Elzhar Magika Wiratama adalah seorang dokter bedah kecantikan yang sempurna di mata banyak orang—tampan, disiplin, mapan, dan hidup dengan tenang tanpa drama. Ia terbiasa dengan kehidupan yang rapi dan terkendali.
Hingga suatu hari, ketenangannya porak-poranda oleh hadirnya Azela Kiara Putri—gadis sederhana yang ceria, tangguh, namun selalu saja membawa masalah ke mana pun ia pergi. Jauh dari tipe wanita idaman Elzhar, tapi entah kenapa pesonanya perlahan mengusik hati sang dokter.
Ketika sebuah konflik tak terduga memaksa mereka untuk terjerat dalam pernikahan kontrak, kehidupan Elzhar yang tadinya tenang berubah jadi penuh warna, tawa, sekaligus kekacauan.
Mampukah Elzhar mempertahankan prinsip dan dunianya yang rapi? Atau justru Azela, dengan segala kecerobohan dan ketulusannya, yang akan mengubah pandangan Elzhar tentang cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biqy fitri S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengejutkan
Siang itu butik tampak lumayan ramai dengan pelanggan. Azel dan Sisil sibuk melayani hingga waktu makan siang tiba. Mereka memutuskan untuk pergi ke kantin mall khusus para pekerja.
Dalam perjalanan, langkah Azel tiba-tiba terhenti. Tepat di depan sebuah toko perhiasan, ia melihat sosok yang sangat dikenalnya. Bram, ayah Elzhar, berdiri di sana… bersama seorang wanita muda yang terlihat mesra.
Jantung Azel berdetak kencang.
“Eh, Sil… aku ke toilet dulu ya, kamu duluan aja,” ucap Azel tergesa, menahan gelisah.
Ia bersembunyi di balik pilar, memperhatikan dari jauh. Tak lama, perempuan itu menerima kotak kecil dari Bram.
“Makasi ya, Mas. Aku seneng banget…” ucap perempuan itu, lalu mengecup pipi Bram dengan manja.
Azel menutup mulutnya sendiri agar tidak bersuara. Matanya membesar tak percaya.
“Ya ampun… Ayah bersama siapa itu? Kenapa tega banget sama Ibu? Kalau Ibu tau… pasti hancur hatinya…” gumam Azel lirih, sambil cepat-cepat mengeluarkan ponselnya dan memotret kejadian itu sebagai bukti.
Dengan hati yang masih kacau, ia akhirnya menyusul Sisil ke kantin. Namun, meski duduk di hadapan makanan, pikirannya terus dipenuhi bayangan kejadian barusan. Nafsu makannya hilang, hatinya tidak tenang.
Sementara itu, di apartemen, Elzhar bersantai menonton TV. Sesekali ia mengecek ponsel, menunggu panggilan atau chat dari Azel. Ia tersenyum sendiri sambil ngemil buah dan cemilan yang sudah disiapkan istrinya.
Tiba-tiba bel apartemen berbunyi.
Azel? Hatinya melonjak. Ia buru-buru bangkit. “Kenapa dia gak langsung masuk aja? Kan punya kunci…” gumamnya.
Namun, begitu pintu dibuka, bukan Azel yang muncul—melainkan Aluna.
“Hai, L. Boleh aku masuk?” tanpa menunggu jawaban, Aluna langsung melangkah masuk dan duduk di sofa, matanya menyapu setiap sudut ruangan.
“Hmmm… ternyata masih sama ya, seperti tiga tahun yang lalu,” ucapnya datar, seolah mengenang sesuatu.
Elzhar menarik napas kesal. “Lo mau ngapain ke sini, Aluna?”
“Ngga, aku cuma mampir. Tadi aku sempat ke klinik buat kontrol hasil operasi. Perawat bilang kamu gak masuk karena sakit, jadi aku pikir sekalian aja nengokin kamu.”
Belum sempat Elzhar menanggapi, ponselnya berbunyi. Nama Azel muncul di layar.
“Sori, gue tinggal sebentar. Ada telpon,” ucap Elzhar buru-buru masuk ke kamar.
Aluna hanya mengangguk, tapi begitu Elzhar menghilang, matanya berubah tajam. Ia bangkit, berjalan pelan menyusuri ruangan. Tangannya membuka beberapa laci. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah map coklat.
Dengan rasa penasaran, ia membukanya. Senyumnya melebar ketika membaca isinya. Surat perjanjian pernikahan Elzhar dan Azel.
“Jadi bener… semua ini cuma perjanjian,” gumam Aluna puas. Ia segera memotret dokumen itu dengan ponselnya, lalu mengembalikannya seolah tidak terjadi apa-apa.
Sementara itu, Elzhar menerima telepon dari Azel.
“Halo, L. Kamu lagi apa? Baik-baik aja, kan? Udah dimakan cemilannya?” suara Azel terdengar lembut.
Elzhar tersenyum, menatap meja yang penuh dengan buah dan makanan kecil.
“Iya, Zel. Gue udah jauh lebih baik. Lo yang ngerawat gue, jadi gue cepet pulih.”
“Syukurlah. Jangan lupa minum obat ya,” balas Azel.
“Iya, Zel. Makasih. lo juga jaga kesehatan ya Jangan sampe sakit.” Suaranya tulus. Tapi begitu telepon berakhir, wajah Azel mendadak muram.
“Gimana ya kalau Elzhar tau ayahnya selingkuh? Pasti hancur hatinya…” gumamnya, berusaha menahan perasaan.
Tak lama kemudian, Elzhar keluar dari kamar. “Sorry lama. Gue udah baikan ko, cuma butuh istirahat aja.”
“Hm, syukurlah, L.” Aluna tersenyum misterius.
“Yaudah, lo pulang aja. Gue mau istirahat.”
“Oke, L. Cepet sembuh ya. Gue… gak nyangka, lo ternyata masih selucu itu,” ucap Aluna dengan tawa kecil yang penuh tanda tanya, sebelum akhirnya pergi.
Elzhar hanya mengernyit bingung. “Lucu? Maksudnya apaan sih…” Ia menggeleng, tak terlalu menghiraukannya.
Sore itu akhirnya waktu pulang. Azel berjalan keluar bersama Sisil, tapi wajahnya terlihat murung. Sisil yang biasanya bawel memilih diam, merasakan ada sesuatu yang Azel sembunyikan.
“Kak, lo kenapa? Dari tadi diem aja,” tanya Sisil pelan.
Azel tersenyum tipis, mencoba menutupi kegelisahannya. “Enggak apa-apa, Sil. Cuma agak capek aja.”
Padahal hatinya terasa sangat sesak. Bayangan Bram dengan wanita lain tadi siang terus menghantuinya.
Sesampainya di apartemen, Azel membuka pintu dengan hati yang berat. Ia melihat Elzhar sedang duduk santai di sofa, wajahnya terlihat jauh lebih segar dibanding pagi tadi.
“Zel… lo udah pulang?” sambut Elzhar dengan senyum lega.
Azel tersenyum kecil. “Iya, baru aja.”
Begitu masuk, Elzhar langsung mendekat. “Lo kelihatan capek banget. Ada apa? Butik rame, ya?”
Azel hanya mengangguk pelan, tidak berani menatap mata suaminya. Ia takut kebocoran emosi membuat semuanya terbongkar.
“Hmm, iya, rame… biasa kerjaan,” jawabnya seadanya.
Elzhar meraih tangannya, menggenggam lembut. “Lo jangan maksain diri, Zel. Gue gak mau lo sakit gara-gara kerja.”
Azel menunduk, matanya sedikit berkaca. Dalam hati ia bergumam, L… kalau lo tau apa yang gue lihat hari ini, gue takut lo gak kuat. Harus gak ya gue kasih tau? Tapi… kalau gue diem aja, itu sama aja bohong…
Namun senyuman Elzhar yang tulus membuat Azel menahan diri. Ia memilih bungkam untuk sementara.
“Udah ah, lo istirahat dulu. Gue udah baikan, sekarang giliran lo gue urus” ucap Elzhar sembari menarik Azel ke sofa.
Azel hanya menurut, meski dalam hatinya perang batin makin besar.
\=\=\=\=
Malam itu apartemen terasa sunyi. Hanya suara jam dinding yang terdengar jelas. Elzhar sudah terlelap di sampingnya, wajahnya terlihat tenang, sesekali menarik napas panjang dengan ritme teratur.
Namun berbeda dengan Azel. Ia berbaring miring, menatap langit-langit kamar dengan mata yang tak kunjung mau terpejam. Bayangan siang tadi kembali berputar di kepalanya—wajah Bram yang tersenyum hangat pada wanita lain, tangan yang menggenggam mesra, bahkan ciuman singkat di pipi.
Air mata Azel menetes tanpa ia sadari. Ya Tuhan… kenapa aku harus lihat hal itu? Apa aku harus bilang ke L? Kalau iya, hatinya pasti hancur. Tapi kalau aku diam, berarti aku menutupi perselingkuhan Ayah mertuaku sendiri.
Azel menggigit bibirnya, mencoba menahan isakan. Ia menoleh ke arah Elzhar yang masih terlelap, lalu menyentuh tangannya pelan.
“L…” bisiknya lirih. “Kalau suatu hari gue harus nyakitin lo dengan kebenaran, lo masih mau percaya cinta gak?”
Elzhar bergumam pelan dalam tidurnya, lalu secara refleks meraih tubuh Azel, menariknya masuk ke dalam pelukan. Azel terkejut, tapi tak kuasa menolak. Kehangatan itu seolah memberi kekuatan, meski hatinya tetap berat.
Lo pantas tau, L… tapi gue takut kehilangan senyum lo. Gue takut liat lo hancur.
Azel akhirnya memejamkan mata, membiarkan air matanya jatuh diam-diam di dada Elzhar. Ia berdoa dalam hati agar esok bisa lebih kuat menghadapi kenyataan.