penyesalan di matanya, seolah ingin memberi isyarat bahwa ia tidak akan mentolerir pembangkangan, bahkan dari darah dagingnya sendiri.
"Belajar lebih menghormati Mama, Farah."
Farah menyunggingkan senyum miring. "Menghormati?" ia mengulang kata itu dengan nada meremehkan. "Untuk apa saya menghormati wanita sampah yang sudah menghianati Papa saya?"
Rina membelalak. Tatapannya penuh kebencian, tangannya kembali mengepal. Dengan gerakan cepat, satu tangannya terangkat, bersiap melayangkan tamparan kedua.
Namun, kali ini Farah lebih sigap. Tangannya terangkat dan menahan pergelangan tangan ibunya dengan kuat, lalu menyentakkannya hingga menjauh dari wajahnya.
"Cukup! Sekali saja tangan sampah Anda menyentuh saya!" sentaknya, suara gadis itu bergetar.
Rina kembali mengepal tangannya dengan kuat, wajahnya merah padam karena amarah. "Anak sialan! Berani sekali kamu melawan saya!" Langkahnya semakin mendekat, tetapi terhenti saat Farah mengangkat tangannya, memberi isyarat tegas untuk tidak mendekat.
Farah berdiri tegak, menantangnya. "Keluar dari kamar saya."
Rina tidak segera bergerak. Ia bergeming cukup lama, tidak ada lagi amarah yang terpancar dari wajahnya-hanya tatapan sendu yang entah kenapa terasa menyakitkan untuk dilihat. Namun, alih-alih mengatakan sesuatu, ia memilih berbalik dan melangkah keluar.
Begitu pintu tertutup, tubuh Farah perlahan meluruh ke lantai. Punggungnya bersandar pada ranjang, kedua lututnya ditarik ke dada, memeluk dirinya sendiri.
Hanya suara napasnya yang terdengar, sedikit tersendat, seiring air mata yang jatuh tanpa isak. Rambutnya berantakan, bahunya bergetar.
“Kenapa sejauh ini Mah…” isaknya pilu.
***
Suara dentuman musik mengguncang setiap sudut kelab, menyatu dengan gelas berdenting, tawa keras, dan suara langkah kaki yang beradu dengan lantai licin. Lampu-lampu strobo berkedip liar, menyoroti wajah-wajah yang berkeringat, mabuk, dan hilang kendali.
Di tengahnya Farah menari.
Dresscon brown membalut tubuhnya dengan sempurna, memantulkan warna-warni lampu neon yang berpendar di kulitnya. Heels tujuh sentimeter menopang langkahnya di lantai yang basah oleh tumpahan alkohol. Ia menutup mata, membiarkan tubuhnya bergerak bebas. Peluh mengalir di tengkuknya.Musik menggelegar, keras dan menghentak, tapi justru itu yang ia butuhkan.
Di sudut kelab, seorang pria bersetelan formal duduk dengan tangan terlipat di dada. Matanya tajam, mengamati Farah dari kejauhan.
Tapi Farah tidak menyadarinya.
Ia terus menari. Terus membiarkan alkohol mengalir di tenggorokannya, terus membiarkan asap rokok keluar dari bibirnya.
Hingga sebuah tangan menariknya dari tengah kerumunan.
Farah menoleh cepat dengan ekspres bingung. Seorang Wanita berkacamata bundar berdiri di hadapannya, kembali menarik tangannya dengan cengkraman kuat.
Farah menepis tangannya dengan kasar. "Lo siapa ,hah?" desisnya.
Gadis itu tetap berdiri tegak. "Ikut gue sekarang.” Kembali menarik Farah.
Farah kembali menepis kasar tangan wanita itu. “Nggak, minggir lo.”
Wanita bernama Lia itu memilih mundur,Ia mengangkat kedua tangannya. "Oke, oke. Gue nggak gangguin lo."
Ia melangkah menjauh, memilih duduk di kursi bartender. Tapi matanya terus mengawasi gerak gerik Farah.
Farah kembali membiarkan dirinya tenggelam dalam musik. Satu botol, dua botol. Asap rokok, tarian, dentuman bass. Dunia mulai kabur, tapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin menghancurkan dirinya malam ini.
Di sudut ruangan, pria bersetelan formal itu masih memperhatikannya.
Farah tidak sadar ketika tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan. Langkahnya goyah, tangannya meraih udara kosong, hingga akhirnya-hampir jatuh.
Lia bergerak cepat, menangkapnya sebelum tubuhnya ambruk ke lantai.
Tanpa banyak kata, ia membopong Farah keluar dari kelab.Tak berselang lama sebuah Audi hitam berhenti di depan kelab.
Seorang pria keluar dari kursi pengemudi, ekspresinya dingin.Dengan cekatan, ia membukakan pintu. Lia memasukkan Farah yang sudah nyaris tak sadarkan diri ke dalam mobil.
Saat itu juga, pria bersetelan formal dari dalam kelab keluar.
Langkahnya tenang, penuh perhitungan. Cahaya neon dari papan nama kelab memantulkan bayangannya di trotoar. Ia menghampiri Lia, tanpa ekspresi, lalu menyodorkan sebuah amplop cokelat.
Lia menerimanya tanpa ragu. "Terima kasih," katanya, suaranya datar. Lalu, dengan nada yang lebih rendah, ia menambahkan.
"Kapan pun lo butuh gue, bisa temuin gue di tempat biasa."
***
Jangan lupa tinggalin jejak.
like, komen dan subscribe ya...
follow Authornya juga
kamshammida..