NovelToon NovelToon
40 Hari Sebelum Aku Mati

40 Hari Sebelum Aku Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Fantasi / Reinkarnasi / Teen School/College / Mengubah Takdir / Penyelamat
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Dara

Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.

hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.

selamat membaca....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6. Yang Pulang Tak Berarti Kembali

Bandung, Maret 2011

 

Bukan pertama kalinya, Nurma kehilangan kontak dengan suaminya, Budiman, yang bekerja di sebuah tambang timah di pulau Bangka Belitung. Selain kondisi dilapangan yang sinyalnya timbul tenggelam, kesibukan Budiman juga kadang membuatnya tidak selalu sempat menghubungi Nurma di Bandung. Tapi kali ini, perasaan Nurma sebagai seorang istri mengisyaratkan hal yang berbeda. Entah, tidak bisa dijelaskan. Budiman yang hanya bisa pulang 4 bulan sekali, seharusnya bulan ini adalah jadwal cutinya. Sekalipun ia hanya punya waktu libur 3 minggu, tetapi Budiman pasti akan menyempatkan untuk pulang.

Berkali-kali ia mencoba mencari cara untuk bisa menghubungi Budiman, namun hasilnya nihil. Teman-teman satu kantor Budiman pun tidak ada yang memberi penjelasan tentang keberadaan Budiman selama 2 minggu ini. Hal tersebut membuat Nurma merasa khawatir, terlebih lagi ia memiliki 2 orang anak yang semuanya masih kecil. Karina si anak sulung yang baru berusia 5,5 tahun dan Dimas yang belum genap 1 tahun. Sungguh kondisi yang sangat menguras tenaga dan pikirannya sebagai seorang ibu yang jauh dari suami.

Telephon rumahnya berdering, saat Nurma baru selesai menidurkan putranya siang itu, sementara anak sulungnya masih berada di sekolah. Ia berjingkat menuju ruang tengah dengan perlahan agar tak membangunkan putranya yang baru saja terlelap.

“Halo selamat siang.”

Sapanya dengan suara bergetar. Setiap dering telephone berbunyi, jantungnya terpompa lebih cepat, ia selalu berharap mendengar suara dari suaminya yang sudah 2 minggu tak ia dengar.

“Nurma, kamu sudah dihubungi Budiman?”

Suara perempuan di seberang sana, yang ia tahu betul itu suara ibu Dina, ibu mertuanya. Dengan nada yang seperti biasanya, dan Nurma dapat membayangkan bagaimana ekspresi ibu mertuanya saat bicara padanya. Ekspresi yang ternyata tidak juga berubah bahkan setelah 7 tahun pernikahannya dengan Budiman dan telah memberinya 2 cucu. Masih tetap angkuh dan penuh kebencian.

Bu Dina yang sejak awal menentang pernikahan Nurma dan Budiman, tidak pernah bisa berbicara dengan lembut pada Nurma. Bahkan kehadiran Karin dan Dimas tak juga mampu meluluhkan hati wanita itu. Baginya, baik Karin dan Dimas maupun Nurma tidak akan bisa menjadi bagian dari keluarganya.

“Belum bu.”

“Kok bisa kamu istrinya gak tahu dimana suamimu!”

Sekalipun lewat sambungan telephon, nada tinggi bu Dina mampu menciutkan hati Nurma. Ia tak bisa menjawab ataupun membela diri, hanya suara nafas Nurma yang terdengar di telinga bu Dina.

“Gimana sih selama ini kamu urus suamimu? Sampai dia gak mau pulang? Bukannya ini sudah terlewat jauh dari tanggal seharusnya dia pulang?”

“Bukan gak mau pulang bu, biasanya juga pulang.”

“Iya tapi kamu urusnya bener gak? Jangan-jangan dia udah muak sama kamu yang gak becus ngurusin suami. Kerja dong kamu, biar beban suamimu gak terlalu berat buat hidupin kamu sama anak-anakmu.”

“Anak-anak mas Budi bu, bukan cuma anak saya.”

“Kamu ya kalau dikasih tahu orang, paling pinter buat ngejawab. Pantes Budi gak mau pulang!”

Tut…tut…tut…

Sambungan terputus, Nurma memejamkan matanya dengan gagang telephon yang masih tertempel ditelinganya. lidahnya kelu. Seperti ada batu yang menyumbat tenggorokannya. Tidak ada yang bisa ia katakan, ataupun lakukan selain terdiam. Ada butiran air di mata Nurma yang mulai meleleh. Sementara badannya gemetar dan terasa panas.

Ia terduduk di kursi. Benarkah mas Budi muak denganku dan tak mau pulang, lirihnya. Namun seketika ia tepis pikiran-pikiran buruk itu. Tidak, tidak mungkin mas Budi begitu. Dia adalah sosok suami yang sangat mencintai dan perhatian dengan keluarganya. Tidak pernah sekalipun suaminya berkata kasar maupun berbohong. Nurma berusaha menyakinkan diri, terlalu tidak masuk akal jika Budiman tega meninggalkan dirinya dengan anak-anak yang sangat ia cintai. Nurma berdiri, berjalan menuju dapur dengan terhuyung-huyung. Berusaha melupakan segala pikiran buruk yang datang tanpa permisi, menguatkan diri meskipun langkahnya gontai.

**

 

Bandung, April 2011.

 

Sepanjang perjalanan Nurma menuju rumah ibu mertuanya terasa sangat menyiksa. Badanya tak henti gemetar, tangannya berkeringat dan wajahnya pucat. Masih terngiang kata-kata tetangga saat ia belanja sayur di warung dekat perumahan pagi itu, yang mengatakan bahwa si tetangga melihat Budiman berada di rumah bu Dina, ibu mertuanya. Nurma tak mengerti, apakah yang tetangganya maksut adalah Budiman suaminya? Apa mungkin tetangganya salah lihat? Kenapa mas Budiman disana, kenapa tidak pulang kerumah? Batinnya.

Perjalanan ke rumah ibu mertua yang sebetulnya hanya berjarak tidak lebih dari 5 kilo meter terasa sangat lama ditempuh dengan menaiki motor, dengan hati yang gulana. Hembusan angin yang menerpa wajahnya yang tak tertutup helm tidak mampu mendinginkan pikirannya. Berkali-kali pak Daryo, tukang ojek yang mengendalikan motor itu menenangkan Nurma yang terlihat sangat cemas, namun Nurma tak sekalipun mendengarkan. Mata dan telinganya tertutup kekhawatiran. Apa yang sebenarnya terjadi?

Rem sepeda motor berdecit menghentikan laju, belum sempat pak Daryo, yang juga tetangga Nurma itu menurunkan standart motornya, Nurma sudah meloncat turun dari jok penumpang.

“Bu saya tunggu disini ya?”

Nurma tak menghiraukan suara itu, ia setengah berlari menuju pintu rumah mertuanya. Bahkan pintu gerbang yang tidak terkunci didorong dengan begitu kencang. Langkahnya berpacu seiring detak jantungnya. Rumah limasan bertembok abu-abu dengan halaman yang luas, terasa begitu megah dihadapan Nurma yang selama ini menghabiskan hari-harinya dirumah sederhana, rumah kecil yang mampu diberikan Budi suaminya setelah mereka menikah, tanpa restu dari bu Dina, mertuanya.

Tok…tok…tok…

“Mas Budi, mas…!”

Tok…tok…tok…

“Mas Budi…. Buka pintunya!”

Nurma tak tahan, ia menggedor pintu rumah mertuanya berulang-ulang sambil memanggil suaminya. Matanya berkeliling melihat kedalam rumah lewat candela kaca yang sedikit terbuka, tak ada yang menyahut. Tertangkap matanya sepasang sepatu di rak samping pintu, ya, itu sepatu Budiman. Nurma hafal betul, sepatu yang dua tahun lalu mereka beli bersama, saat Nurma dan Budiman berbelanja persiapan kelahiran anak kedua mereka, Dimas.

Wajahnya makin memanas, suaranya bergetar hebat. Mas Budi betu-betul ada disini, batinnya.

“Mas Budi, buka pintunya tolong mas!!”

“Gak usah treak-treak Nurma, Budi gak mau ketemu sama kamu!”

Sahut bu Dina dari dalam, bahkan tanpa membuka pintu.

“Bu, tolong buka pintunya. Saya harus ketemu sama mas Budi, bu.”

“Gak ada, gak ada buka-buka pintu. Jangan pernah lagi masuk rumah ini!”

“Bu, saya masih istri sah mas Budi. Saya punya hak ketemu suami saya bu!”

“Budi sendiri yang gak mau ketemu kamu lagi. Sudah, pulang sana. Hiduplah dengan anak-anakmu!”

"Bu tolong jangan begini bu. Apa salah saya?? Bu... Buka pintunya saya mohon bu...!

Nurma memohon dengan amat sangat. Wajahnya basah berderai derai air mata, mulutnya tak henti mengucapkan permohonan, tapi tidak ada satupun kalimat Nurma yang menyentuh hati mertuanya.

Bu Dina berlalu meninggalkan Nurma yang menangis memohon di depan pintu. Ia ambruk, lututnya tak bertenaga. Membuat pak Daryo yang mengawasi dan berjaga disamping motornya sejak awal berlari sigap membantu Nurma yang sudah terduduk lesu bercucuran air mata. Mulutnya tak henti memanggil nama suaminya yang tak juga muncul kehadapannya.

“Bu Nurma, sudah bu. Kita pulang saja. Besok kita coba datang lagi, ayo bu berdiri”

"Tidak mang, mas Budi ada di dalam. Mas Budi disini mang..."

"Iya bu, tapi bu Dina gak bisa dipaksa. Nanti malah bu Nurma dipanggilkan satpam suruh diusir gimana bu? Bu Dina orangnya nekat. Sudah, ayo pulang dulu saja."

Bujuk pak Daryo, membantu Nurma bangkit dan menuntunnya sampai ke tempat dimana Daryo memarkirkan sepeda motornya. Nurma akhirnya menurut, berjalan terseok-seok dalam topangan kedua tangan pak Daryo dikedua lengan Nurma. Malang sekali nasib wanita ini, batin pak Daryo sambil memberikan helm kepada Nurma.

Nurma menerima helm itu dengan kedua tangannya, sementara matanya terus tertuju kearah rumah yang menolak kedatangannya hari itu, sama seperti kedatangannya 7 tahun lalu yang juga tidak diterima.

Tak disangka, tertangkap sepintas bayangan sosok tubuh yang berdiri memperhatikan Nurma dari sisi dalam rumah, terpantul dari kaca depan samping pintu masuk. Sosok tubuh yang ia rindukan, yang sudah 1,5 bulan ini ia tunggu kehadirannya. Budiman, itu Budiman.

Menyadari bahwa Nurma melihatnya dari balik kaca jendela, laki-laki itu berbalik badan dan berjalan menjauhi kaca jendela, dengan pincang. Ya, Budiman jalan pincang dengan bantuan sebuah tongkat yang terselip pada ketiak tangan kananya.

Nurma terperanjat, apakah betul itu mas Budi? Jadi ia betul-betul tidak mau bertemu denganku? Nurma membati, dan menyeka air mata dengan tangannya.

"Mang Daryo, itu, itu mas Budi ngintip dari jendela mang."

Nurma berniat kembali masuk kehalaman rumah itu, tapi tangan pak Daryo mencegahnya. Bukan karena pak Daryo berniat menghalangi, tapi ia merasa tidak sampai hati jika apa yang terjadi hari itu akan lebib menyakitkan dari yang sudah terjadi.

"Besok saja kita balik kesini. Nanti minta ditemanin sodara atau orang tua bu Nurma aja. Jangan sendirian begini. Nanti kalau ada apa-apa saya bingung nolongnya bu... Lagian kasian nak Dimas kalau ditinggal lama-lama."

Nurma tak punya pilihan lain. Sekalipun hatinya ingin menyeruak misteri yang menyakitkan ini, namun ia juga harus memikirkan Dimas yang ia titipkan ke tetangga. Ia memilih kembali, membawa air mata dan kehancuran hati yang masih penuh tanya.

1
Soraya
apa mungkin Pak bewok penjualan es itu budiman
Soraya
mampir thor
🔥_Akane_Uchiha-_🔥
Sangat kreatif
mamak
keren mb Dy,
Tiga Dara: hey... sapa nih??
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!