NovelToon NovelToon
Nyonya Muda Danurengga

Nyonya Muda Danurengga

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Nikahmuda / Cinta pada Pandangan Pertama / Duda
Popularitas:380
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Mentari Arata Wiradiredja, gadis 19 tahun pewaris tunggal keluarga Wiradiredja—konglomerat yang tersohor bisnis hotel dan resortnya, justru ingin mengejar mimpinya sebagai desainer. Penolakannya membuat hubungannya dengan keluarga kerap tegang.

Hidupnya berubah saat tak sengaja bertemu Dewangga Orlando Danurengga, duda tampan kaya raya berusia 35 tahun yang dingin namun memikat. Pertemuan sederhana di sebuah café menjerat hati mereka, meski perbedaan usia, status, dan restu keluarga menjadi jurang besar.

Di tengah cinta, mimpi, dan konflik dengan kakak-beradik Danurengga, Mentari harus memilih: mengejar cintanya pada Dewangga, atau tunduk pada takdir keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keputusan yang tak di kehendaki

Matahari pagi menembus celah pepohonan di taman Universitas Pratama Nusantara. Burung-burung berkicau, udara Bandung masih sejuk, dan aroma rumput basah masih terasa segar. Di salah satu bangku taman, Cakra Moreno Danurengga duduk santai dengan kemeja denim dan headphone menggantung di leher.

Namun kali ini, bukan playlist musik yang ia dengar—melainkan suara kakaknya dari layar ponsel.

“Kamu terlihat terlalu santai, Cakra,” suara Dewangga terdengar dalam dan tenang, khas pria dewasa yang terbiasa memimpin rapat.

“Santai itu gaya hidup, Kak,” jawab Cakra sembari meneguk kopi kalengnya. “Tapi sekarang bukan itu yang mau aku bahas. Aku mau nanya... soal Mentari.”

Dewangga, di sisi lain panggilan video, sedang berada di ruang kerjanya. Jasnya rapi, kemeja putih terlipat sempurna di bawah jas abu-abu. Di balik ketenangan wajahnya, terselip senyum samar—nyaris tak terlihat, tapi cukup membuat adiknya mendengus pelan.

“Kak, jangan pura-pura nggak ngerti,” lanjut Cakra dengan nada menggoda. “Kebetulan banget perusahaan Kakak yang ngundang Mentari buat proyek desain? Mentari belum pernah apply, nggak aktif di publik juga.”

Dewangga mengangkat alis tipis. “Kamu terlalu banyak berasumsi.”

“Asumsi? Atau fakta yang Kakak sengaja bungkus biar keliatan profesional?”

Alih-alih menjawab, Dewangga justru memiringkan kepala, menatap adiknya dengan ekspresi yang sulit dibaca— campuran antara amusement dan misteri.

“Kamu terlihat terlalu tertarik pada gadis itu,” ucapnya tenang. “Hati-hati, Cakra.”

“Aku cuma… penasaran. Tapi sepertinya Kakak juga, kan?”

Kali ini Dewangga tidak menjawab. Ia hanya menyesap kopinya pelan, bibirnya sedikit melengkung.

“Aku harus rapat. Jangan lupa kuliahmu.”

“Heh! Jangan ngelak dulu, Kak! Jawab dulu—”

Sebelum Cakra bisa menyelesaikan kalimatnya, dari kejauhan terdengar suara ceria memanggil,

“Cakraaa!”

Cakra menoleh cepat. Dari arah gerbang taman, Mentari berjalan mendekat dengan rambut tergerai dan tote bag besar di bahunya. Sinar matahari pagi menimpa wajahnya yang polos tapi berkarakter, membuat Cakra spontan berdiri.

“Kak, aku tutup dulu!” ucapnya cepat, lalu menekan tombol end call tanpa menunggu respon.

Layar ponsel berganti gelap.

Sementara itu, Dewangga di ruang kantornya hanya menatap layar yang baru saja beralih ke hitam—dan tanpa sadar, ujung bibirnya kembali terangkat.

“Mentari…” gumamnya pelan, seolah mengulang nama yang belakangan sering terlintas di pikirannya.

.....

Cakra menyambut Mentari yang kini berdiri di hadapannya.

“Rajin banget, baru jam sembilan udah nongol. Padahal kelas kamu kan jam sepuluh.”

Mentari terkekeh, menurunkan tasnya ke bangku. “Aku gabut di rumah. Lagian di taman lebih tenang. Bisa gambar sambil nunggu dosen.”

“Masih semangat banget, ya, calon desainer D’Or Mode?” goda Cakra, setengah bercanda setengah serius.

Mentari tersenyum malu, pipinya memanas. “Ih, kamu...”

Cakra menatap Mentari sebentar—tatapan yang lembut tapi sarat makna. Mentari tak menangkap apa-apa, sibuk mengeluarkan sketchbook-nya. Namun di hati Cakra, sesuatu terasa aneh: campuran bangga, kagum, dan sedikit… was-was.

Karena kini ia tahu, gadis yang duduk di hadapannya—yang sedang serius menggambar bunga di kertas putih—mulai melangkah ke dunia yang terhubung langsung dengan kakaknya.

Dan di lubuk hati terdalam, ia tak bisa mengabaikan rasa takut bahwa Mentari suatu hari akan berpindah orbit—bukan lagi mengelilinginya, tapi mengelilingi Dewangga, sang kakak yang terlalu sempurna untuk ditandingi.

.....

Sementara itu, udara di kawasan resort milik keluarga Arata Wiradiredja begitu segar. Langit biru, kicauan burung-burung, dan semilir angin dari danau buatan yang mengelilingi bangunan utama menciptakan suasana tenang—namun tidak bagi dua orang yang sedang duduk di balkon privat lantai dua.

Adikara Wiradiredja, mengenakan batik halus dan jam tangan emas, ia menyesap kopinya sambil membaca laporan bulanan. Di seberangnya, istrinya, sedang menelusuri katalog undangan pernikahan di tablet sambil sesekali melirik suaminya.

“Tari masih menolak bicara soal Arsenio?” tanya Ratna akhirnya, nada suaranya lembut tapi tegas.

Adikara menurunkan korannya perlahan, menghela napas panjang.

“Dia anak keras kepala. Kita sudah beri semuanya, tapi tetap saja dia ingin ‘hidup sesuai jalannya’. Padahal jalan itu belum tentu baik.”

“Mentari masih muda,. Baru sembilan belas tahun. Mungkin belum paham arah hidup.”

“Justru karena masih muda, kita harus arahkan,” potong Adikara. “Aku tidak ingin kerja keras kita jatuh ke tangan orang yang tak paham bisnis keluarga. Mentari harus menikah dengan seseorang yang sepadan. Arsenio punya latar belakang bersih, keluarga terpandang, dan cerdas.”

Ratna meletakkan tablet di pangkuannya, menatap suaminya penuh pertimbangan.

“Kamu yakin dia bisa membahagiakan Mentari?”

“Kebahagiaan itu bisa dibangun. Asal pondasinya kuat— ekonomi, reputasi, dan nama baik.”

Ada hening sesaat. Ratna tak langsung membantah, meski dalam hatinya masih menyimpan sedikit ragu. Ia tahu suaminya tidak sepenuhnya salah—tapi juga tidak sepenuhnya benar.

“Aku hanya berharap Mentari tidak merasa terpaksa,” ujarnya pelan.

Adikara menatap ke arah danau. “Dia akan mengerti, Ratna. Semua ini demi masa depannya juga.”

Tiba-tiba ponsel Adikara berdering di meja. Nama yang muncul di layar membuatnya menegakkan punggung: Hendi Atmadja, ayah dari Arsenio.

“Halo, Hendi,” sapanya ramah.

“Pagi, Adi. Maaf mengganggu. Kami hanya ingin memberi kabar—malam ini, Arsen akan menjemput Mentari. Ada acara pernikahan rekan kami di hotel Hyatt. Sekalian, biar mereka bisa lebih mengenal.”

“Oh begitu,” suara Adikara terdengar puas. “Ide bagus sekali.”

“Saya harap tak masalah, ya?”

“Tentu tidak. Saya senang sekali mendengarnya. Mentari pasti bisa menyesuaikan diri. Nanti kami siapkan.”

“Bagus, bagus. Sampai jumpa di acara berikutnya, Adi.”

Telepon terputus. Adikara menatap istrinya, senyum kecil terlukis di wajahnya—senyum yang bagi Ratna terasa seperti sebuah keputusan yang sudah dikunci rapat.

“Arsen akan menjemput Mentari malam ini. Kondangan bersama,” ucapnya sambil merapikan berkas di pangkuannya.

Ratna mendesah pelan. “Kamu yakin Mentari mau?”

“Dia putri kita, Ratna. Pada akhirnya, dia akan mengikuti yang terbaik menurut keluarga.”

Ia bangkit berdiri, menatap hamparan resort yang luas dengan rasa puas sekaligus keyakinan penuh.

Bagi Adikara, semua dalam hidup bisa diatur —bisnis, proyek, bahkan masa depan putri tunggalnya.

Namun yang tidak ia sadari, hati Mentari bukan bagian dari perusahaannya.

Ia bukan saham yang bisa diwariskan,

dan bukan pula proyek yang bisa diatur sesuai rencana.

_____

Sore hari merambat pelan di halaman belakang kediaman utama keluarga Wiradiredja. Mentari duduk di gazebo kecil yang menghadap taman anggrek—tempat favoritnya sejak kecil. Jemarinya sibuk menggeser kuas di atas kanvas, melukis siluet matahari yang mulai turun di balik pepohonan. Warna jingga bercampur ungu, lembut tapi terasa sendu—seperti hatinya yang entah kenapa selalu resah setiap kali membayangkan masa depan yang sudah diatur orang lain.

Ia baru saja menaruh kuas ketika suara langkah halus terdengar dari arah belakang.

“Non Mentari…” suara itu lembut, milik Mbak Narti, asisten rumah tangga yang sudah mengabdi sejak Mentari lahir.

“Ayah sama Ibu nyuruh Non siap-siap. Katanya malam ini dijemput Mas Arsen buat kondangan.”

Mentari menoleh cepat, ekspresinya seolah baru disiram air dingin.

“Apa?” tanyanya dengan dahi mengernyit.

“Dijemput… malam ini?”

“Iya, Non. Katanya udah janjian sama Ayah. Sekitar jam tujuh.”

Mentari tercekat. Tangannya yang masih berlumur cat berhenti di udara.

Ia memandang langit senja, yang tadi indah kini tampak redup.

“Aku bahkan nggak dikasih tahu dulu…” gumamnya lirih.

Mbak Narti menatapnya iba.

“Saya cuma nyampaikan, Non. Maaf ya.”

Mentari mengangguk, lalu duduk kembali. Matanya kosong menatap kanvas di depannya. Warna jingga di lukisan itu mendadak terasa terlalu terang—seperti menertawakan dirinya yang selalu berusaha menolak tapi tak pernah benar-benar bisa melawan.

Beberapa menit berlalu dalam diam.

Burung-burung mulai pulang ke sarang, dan aroma tanah lembab menguar setelah disiram.

Mentari memeluk lututnya, menunduk, membiarkan pikirannya berkelana.

"Kenapa harus aku lagi yang menuruti semua keputusan mereka? Kenapa semuanya harus sempurna di mata dunia, tapi sesak di dadaku?"

Ia tahu Arsenio bukan orang jahat. Bahkan terlalu baik—sopan, berpendidikan, dan perhatian dengan cara yang terlalu formal. Tapi setiap kali mereka berbicara, Mentari selalu merasa seperti sedang diwawancarai, bukan diajak mengenal.

Tidak ada ruang untuk spontanitas, tidak ada tawa yang lepas, tidak ada dirinya.

Mentari menutup matanya, menahan perasaan yang campur aduk—antara kesal, pasrah, dan takut mengecewakan.

“Kalau aku menolak, Ayah pasti kecewa. Ibu juga. Mereka udah terlalu berharap…”

Bayangan wajah ayahnya muncul di benak: tatapan keras tapi penuh kebanggaan.

Ia tahu, satu kata penolakan saja bisa menjadi jurang panjang di antara mereka.

Sampai akhirnya, ia bangkit perlahan, berjalan memasuki rumah—menuju kamarnya.

......

“Oke…” suaranya nyaris seperti bisikan, “malam ini aku datang. Tapi hanya untuk menghormati Ayah dan Ibu. Bukan untuk siapa pun.”

Ia menatap pantulan dirinya—rambut yang masih berantakan, wajah yang terlihat lelah tapi kuat.

Mentari tersenyum kecil, senyum yang lebih mirip perisai daripada kebahagiaan.

Mbak Narti muncul lagi, membawa dua pilihan gaun.

“Yang biru laut sama yang krem, Non. Mau yang mana buat malam ini?”

Mentari memandang keduanya lama, lalu menunjuk yang krem.

“Yang ini aja. Nggak terlalu mencolok.”

“Cantik pasti Non nanti,” ujar Mbak Narti mencoba mencairkan suasana.

Mentari hanya tersenyum samar. “Aku nggak butuh cantik malam ini, Mbak. Cukup tenang.”

Senja makin turun. Langit bergradasi antara oranye dan ungu gelap.

Mentari duduk di depan meja rias, menarik napas panjang saat Mbak Narti mulai menata rambutnya.

Setiap helai rambut yang disisir terasa seperti bagian dari dirinya yang ikut ditundukkan— pelan, rapi, tapi tanpa pilihan.

Dan ketika jarum jam menunjuk pukul tujuh, suara mesin mobil hitam berhenti di halaman.

Arsenio datang, tepat waktu seperti biasa.

Mentari berdiri di depan cermin sekali lagi.

Gaun krem sederhana terpasang sempurna di tubuhnya, wajahnya lembut tapi matanya menyimpan badai.

“Aku datang malam ini… bukan karena mau. Tapi karena aku masih putri mereka.”

Ia berjalan pelan keluar kamar, dengan langkah yang terlihat anggun di mata siapa pun,

namun bagi Mentari sendiri, setiap langkah terasa seperti menginjak serpihan kaca—

bening, indah, tapi melukai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!