Su Runa hanya ingin hidup tenang, bekerja santai, dan rebahan damai di apartemen kecilnya. Tapi siapa sangka, setelah satu malam penuh deadline dan mie instan, hidupnya malah “di-upload” ke dunia kolosal sebagai… tokoh numpang lewat?!
Kini dengan nama Yun Ruona, ia mendapati dirinya bukan putri bangsawan, bukan tokoh utama, bahkan bukan penjahat kelas kakap—melainkan karakter sampingan yang kalau muncul, biasanya cuma jadi latar pemandangan.
Awalnya, hidupnya berjalan damai. Sistem hanya memberi satu misi: “Bertahan Hidup.” Tidak ada skenario aneh, tidak ada takdir tragis, tidak ada paksaan ikut alur novel. Ia tumbuh sebagai gadis biasa, menjalani kehidupan versinya sendiri—bebas dan santai.
…sampai takdir iseng mempertemukannya dengan seorang pria misterius. Sejak saat itu, hidup Yun Ruona yang tenang berubah jadi drama tak terduga, penuh salah paham kocak dan situasi yang bikin geleng-geleng kepala.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Najwa Aaliyah Thoati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Saat Mengantar Kepergian
Beberapa waktu berlalu — hingga awal bulan dua belas tahun 472, di penghujung musim gugur, udara di Kota Yunshan mulai terasa menggigit, dan kabut pagi sering turun lebih lama dari biasanya. Persiapan mulai dilakukan sedikit demi sedikit. Su Yulan memerintahkan pelayan untuk menyiapkan perlengkapan belajar, pakaian musim semi dan musim dingin, serta beberapa barang pribadi untuk Yun Zhen.
“Nanti jika ada yang kurang, kirim pesan ke rumah. Niangqin bantu siapkan dan kirimkan padamu ke akademi,” katanya lembut sambil melipat jubah biru muda yang baru dijahit — dan menaruh di samping jubah tebal berlapis wol untuk perjalanan dingin nanti.
“Baik, Niangqin,” jawab Yun Zhen, nada suaranya lembut namun penuh semangat.
Kini waktu keberangkatan Yun Zhen telah tiba. Yun Ruona yang digendong dalam selendang lembut menggeliat kecil. Matanya menatap kakaknya yang tengah berpakaian rapi dengan penuh rasa ingin tahu. Ia mengulurkan tangan mungilnya, menggenggam ujung jubah Yun Zhen yang menjuntai di dekatnya.
“Gege …” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan udara. Kini usia Yun Ruona sembilan bulan. Ia sudah mulai bisa mengucapkan beberapa kata dasar, meski pelafalannya masih belum jelas.
Beberapa saat lalu saat Yun Ruona mengucapkan kata pertamanya, kediaman Yun benar-benar heboh. Orang pertama yang disebut namanya adalah Su Yulan, sebagai ibu yang selalu ada di sampingnya. Orang kedua adalah Yun Zhen, sebagai sang kakak yang menemani main selepas latihan bela diri atau belajar sastra. Lalu dilanjut beberapa pelayan yang sering menemani Yun Ruona bermain ketika ibu dan kakaknya sibuk. Baru orang yang terakhir adalah ayahnya, Yun Haoran.
Saking sibuknya ia sampai jadi orang terakhir yang dipanggil. Meski hatinya sakit karena jadi orang terakhir di kediaman yang disebutkan, tapi ia tak bisa melakukan apapun. Tugas dan tanggungjawab yang dipikul sangatlah berat. Akhirnya demi menghibur sang ayah, Yun Ruona mencium pipinya. Dia jadi orang pertama yang menerima ciuman dari Yun Ruona.
Yun Ruona sering menerima ciuman dari ibu, kakak, dan ayahnya, serta dua pelayan perempuan yang memang ditugaskan untuk menjaganya. Tapi tidak pernah inisiatif untuk mencium orang lain terlebih dahulu. Hal itulah yang membuat Yun Haoran kembali bersinar wajahnya dan mulai memamerkan pada orang lain di kediaman Yun. Benar-benar sosok ayah yang tunduk pada anak gadisnya.
Yun Zhen menoleh dan tersenyum hangat. Ia berjongkok sebentar, mengusap pipi adiknya.
“Iya, Gege nggak akan lama, Meimei. Nanti Gege pulang bawa cerita banyak, ya.”
Yun Ruona terkekeh kecil, lalu kembali menggumam, suaranya seperti celoteh bayi yang tak jelas tapi terasa manja, “Gege~”
Namun di dalam batinnya, ada gema lembut yang hanya dirinya yang tahu:
“Pergilah, Gege. Lentera kecil akan tetap menyala di rumah ini sampai kau kembali.”
Ia belum mampu berbicara, tapi jiwanya yang matang mengerti — kepergian Yun Zhen bukan sekadar belajar. Dunia di luar mulai bergerak.
Di luar, embun pagi menggantung seperti kristal tipis di dedaunan plum yang mulai meranggas. Uap napas terlihat saat orang berbicara; udara menusuk di sela-sela baju. Pelayan mulai sibuk mempersiapkan kereta kecil berlapis ukiran naga awan — dan kali ini kereta diberi selimut wol serta tirai tebal untuk menahan angin dingin, tanda resmi dari Akademi Tianwen Cabang Yunshan.
Tak lama kemudian, suara langkah teratur terdengar dari arah gerbang depan. Seorang pria paruh baya berwajah tenang dengan janggut tipis datang bersama dua asisten muda. Ia mengenakan jubah biru gelap tebal dengan lambang bintang perak di dada, dan selendang wol melilit lehernya.
“Salam hormat, Tuan Yun,” ucapnya sambil menangkupkan tangan. “Hamba, Wen Yao 文曜 (Wén Yào), Kepala Akademi Cabang Yunshan (院長 — yuànzhǎng). Hari ini datang untuk menjemput putra Tuan sesuai surat perintah pusat.”
“Ah, jadi Tuan Wen sendiri yang datang,” sambut Yun Haoran sopan. “Silakan masuk. Kami sudah menantikan.”
Mereka berdua masuk ke aula tamu. Setelah saling menukar sapaan formal, Wen Yao mengeluarkan sebuah gulungan surat bersegel naga perak dan menyerahkannya dengan kedua tangan. Tangan-tangan yang menerima sedikit bergetar oleh udara dingin — bukan karena takut, tetapi karena beban pesan yang terselip.
“Ini titah dari Kepala Akademi Pusat, Tuan Han Zhixian 韓知賢 (Hán Zhīxián). Ia menitipkan pesan agar surat ini dibacakan langsung di hadapan keluarga Yun.”
Yun Haoran membuka segelnya perlahan. Aroma tinta halus memenuhi udara. Di dalamnya, kalimat ditulis dengan gaya resmi, namun terasa ada makna tersirat di balik kata-katanya.
「近日,北境风起,朝堂议纷。望云氏长子早成才,以续文脉,以备将来。」
>“Akhir-akhir ini, angin dari utara bertiup dan istana dipenuhi perdebatan. Kami berharap putra keluarga Yun segera menapaki ilmu dan menyiapkan diri untuk masa depan.”
Yun Haoran membaca dengan alis berkerut. Setiap kata seperti membawa beban yang lebih berat dari tinta yang menulisnya.
Ruangan menjadi senyap. Hanya suara kain yang bergesek lembut saat Su Yulan menegakkan tubuhnya. Tatapannya menajam sedikit, memahami pesan itu lebih dalam dari sekadar ajakan akademis.
“Angin utara …” gumam Yun Haoran lirih, suaranya tampak berembun di udara dingin. “Jadi benar, Longyuan mulai bergerak.”
Wen Yao menatapnya sekilas, lalu berbicara dengan nada hati-hati. “Kepala Akademi mengkhawatirkan keadaan di pusat. Beberapa guru besar di Longyuan Tianwen Yuan sedang diganti. Faksi cendekiawan dan pejabat istana tidak lagi sejalan.”
“Masalah politik menjalar sampai ke dunia pendidikan,” Yun Haoran menghela napas pelan. “Aku sudah menduganya sejak surat terakhir dari istana.”
“Namun, Kepala Han berpendapat murid berbakat seperti Yun Zhen harus segera ditempa. Katanya, ‘Bintang muda harus bersinar sebelum langit benar-benar gelap.’”
Kata-kata itu membuat semua yang hadir terdiam. Ada sesuatu yang berat, seperti pertanda akan datangnya badai jauh di utara. Ia menggantung di udara, seperti beban tak terlihat. Bahkan para pelayan menunduk dalam diam, seolah takut mengganggu sesuatu yang rapuh.
Di pelukan ibunya, Yun Ruona membuka matanya perlahan. Bayangan cahaya lentera memantul di irisnya yang jernih.
“Langit gelap…? Apakah itu tanda badai akan datang?” pikirnya samar. “Aku belum tahu apa yang akan terjadi, tapi… dunia ini terasa seperti menunggu sesuatu.”
Ia menggenggam kain selendang ibunya lebih erat.
“Aku hanya bisa melihat sekarang… tapi nanti, suatu hari… mungkin aku juga akan berjalan ke arah yang sama seperti Gege.”
Wen Yao lalu berdiri, menghadap Yun Zhen yang kini duduk tegak di samping ibunya. Kali ini Yun Zhen mengenakan jubah ganda: lapisan dalam halus berwarna biru, dilapisi jubah hangat berbordir halus dan mantel wol, serta selendang tebal yang melilit lehernya. Ia tampak siap untuk menahan udara dingin hari itu.
“Yun Zhen, mulai hari ini kau akan menjadi murid Akademi Tianwen Cabang Yunshan. Aku harap kau belajar dengan rendah hati. Ingat, setiap langkah pena membawa tanggung jawab atas nama keluarga dan negeri.”
Yun Zhen menunduk hormat. “Murid Yun Zhen berjanji akan berusaha sebaik mungkin.”
“Bagus.” Wen Yao tersenyum tipis. “Kau masih muda, tapi matamu sudah menyimpan semangat belajar. Itu pertanda baik.”
✨ Bersambung ✨
Tentang reinkarnasi jadi bayi, trus tetiba ada sistem. Tapi sistemnya bukan membantu si FL punya kehidupan lebih baik. Lebih ke sistem yang menghubungkan perasaan atau ikatan hubungan gitu. Ini sistem yang baru sih.
Dari judulnya Panduan Tokoh Numpang Lewat. sempet di sebutkan bentar di bab 1 & 4 tentang novel dan ingatan FL. Tapi masih belum di temukan. Ini sangat pas, berarti tokoh numpang lewat itu beneran lewat aja di buku tanpa ada yang kenal dan sadar akan keberadaannya.
Sepertinya dari 24 bab ini masih pembuka cerita. belum masuk ke intinya. Mungkin semakin ke tengah, akan semakin terbuka alur-alur tersembunyi lainnya.
Good job Author. Aku suka gaya pikirmu. Lanjutkan! aku dukung .... /Joyful//Determined//Applaud//Rose//Heart//Good/
bikin nagih deh. ditunggu bab berikutnya, ya!
/Good/
dengan berkat dukungan dan cinta kalian, aku bisa tetap ada di sini dan tetap melanjutkan kisah ini, meski gak mudah.
makasih semuanya! love U All ....
/Rose//Heart//Pray/
Kutunggu dewasamu, Nana!
alurnya mulus bgt. gak kerasa kepaksa alurnya, kayak lagi naik rollercoaster!
pokok sukak bgt!!!!
semangat mamathor!
/Drool//Angry//Determined/