Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 — Satu Meja, Tiga Rahasia
DARI sudut matanya, Davin melihat Tari melangkah ke dapur. Dia begitu saja menutup laptopnya, menaruhnya dalam ransel, lalu beranjak dari ruang santai keluarga tanpa suara. Mendingan dia ngobrol dengan Tari ketimbang ikut mendengarkan celoteh Rayan tentang hal-hal creepy yang terjadi di lokasi angker untuk mengocok emosi Elisa.
Tapi suasana dapur terasa rada canggung karena Sasha ikut hadir di sana. Gerakan spontan Sasha mengundang lirikan Rayan dan Elisa—dan keduanya punya prasangka yang sama. Namun ekspresi Rayan terlalu cepat untuk ditangkap oleh Naya dan Elisa.
“Kalian pengen kopi?” tanya Davin menawarkan dengan nada santai. “Biar aku bikinin.”
“Aku mau,” sahut Tari.
“Aku nggak,” ujar Sasha. “Aku nggak bisa tidur kalau minum kopi jam segini.”
Davin menyeduh dua gelas kopi instan di konter dapur tanpa suara. Aroma kopi perlahan merebak di dapur. Dia merasa jengkel karena kehadiran Sasha membuat dia rada salting.
Tari duduk di kursi tinggi dekat meja dapur sambil menggoyang-goyangkan kaki. Wajahnya begitu manis, berkulit sawo matang yang terawat dengan baik, dan rambut panjangnya hampir selalu dibuntut kuda.
Sementara Sasha bersandar santai dekat pintu penghubung ruangan. Kedua lengannya terlipat di dada dan tatapannya ke belakang kepala Davin nyaris tanpa emosi.
Tari merasa seperti sedang menonton episode janggal yang mendadak muncul di luar skenario. Dia dapat menangkap kecanggungan Davin—dan hal itu cukup menarik perhatiannya. Dia tahu persis apa alasan Sasha bergabung dalam kelompok mereka. Sasha nyaris tak pernah segan-segan mengekspresikan perasaannya pada Rayan. Dan hal itu wajar. Toh, bukan hanya cowok yang boleh terpikat pada lawan jenis.
Tapi, anehnya, sekarang dia justru mencium aroma chemistry antara Davin dan Sasha. Rasanya tak mungkin Davin mau bersaing dengan Rayan untuk memperebutkan Sasha, meskipun—dia menilai—Sasha cukup pantas diperebutkan.
Atau, tanpa sepengetahuannya, panah Cupid berbelok arah ke Davin?
Di balik kaca dapur, cahaya sore tampak memudar tersapu oleh bayangan malam yang mulai pekat. Rumah Rayan tak punya halaman belakang karena bangunan memenuhi luas tanah, sehingga yang terlihat di luar hanya pagar beton yang agak kusam. Lampu dapur memantul di kaca—membuat pantulan wajah orang di dalam lebih jelas daripada pemandangan di luar. Tidak ada suara serangga malam. Sesekali hanya terdengar deru kendaraan lewat di jalan depan.
“Apa kolam renang itu beneran angker?” tanya Sasha datar, memecah keheningan yang menggantung di dapur.
“Pertanyaan itu harusnya diajuin ke Rayan,” sahut Davin sambil membawa gelas kopi ke meja dapur.
Tari meloncat turun dari kursi tinggi, lalu ikut duduk di meja dapur. Dia seperti sengaja ingin membaca reaksi Davin dengan lirikannya.
“Rayan juga nggak tau banyak,” ujarnya. “Sebetulnya ada tiga rekom lokasi angker. Ada gudang tua di pinggiran kota. Lalu lanjutan episode vlog Dead Men Can’t Talk. Tapi entah kenapa Rayan justru memilih lokasi kolam renang. Mungkin karena lebih creepy. Ngomong-ngomong, kamu dan Elisa serius pengen ikutan ke sana besok?”
Sasha mengangguk singkat. Dia berjalan ke meja dapur, lalu duduk di kursi kosong di samping kiri Davin. Tentu saja lokasi angker sama sekali bukan tongkrongannya. Dia lebih suka pergi ke mall, kafe, atau salon ketimbang hadir di tempat-tempat creepy yang membuat bulu kuduk meremang. Tapi dia ingin melihat langsung bagaimana Rayan, Davin, Tari dan Naya bekerja di lokasi angker. Selama ini dia hanya menonton cuplikan di YouTube—dan memutar ulang bagian-bagian yang lucu atau nekatnya.
Namun ketertarikannya sekarang sudah nyaris bergeser ke aktivitasnya. Bukan lagi ke orangnya. Di mata Sasha, Rayan ternyata hanya keren pada penampilan fisik. Tapi sikapnya yang rada urakan dan tak pedulian sama sekali tak menarik bagi Sasha.
Dan dia sekarang berpindah ke Davin—seperti kecurigaan Elisa? Bahkan rasanya Tari dan Naya pun punya pikiran yang sama. Kadang Sasha merasa geli dengan sikap mereka—seolah-olah perasaan begitu gampang dibelokkan seperti mobil. Namun dia sengaja tak berkomentar apa-apa—dan membiarkan ketiganya bergelut dengan asumsi pribadi mereka masing-masing.
Yah, secara fisik, tentu saja Davin pun sangat menarik. Tubuhnya bahkan sedikit lebih tinggi dari Rayan—mungkin 178 sentimeter. Kulitnya putih, dan ada kesan maskulin pada wajahnya. Namun, entah mengapa, Sasha merasa yakin bahwa dirinya pasti butuh tenaga ekstra—dan kesabaran ekstra—untuk mengalihkan perhatian Davin dari hobinya. Sekilas dia kemarin melihat laptop Davin penuh dengan kode-kode dan program yang sama sekali tak dipahaminya.
“Aku pengen liat langsung kegiatan syuting kalian,” sahutnya.
“Aku dan Naya cuma kayak cheerleaders,” ujar Tari sambil mesem. “Tapi aku suka ikut ke lokasi angker.”
“Dan selalu ada kejadian supranatural?”
“Kamu nanya aku—atau Davin?”
Sasha sedikit melotot pada Tari. “Rese, ah. Aku nanya sama kalian berdua.”
Tari nyengir pada Davin. “Kamu aja yang jawab, Dev.”
Sejenak Davin menatapnya dengan wajah nyaris tanpa ekspresi, lalu dia menoleh ke arah Sasha. “Kadang ada—kadang nggak ada sama sekali.”
“Kamu pernah liat bentuk makhluk gaib secara langsung di lokasi?”
“Kebetulan belum pernah.”
“Hmm, jadi sesumbar Rayan bahwa dead men can’t talk itu benar?”
“Fifty-fifty. Maksudku, aku nggak tau dari mana datangnya energi ganjil di lokasi. Aku juga nggak tau dari mana datangnya bunyi-bunyi aneh di sana. Tapi yang pasti, semua itu ada.”
Sasha menoleh ke arah Tari. “Kamu beneran bisa liat hal-hal supranatural, Ri?” tanyanya tanpa tedeng aling-aling.
Tari tersenyum tipis. Dia tidak punya kemampuan “melihat” atau menerawang seperti paranormal. Tapi dia peka terhadap kehadiran energi ganjil. Dia tahu ketika sesuatu tak wajar ada di sekitarnya—dan kepekaannya itu hampir selalu sejalan dengan data yang ditangkap EMF detector milik Davin. Begitu pula sebaliknya—grafik pada alat itu seringkali menguatkan insting Tari. Itulah sebabnya Davin selalu senang jika Tari ikut ke lokasi angker.
“Aku nggak bisa nerawang kayak di film-film,” sahutnya apa adanya. “Tapi kalau ada sesuatu yang nggak beres, biasanya langsung ada reaksi duluan di tubuhku. Kayak merinding, pusing, atau tiba-tiba mual. Dan itu biasanya… sinkron sama alatnya Davin.”
“Berarti kamu bukan anak indigo?”
“Aku nggak tau. Kayak apa anak indigo itu?”
“Yah, mungkin kayak kamu.”
Mereka bertiga tertawa karena lelucon mereka sendiri.
Davin melirik Sasha yang memainkan ujung rambutnya. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—sebuah dorongan untuk mengatakan bahwa sebaiknya gadis itu tidak ikut besok.
Dia bukannya takut kalau Sasha tak sanggup menghadapi lokasi angker. Tapi dia ingin melakukan eksperimen kecil untuk “berkomunikasi” dengan Umbral yang bisa jadi akan memunculkan “sesuatu” yang tak terbayangkan.
Namun, entah mengapa, kata-katanya seolah tertahan di tenggorokan.
Yah, moga-moga keputusan membiarkan Sasha ikut bukan tidakan yang akan dia sesali.