Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak masa lalu datang lagi..
Dua hari setelah pesan itu muncul, aku terus memantau sekeliling. Setiap langkah terasa was-was. Di minimarket, di halte, bahkan di halaman belakang rumah. Aku tahu Raka mungkin sedang mencariku. Atau lebih buruk: mungkin dia sudah di kota ini.
Siska memperhatikanku dengan pandangan penasaran. "Kamu kenapa, Nay? Kamu kelihatan gelisah."
Aku hanya tersenyum. "Nggak apa-apa. Cuma kecapekan."
Padahal dalam hati, aku mulai mempersiapkan kemungkinan terburuk. Aku tahu cepat atau lambat, Raka akan muncul. Dan aku harus siap, bukan sebagai istri yang patah hati, tapi sebagai ibu yang ingin melindungi anaknya.
Sore itu, saat aku baru saja pulang dari dokter, seseorang berdiri di depan kontrakan.
Tubuhku langsung membeku.
Raka.
Ia tampak berbeda. Lebih kurus. Wajahnya tirus, matanya sayu. Tapi ekspresi itu—tatapan penuh sesal dan rindu—masih sama seperti terakhir kali kami bertemu.
"Nayla…"
Aku diam. Nafasku sesak. Tanganku memeluk perutku erat-erat, seolah janin di dalamnya tahu apa yang sedang terjadi.
"Aku nggak tahu harus mulai dari mana," katanya pelan. "Tapi aku datang bukan untuk merusak lagi. Aku cuma… pengin tahu kamu baik-baik saja."
Aku ingin berteriak. Aku ingin menyalahkannya. Tapi yang keluar dari bibirku hanya satu kalimat:
"Kamu udah cukup menyakitiku, Raka. Sekarang, pergilah."
Tapi dia tidak pergi.
Besoknya, dia datang lagi. Kali ini membawa makanan. Duduk di teras, menunggu tanpa suara. Seperti orang yang menebus dosa dengan diam.
Aku tak menyuruhnya masuk. Tapi aku juga tak mengusirnya. Mungkin karena aku ingin tahu seberapa tulus dia kali ini. Atau mungkin karena aku mulai lelah berperang sendirian.
Beberapa hari berikutnya, Raka terus datang. Membantu membawakan belanjaan. Memotong rumput halaman belakang. Tak sekalipun ia membahas tentang hubungan kami.
Hingga suatu malam, saat hujan turun deras, aku membukakan pintu lebih awal. Ia basah kuyup. Aku menyiapkan teh hangat.
Kami duduk di ruang tamu, lampu redup, suara hujan menjadi latar.
"Aku nggak pernah berhenti nyesel, Nay. Tapi aku tahu penyesalan nggak cukup buat nebus semuanya. Aku cuma pengin ada di samping kamu… walaupun cuma buat jaga kamu dan anak ini dari jauh."
Aku menatap matanya. Air mata jatuh perlahan dari pipiku.
Malam itu, aku tidak menjawab. Tapi aku tidak menutup pintu sepenuhnya.
Dan untuk pertama kalinya sejak semua luka itu dimulai… aku mulai membuka celah kecil untuk kemungkinan baru.
Keesokan paginya, aku mendapati sebuah surat kecil terselip di bawah pintu. Tulisan tangan Raka tampak terburu-buru, namun jujur:
"Kalau kamu butuh aku, aku ada di ujung jalan, rumah kontrakan nomor 7. Aku nggak akan ganggu. Tapi kalau suatu saat kamu mau bicara… aku selalu siap."
Aku membaca surat itu berulang kali. Ada getaran aneh di dalam dadaku. Bukan cinta yang sama seperti dulu, tapi semacam ketulusan yang tak lagi menuntut.
Hari-hari berikutnya, aku mulai merasa ada pengawasan lembut yang tak terlihat. Pernah suatu sore, saat aku hampir terpeleset membawa belanjaan, seseorang menangkapku dari belakang. Dan seperti yang bisa kuduga… Raka. Ia hanya tersenyum, tak mengatakan apa-apa, lalu pergi.
Mungkin… orang bisa berubah. Atau mungkin luka-luka yang kubawa membuatku ingin percaya bahwa perubahan itu nyata. Tapi kali ini, aku yang memegang kendali.
Aku tidak akan kembali hanya karena iba. Tapi aku akan mendengarkan. Perlahan. Karena meski pintu itu belum tertutup, bukan berarti mudah untuk dibuka sepenuhnya.