Wen Yuer dikirim sebagai alat barter politik, anak jenderal kekaisaran yang diserahkan untuk meredam amarah iblis perang. Tetapi Yuer bukan gadis biasa. Di balik sikap tenangnya, ia menyimpan luka, keberanian, harga diri, dan keteguhan yang perlahan menarik perhatian Qi Zeyan.
Tapi di balik dinginnya mata Zeyan, tersembunyi badai yang lambat laun tertarik pada kelembutan Yuer hingga berubah menjadi obsesi.
Ia memanggilnya ke kamarnya, memperlakukannya seolah miliknya, dan melindunginya dengan cara yang membuat Yuer bertanya-tanya. Ini cinta, atau hanya bentuk lain dari penguasaan?
Namun di balik dinding benteng yang dingin, musuh mengintai. Dan perlahan, Yuer menyadari bahwa ia bukan hanya kunci dalam hati seorang jenderal, tapi juga pion di medan perang kekuasaan.
Dia ingin lari. Tapi bagaimana jika yang ingin ia hindari adalah perasaannya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sungoesdown, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
One Fine Day
Langkah Qi Zeyan terdengar mantap di sepanjang koridor batu, bergema dengan wibawa seorang panglima yang baru saja mengukuhkan posisinya di hadapan para kepala dewan. Di belakangnya, Wen Yuer berjalan tanpa suara, seperti bayangan yang tak berniat bersuara, apalagi menuntut.
Atau begitulah yang ia pikirkan.
"Aku yakin mulutmu tidak bisa diam setelah semua itu," ucap Zeyan sambil tetap berjalan, nada suaranya santai namun penuh sindiran. "Tapi sejak keluar dari ruangan tadi kau diam saja."
"Kau juga tidak perlu mengikutiku kemana aku pergi."
Ia menoleh dan alisnya langsung terangkat. Tidak menemukan Wen Yuer di belakangnya, hanya satu pengawal dan ruang kosong seharusnya Wen Yuer berada.
Qi Zeyan menghentikan langkahnya. Bibirnya menyeringai kecil, bukan karena geli, tapi karena sudah bisa menduga.
"Tentu saja. Tak pernah bisa diperintah seperti gadis lain."
Kemudian ia menoleh pada si pengawal yang menunduk. "Nona Wen berbelok ke arah taman, tuan."
Ia segera memutar arah meninggalkan pengawalnya, menyusuri lorong yang mengarah ke taman dalam, dan menemukan sosok itu berdiri di pinggir kolam. Rambutnya tertiup angin, jubah putihnya melambai pelan saat ia menatap air yang tenang.
"Kau menghilang seperti bayangan," ujar Zeyan, mendekat. "Tidak mau mengatakan apapun untuk yang tadi?"
Yuer tidak menoleh. "Apa yang harus kukatakan?"
"Entahlah," Qi Zeyan berdiri di sampingnya, kedua tangannya disilangkan. "Mungkin, ‘Kau pengecut, memamerkanku seperti piala perang’? Atau ‘Kau kejam, menggunakanku di depan anggota lingkaran besi mu’? Aku tahu kau bisa lebih kreatif dari itu."
Yuer akhirnya menoleh. Tatapannya tenang, tapi nadanya seperti pisau. "Kau hanya mengatakan apa yang sudah ada. Ayahku memang menyerahkanku padamu. Dan soal rumor ‘putri kesayangan’, semua orang tahu bualan itu. Kau hanya menggunakan sudut terbaik dari kebohongan itu."
Qi Zeyan mengangkat alis. "Dan kau tidak marah?"
Yuer menatapnya lama. "Untuk apa? Apakah marah akan mengubah sesuatu?"
Zeyan tidak menjawab.
Yuer melanjutkan. "Apa kau benar-benar berharap aku marah padamu? Teriak-teriak atau menangis? Apa menurutmu aku punya tenaga untuk itu?" Suaranya menegang. "Aku bukan tamumu. Aku bukan sekutumu. Aku bahkan bukan tahananmu secara resmi. Aku hanya seseorang yang dikirim dan sekarang tinggal di sini, melakukan apa yang kau minta. Seperti budak."
Kalimat terakhir itu menggantung di udara seperti pisau yang dilempar ke meja.
Qi Zeyan menyipitkan mata. Ada sesuatu dalam nadanya, lelah, pahit, dan dingin yang membuat bagian terdalam dirinya merasa tidak nyaman. Tapi ia tidak menunjukkannya.
Sebaliknya, ia justru menoleh padanya dengan senyum dingin. "Bagus kalau kau paham posisimu."
Yuer mengatupkan bibirnya, lalu membuang napas pelan. Ia menunduk kembali ke kolam, tak ingin melanjutkan perdebatan dengan dinding batu.
Qi Zeyan masih berdiri di sana. Tapi tak sampai dua detik kemudian, ia membalikkan badan dan berjalan pergi tanpa satu kata pun. Seolah percakapan itu tak ada artinya.
Tapi ekspresinya saat menjauh bukan ekspresi puas. Justru seperti seseorang yang baru saja mengatakan sesuatu yang salah dan tahu ia tak bisa menariknya kembali.
Begitu bayangan jubah hitam itu hilang dari ujung koridor, Yuer masih berdiri di tempat. Lalu perlahan, ia mendesis pelan.
"Budak, huh?" gumamnya, geram. Ia menatap ikan-ikan yang berenang tenang di kolam. "Dia setuju aku sebagai budaknya? Bukankah setidaknya dia menyangkal? 'Tidak, kau bukan budak.' hah! Apa sih yang ku harapkan dari dinding batu?"
Seekor ikan oranye muncul ke permukaan, dan Yuer menatapnya tajam.
"Dan kau! Kalau kau bisa bicara, kau pasti juga bilang kalau aku memang budak, ya?"
Ia memutar bola matanya dan duduk di pinggir batu kolam, mendekap lutut.
"Dia benar-benar sombong, manipulatif, dan suka memamerkan kekuasaan, ‘bagus kalau kau paham posisimu’?"
Ia mendengus. Lalu dengan nada lebih pelan. "Aku tidak mau jadi budaknya."
...
"Apa? Ke kota?" Yuer menatap Mingyue seolah gadis itu baru saja berkata ingin terbang ke bulan.
"Iya, ke kota!" sahut Mingyue riang. Gaunnya berwarna biru muda hari ini, senada dengan semangat cerah yang selalu ia bawa. "Ada festival kecil di pasar. Kau belum pernah melihat festival rakyat, bukan?"
Yuer memalingkan wajah, menggigit bibir bawah. "Mingyue, aku tidak disini sebagai tamu kehormatan yang bisa keluar sesukaku, kalau Qi Zeyan tahu..."
Mingyue menepuk punggung tangan Yuer dengan centil. "Kakakku sedang keluar hari ini. Urusan diplomatik. Bahkan Zichen ikut bersamanya. Tidak akan kembali sampai malam."
"Tetap saja. Kalau ada anggota bangsawan lain yang melihat—"
"—Mereka tidak akan berani menentangku." Mingyue menaikkan alis, wajahnya begitu percaya diri. "Aku putri satu-satunya dari rumah Qi. Satu kata dariku dan mereka semua akan diam. Sekarang ayo, berhenti terlalu banyak berpikir. Hari ini, aku menculikmu."
Wen Yuer sudah bersikeras menolak tapi tentu saja Mingyue sepertinya memiliki satu kemiripan ini dengan kakaknya.
Yuer berujung berdiri kikuk di depan cermin. Mingyue dengan semangat mengikatkan kain cadar tipis berwarna putih transparan di wajah Yuer. Kain itu menggantung ringan dari tulang hidung ke bawah dagu, menutupi sebagian besar wajah, menyisakan mata yang berkilau seperti permata.
"Ini sudah jadi kebiasaan di luar benteng," bisik Mingyue sambil membetulkan cadar tipisnya sendiri. "Untuk wanita bangsawan. Supaya bisa berjalan bebas dan tak dikenali."
Menjalani hidup sebagai tabib muda dan seorang gadis biasa, Wen Yuer tidak pernah tahu dia bisa terlihat cantik bahkan hanya dengan sepasang matanya saja yang terlihat. Dia pernah memakai kain untuk menutupi hidung dan mulutnya, saat mengobati pasien dengan penyakit menular, tapi ini berbeda.
Yuer menatap pantulannya di cermin. Ia nyaris tidak mengenali dirinya sendiri. "Aku... seperti orang lain."
"Memang itu tujuannya," Mingyue menyeringai. "Ayo, kita punya dunia yang harus dijelajahi."
...
Pasar bawah kota ternyata penuh kehidupan.
Warna-warni kain bergantungan di antara kios. Aroma manis kue goreng bercampur dengan harum bunga jeruk dan serbuk rempah. Anak-anak berlarian, memegang balon kertas berbentuk naga. Para pengrajin berseru menawarkan barang dagangan mereka seperti kain bordir, kerajinan perak, topeng kayu, dan gelang manik-manik.
Yuer berjalan di samping Mingyue, matanya membesar kagum melihat semuanya. Ini bukan dunia yang ia kenal. Ini dunia yang terasa hidup.
"Kau harus coba ini!" Mingyue menarik Yuer ke arah kios makanan. Penjualnya menyajikan mochi kukus dalam daun pisang, dengan siraman madu manis di atasnya.
Yuer memegang satu dan menggigit pelan.
Mata Mingyue membulat. "Kau tersenyum!"
"Apa?" Yuer cepat-cepat menunduk, veil-nya menutupi pipinya yang memerah.
"Kau tersenyum." Mingyue tertawa. "Dan itu senyum paling manis yang kulihat hari ini."
Mingyue merangkul lengan Yuer. "Tapi Yuer, apa kau sangat takut pada kakakku?"
Wen Yuer menoleh dan mengatupkan bibirnya kemudian kembali menatap jalananan. "Mungkin, sedikit? Tapi aku tidak mau menunjukkannya, tapi aku lebih takut kau mendapat masalah karenaku dan bagaimana jika dia akhirnya melarangmu menemuiku, aku tidak mau kehilangan satu-satunya temanku disini."
Mingyue berhenti, menggenggam tangan Yuer erat dan menatapnya penuh kehangatan.
"Astaga, Wen Yuer, kurasa aku benar-benar menyukaimu! Kalau itu yang kau takutkan, kau tidak perlu khawatir, aku bukan seseorang yang bisa dikendalikan oleh kakakku sejauh itu. Aku yakin kau juga begitu, kau terlihat begitu."
"Aku?"
Mingyue mengangguk. "Kau kuat Wen Yuer, kau bukan seseorang yang bisa dikendalikan oleh orang lain."
Wen Yuer tersenyum kecut, "Aku juga berharap begitu."
Mereka menyusuri lorong kecil yang dipenuhi kertas harapan tergantung dari benang. Setiap orang bisa menuliskan doa atau keinginan mereka dan menggantungkannya.
Mingyue menuliskan satu dengan cepat lalu menatap Yuer. "Kau tidak menulis?"
Yuer ragu, lalu menerima kuas dan tinta.
Semoga aku bisa menemukan tempatku sendiri. Entah itu di dunia ini, atau jika itu berarti di sisinya.
Ia tidak tahu dari mana kalimat itu datang. Tapi ia menulisnya. Dan menggantungnya di antara ribuan doa orang lain.
...
Mingyue membeli dua gelang tali dari anak kecil yang berjualan. "Kau tahu apa ini?"
Yuer menggeleng.
"Gelang takdir," jawab Mingyue. "Takdirmu akan bagus kalau memakainya."
Yuer terkekeh. "Kau terlalu percaya mitos. Sebuah benang tidak bisa mengubah takdir seseorang."
"Tidak ada salahnya untuk percaya bukan?"
Mereka duduk di pinggir air mancur kota, menyesap minuman dari bambu sambil menatap langit yang perlahan berubah jingga.
"Kau tahu, Yuer..." Mingyue menoleh. "Kau berbeda dari yang kukira di awal."
"Berbeda bagaimana?"
"Aku kira kau akan jadi seperti semua gadis istana. Tertutup, penuh aturan, merasa dirinya lebih tinggi." Mingyue tersenyum. "Tapi ternyata kau hangat, dan jujur."
Yuer menunduk. "Aku bukan gadis istana, Mingyue. Aku menghabiskan banyak waktu sebagai gadis biasa yang bebas."
Mingyue baru teringat dan mengangguk. "Ya, aku pernah mendengarnya, pasti berat berada disini bukan? Kau seperti terkurung."
Wen Yuer tidak mengatakan apapun, hanya tersenyum.
...
Langkah kaki mereka pulang menyusuri jalan berbatu, saat cahaya senja mewarnai langit di atas tembok benteng. Mereka tertawa pelan, mengomentari para penjual, saling meniru suara penjaja makanan, atau sekadar diam nyaman di antara tawa.
Hari itu mungkin hanya satu hari yang singkat. Tapi bagi Wen Yuer, itu terasa seperti jeda kecil dari perang batin, dari dinginnya dinding benteng Qi Zeyan, dari beban dan pertanyaan yang tidak pernah selesai.
Wen Yuer menyadari sesuatu.
"Mingyue," Wen Yuer menoleh pada sahabat barunya saat mereka melewati gerbang kota. "Bukankah kau bilang Qi Zeyan baru kembali saat malam?"
Mingyue mengerutkan dahi. "Ya, memang—"
"Langit sudah gelap."
Keduanya sontak saling tatap sebelum sama-sama melihat ke atas. Cahaya senja telah lama padam. Malam menggulung cepat di langit utara, menyisakan bintang-bintang redup dan kegugupan yang tiba-tiba merambat di punggung mereka.
"Astaga!" desis Mingyue. "Ayo cepat."
Mereka berlari atau setidaknya berjalan tergesa melewati pelataran batu, naik ke paviliun utama. Tapi bahkan sebelum sempat membuka pintu kediaman masing-masing, Zichen sudah muncul dengan wajah datar.
"Tuan Qi menunggu kalian."
...
Pintu besar ruang kerja Qi Zeyan terbuka pelan.
Ia berdiri di dekat jendela, bayangannya menjulang panjang diterpa cahaya lentera. Tatapannya dingin. Suara angin malam masuk dari kisi jendela, menusuk senyap di antara langkah mereka.
"Kau," Qi Zeyan menunjuk Mingyue. "Keluar tanpa satu pun pengawal?"
"Kakak, dengar dulu. Aku—"
"Tanpa pengawal, tanpa pemberitahuan. Kau pikir ini permainan?" Nadanya merendah, tapi justru itulah yang membuat ruangan terasa lebih tegang. "Kau membawa dia keluar, Mingyue. Apa dia yang memaksamu?"
"Aku bukan anak-anak!" Mingyue membalas, suara naik. "Dan jangan salahkan Yuer, aku yang ajak dia keluar. Kalau marah, marah saja padaku!"
"Mingyue," Yuer mencoba menahan lengan gadis itu, menenangkannya.
Tapi Qi Zeyan menoleh, mata gelapnya berpindah ke Yuer seolah baru benar-benar menatapnya. "Dia tetap di sini. Kau, keluar."
Mingyue membuka mulut untuk membantah, tapi Yuer menepuk lembut punggung tangannya dan mengangguk, "Tidak apa-apa. Kau pergi dulu."
Zichen juga menerima tatapan dari Zeyan, sebuah perintah diam-diam. Dalam hitungan detik, tersisa mereka berdua di dalam ruangan Zeyan.
Dan keheningan itu lebih mengerikan dari teriakan.
susunan kata nya bagus