NovelToon NovelToon
Immortality Through Suffering

Immortality Through Suffering

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Spiritual / Balas Dendam / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:6.7k
Nilai: 5
Nama Author: YUKARO

Di desa terpencil yang bahkan tidak tercatat di peta, Xu Hao lahir tanpa bakat, tanpa Qi, dan tanpa masa depan. Hidupnya hanyalah bekerja, diam, dan menahan ejekan. Hingga suatu sore, langit membeku… dan sosok berjubah hitam membunuh kedua orang tuanya tanpa alasan.

Dengan tangan sendiri, Xu Hao mengubur ayah dan ibunya, lalu bersumpah. dendam ini hanya bisa dibayar dengan darah. Namun dunia tidak memberi waktu untuk berduka. Diculik perampok hutan dan dijual sebagai barang dagangan, Xu Hao terjebak di jalan takdir yang gelap.

Dari penderitaan lahirlah tekad. Dari kehancuran lahir kekuatan. Perjalanan seorang anak lemah menuju dunia kultivasi akan dimulai, dan Xu Hao bersumpah, suatu hari, langit pun akan ia tantang.


Note~Novel ini berhubungan dengan novel War Of The God's.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menjadi Kultivator

Pagi Pertama di Puncak Gunung.

Fajar merayap perlahan di balik barisan pegunungan, seolah bumi membuka mata setelah malam panjang. Udara di puncak begitu dingin hingga uap tipis keluar setiap kali Xu Hao mengembuskan napas. Dari jendela kecil di kamarnya, ia dapat melihat cahaya jingga lembut mulai membelai ujung rerumputan yang dipenuhi embun. Titik-titik air itu memantulkan cahaya seperti butiran mutiara kecil yang terserak.

Suara ayam hutan dari lereng bawah bercampur dengan desir angin yang melewati celah-celah dinding kayu. Xu Hao membuka matanya perlahan. Rasa nyaman yang jarang ia rasakan membuatnya nyaris ingin menarik selimut lagi, tetapi kata-kata Lianxue semalam terngiang jelas di telinganya. Ia segera duduk, lalu bangkit dan merapikan kasur tipisnya. Tangannya menyapu permukaan kain, memastikan tidak ada lipatan.

Pintu kamarnya diketuk sekali. “Bangun. Kita mulai latihan,” suara Lianxue terdengar dari luar, datar namun tegas. Xu Hao buru-buru menjawab, “Ya, aku sudah bangun.” Ia mengenakan baju abu-abu yang diberikan Cuyo dan keluar dari kamar. Udara pagi langsung menyergap, menusuk tulang namun menyegarkan.

Di halaman depan rumah kayu, Lianxue sudah berdiri. Gaun putihnya bergerak lembut diterpa angin gunung, rambut hitamnya diikat setengah dengan pita biru, sisanya terurai hingga pinggang. Matanya yang berwarna abu-biru memandang Xu Hao tanpa banyak ekspresi. Di sampingnya, ada kendi tanah liat besar yang tampaknya berisi air.

“Kita mulai dari dasar,” katanya. Ia menunduk sebentar, lalu mengambil sebuah ember kayu yang tampak berat. Ember itu kosong, tetapi ia meletakkannya di tangan Xu Hao. “Pergi ke mata air di bawah lereng dan isi ember ini penuh. Bawa kembali kemari tanpa menumpahkan setetes pun. Ulangi sepuluh kali.”

Xu Hao menatap ember itu. Kayu yang tebal membuatnya berat meski kosong. “Sepuluh kali…?” suaranya ragu.

“Kalau kau tidak sanggup, katakan sekarang. Aku tidak suka membuang waktu,” jawab Lianxue singkat.

Xu Hao menggenggam gagang ember itu erat. “Aku sanggup,” katanya mantap, meski dalam hati ia tidak yakin.

Mereka berjalan menuju tepi lereng. Sebuah jalur setapak sempit mengarah ke bawah, diapit semak liar dan pepohonan cemara. Udara semakin lembap, dan suara gemericik air mulai terdengar. Di ujung jalur itu, mata air jernih memancar dari sela batu, membentuk kolam kecil. Uap tipis melayang dari permukaannya, menandakan airnya cukup hangat untuk pagi yang dingin ini.

Xu Hao menunduk dan menciduk air ke dalam ember. Begitu penuh, ia mengangkatnya dengan kedua tangan. Beratnya langsung terasa menusuk otot-otot kecil di lengannya. Setiap langkah kembali ke atas lereng menjadi ujian. Tanah sedikit licin karena embun, dan bebatuan yang tersebar memaksa kakinya berhati-hati.

Lianxue berdiri di puncak jalur, mengamati. Matanya tajam, seperti sedang menilai setiap gerakan Xu Hao. “Jangan menumpahkan air. Anggap saja setiap tetes adalah darahmu sendiri,” katanya saat Xu Hao mendekat. Napas bocah itu sudah terengah, tetapi ia berhasil membawa ember penuh tanpa menumpahkan banyak.

“Letakkan di sana,” perintah Lianxue sambil menunjuk pada kendi besar di samping rumah. Xu Hao menuangkan air ke dalamnya, lalu kembali ke jalur untuk perjalanan kedua.

Setelah beberapa kali naik turun, pundaknya mulai terasa nyeri, lengannya gemetar. Tetapi setiap kali ia melihat wajah ibunya di ingatan, ia menolak untuk menyerah. Pada pengisian ketujuh, keringat membasahi leher dan punggungnya meski udara masih dingin. Tangannya mulai lecet di gagang ember, namun ia tetap berjalan.

Di perjalanan kesepuluh, langkahnya goyah. Lianxue mendekat, tetapi tidak membantu. “Kalau kau jatuh, ulang dari awal,” ucapnya. Xu Hao menggigit bibir, menahan sakit di lengannya. Setibanya di atas, ia menurunkan ember dengan perlahan agar tidak menumpahkan air. Begitu selesai, ia jatuh terduduk di tanah, napasnya terengah.

“Kau punya tekad. Itu bagus,” kata Lianxue sambil menuangkan sisa air ke kendi. “Tapi ini baru pemanasan.”

Xu Hao mendongak, wajahnya pucat namun matanya masih menyala. “Apa berikutnya?”

“Push-up lima puluh kali. Lalu berlari mengelilingi puncak ini tiga puluh putaran,” jawab Lianxue singkat.

Tanpa banyak bicara, Xu Hao tiarap di tanah dan mulai menghitung. Di hitungan ke tiga puluh, lengannya sudah bergetar hebat. Di hitungan ke empat puluh, tubuhnya nyaris ambruk. Namun setiap kali hendak berhenti, ia mengingat kembali janji di depan makam orang tuanya. Ia menyelesaikan lima puluh dengan tubuh yang hampir roboh.

Berlari tiga puluh putaran di medan rumput tidak kalah berat. Nafasnya terasa seperti terbakar, kaki seakan diikat beban. Tetapi mata Lianxue yang terus mengawasinya membuatnya tidak berani menyerah. Pada putaran terakhir, langkahnya sudah sangat lambat, tetapi ia tetap bergerak hingga garis awal.

Lianxue mengangguk tipis. “Cukup untuk hari ini. Kau tidak boleh melatih tubuhmu terlalu keras di awal, atau malah akan melukai dirimu sendiri.” Ia lalu berjalan ke kendi dan menuangkan segayung air ke sebuah cangkir. “Minumlah. Ini air mata air. Bisa memulihkan sedikit energimu.”

Xu Hao menerima cangkir itu. Airnya dingin, namun begitu masuk ke tenggorokan terasa seperti mengalirkan kekuatan baru ke seluruh tubuh. Ia menghela napas panjang. “Terima kasih…”

Lianxue menatapnya. “Jangan terlalu sering berterima kasih. Di dunia ini, rasa terima kasih saja tidak cukup. Kau harus punya kekuatan.”

Kata-kata itu menancap di hati Xu Hao. Ia menatap tangannya yang kurus dan penuh lecet. Dalam hati, ia berjanji akan menjadikan tangan itu cukup kuat untuk melindungi dirinya dan membalas dendam suatu hari nanti.

Malam Kedua di Puncak Gunung.

Bulan telah naik tinggi di langit, bundar sempurna, memandikan puncak gunung itu dengan cahaya keperakan. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma bunga liar dari lereng bawah. Rerumputan di halaman rumah kayu bergoyang pelan, sementara suara serangga malam mengisi kesunyian dengan ritme alam yang teratur.

Xu Hao duduk di tangga kecil di depan rumah, memeluk lututnya. Tubuhnya masih terasa letih akibat latihan pagi tadi, terutama di bahu dan lengan. Rasa nyeri itu menusuk setiap kali ia bergerak, namun di balik rasa sakit itu ada sedikit kebanggaan. Ia telah menyelesaikan semua tugas yang diberikan Lianxue, meski nyaris tidak sanggup berdiri di akhir latihan.

Lampu minyak di dalam rumah menyala redup. Lianxue sedang duduk di meja, memeriksa gulungan bambu berisi catatan formasi. Wajahnya diterangi cahaya kekuningan lampu, menampilkan keseriusan yang jarang ia tunjukkan pada orang lain. Sesekali ia menulis sesuatu di kertas tipis di sampingnya dengan kuas kecil, gerakannya tenang dan teratur.

Langit di atas mereka begitu jernih malam itu, bintang-bintang bertaburan seperti debu cahaya yang ditabur di atas permadani hitam. Xu Hao memandangnya lama, pikirannya mengembara. Ia bertanya-tanya seperti apa rasanya menjadi kultivator yang mampu terbang di antara bintang, mengendalikan petir, atau menghancurkan batu dengan satu pukulan. Sejak kecil ia hanya mendengar kisah itu dari orang-orang di desa, dan ayah ibunya.

Suara pelan yang familiar memecah lamunannya. Angin di udara bergetar ringan, dan di kejauhan cahaya biru berkelebat, semakin lama semakin jelas. Cuyo muncul dari kegelapan, berdiri di atas pedang perak kebiruan yang memancarkan kilau halus di bawah cahaya bulan. Gerakannya tenang, namun setiap langkah kakinya seakan menyatu dengan angin malam.

Pedang itu mendarat tanpa suara di rerumputan. Cuyo menatap putrinya dan Xu Hao, bibirnya membentuk senyum tipis. “Aku kembali. Ada sesuatu untukmu, Hao’er.”

Xu Hao berdiri cepat. “Paman kembali.” Suaranya penuh rasa hormat, dan sedikit rasa penasaran.

Cuyo berjalan mendekat. Di tangannya, ia membawa sebuah kotak kayu kecil berwarna hitam legam. Kotak itu polos, namun permukaannya berkilau halus, seakan kayu itu meminum cahaya di sekitarnya. Ada segel tipis berwarna emas yang melingkari tepi tutupnya. Xu Hao merasakan hawa dingin samar menyusup keluar dari kotak itu, membuat bulu kuduknya berdiri.

Lianxue berdiri dari kursinya, mendekat. “Apa itu, Ayah?”

“Ini adalah Batu Qi Ling,” jawab Cuyo pelan. “Bukan batu roh biasa. Batu ini mampu membuka meridian yang tertutup pada tubuh manusia biasa. Jika digunakan dengan benar, ia akan membangkitkan rasa pertama pada Qi bagi mereka yang tidak memiliki bakat kultivasi.”

Mata Xu Hao membesar. “Bisa… membuatku berkultivasi?”

Cuyo mengangguk. “Jika tubuhmu menerima, maka mulai malam ini kau bisa menapaki Jalur Keabadian. Tapi ini bukan tanpa risiko. Batu Qi Ling akan memaksa meridianmu terbuka. Rasa sakitnya seperti tulang dan darah dihancurkan dari dalam. Tidak semua orang sanggup menanggungnya.”

Xu Hao menelan ludah, tetapi ia tidak mundur. “Aku sanggup.” Suaranya mantap, meski ada sedikit getaran di ujungnya.

Cuyo menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. “Baik. Duduk bersila di halaman. Jangan bergerak sampai aku mengatakan selesai.”

Xu Hao duduk di atas rerumputan, menegakkan punggung. Angin malam menyapu wajahnya. Lianxue berdiri di sisi ayahnya, menatap dengan sedikit rasa khawatir yang tersembunyi di balik tatapan dinginnya.

Cuyo berlutut di depan Xu Hao. Ia membuka kotak itu perlahan. Segel emas di tepi kotak berpendar sebentar sebelum lenyap. Saat tutupnya terbuka, hawa dingin yang jauh lebih pekat langsung menyelimuti udara di sekitar mereka. Di dalam kotak, terbaring sebuah batu bulat seukuran kepalan tangan, berwarna putih pucat, namun di dalamnya mengalir cahaya lembut berwarna perak, berputar seperti kabut.

“Ini adalah inti dari batu roh yang terbentuk selama seribu tahun di perut gunung yang dipenuhi Qi Surgawi,” jelas Cuyo. “Sekali digunakan, energinya akan mengalir ke tubuhmu, mencari jalan melalui meridian, dan memaksa salurannya terbuka.”

Cuyo meletakkan batu itu di telapak tangan Xu Hao. Batu itu terasa dingin, namun bukan dingin biasa. Rasa itu menembus kulit, meresap hingga ke sumsum tulang. Xu Hao menggigit bibir, menahan rasa ngilu yang mulai menjalar.

“Tutup matamu,” kata Cuyo. “Atur napasmu. Tarik udara perlahan melalui hidung, tahan di bawah pusar, lalu hembuskan lewat mulut. Lakukan tiga kali.”

Xu Hao mematuhi. Napasnya mulai teratur. Cuyo menempelkan ujung jarinya di batu, mengaktifkan formasi kecil yang terukir halus di permukaannya. Cahaya perak di dalam batu mulai berputar lebih cepat, lalu merembes keluar seperti aliran kabut, memasuki telapak tangan Xu Hao.

Begitu Qi itu masuk, Xu Hao merasakan seolah darahnya mendidih. Rasa sakit itu bukan hanya di kulit, tetapi menembus ke tulang, merobek-robek urat di dalam tubuhnya. Nafasnya tercekat, namun ia mengingat kata-kata Cuyo dan tidak berteriak. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.

“Biarkan Qi itu bergerak. Jangan melawan,” suara Cuyo tenang, namun mengandung kekuatan yang membuat Xu Hao tetap fokus. “Bayangkan aliran air yang mencari jalan melalui bebatuan. Itu adalah Qi yang membentuk jalan di dalam tubuhmu.”

Lianxue memperhatikan setiap gerakan, matanya tidak lepas dari wajah Xu Hao. Ia pernah merasakan pembukaan meridian ketika kecil, dibimbing langsung oleh ayahnya. Namun saat itu ia sudah memiliki bakat alami. Melihat bocah yang awalnya tidak memiliki kemampuan sama sekali mencoba melewati tahap ini membuatnya sedikit kagum, meski ia tidak mengatakannya.

Cahaya perak mulai menyelimuti tubuh Xu Hao dari dalam. Meridian pertama terbuka di sepanjang lengan kanan. Rasa sakitnya seperti pisau menggores dari dalam, namun diikuti oleh aliran hangat yang mengusir rasa lelah di ototnya. Meridian kedua terbuka di dada, membuatnya sulit bernapas sejenak, lalu dada terasa lapang. Perlahan, satu demi satu, jalur energi di tubuhnya mulai terbuka.

Setelah waktu yang terasa sangat panjang, Cuyo mengangkat jarinya. Cahaya di batu memudar, lalu mati. Xu Hao terkulai, tubuhnya basah oleh keringat. Napasnya berat, namun matanya terbuka lebar, berkilat seperti bintang.

“Paman…” suaranya parau. “Aku… merasakannya. Sesuatu mengalir di dalam tubuhku. Hangat… tapi juga kuat.”

Cuyo tersenyum puas. “Itulah Qi. Mulai malam ini, kau adalah seorang kultivator tingkat awal tahap Qi Refining. Jalanmu baru saja dimulai.”

Lianxue menatapnya, lalu berkata pelan, “Jangan bangga terlalu cepat. Ini baru langkah pertama dari ribuan langkah. Tapi… selamat.”

Xu Hao mengangguk, wajahnya serius. “Aku tidak akan berhenti.”

Angin malam berhembus lagi, namun kali ini Xu Hao merasakannya berbeda. Ia bisa merasakan partikel-partikel Qi yang tersebar di udara, seperti kabut tipis yang selalu ada, hanya saja ia baru sadar keberadaannya.

Di halaman rumah kayu itu, di bawah cahaya bulan perak, seorang bocah yang dulunya lemah mulai menapaki jalannya menuju dunia para kultivator.

1
Nanik S
Ditunggu upnya tor 🙏🙏🙏
Nanik S
Huo... nekat benar memberi pelajaran pada Pria Tu
Nanik S
apakah mereka bertiga akan masuk bersama
Nanik S
Huo memang Urakan.... memang benar yang lebih Tua harus dipanggil senior
Nanik S
Lha Dau Jiwa sudah dijual
YAKARO: itu cuma tanaman obat kak. bukan jiwa beneran
total 1 replies
Nanik S
Inti Jiwa...
Nanik S
Lanjutkan makin seru Tor
Nanik S
Lanjutkan Tor
Nanik S
Makan Banyak... seperti balas dendam saja Huo
Nanik S
Pil Jangan dijual kasihkan Paman Cuyo saja
Nanik S
Mau dijual dipasar tanaman Langkanya
Nanik S
Lanjutkan
Nanik S
Ceritanya bagus... seorang diri penuh perjuangan
Nanik S
Cerdik demi menyelamatkan diri
Nanik S
Baru keren... seritanya mulai Hidup
YAKARO: Yap, Thanks you/Smile/
total 1 replies
Nanik S
Mungkin karena Xu Hai telah byk mengalami yang hampir merebut nyawanya
Ismaeni
ganti judul yaa thor?
YAKARO: enggak. Hidup Bersama Duka itu awalnya judul pertama pas masih satu bab, terus di ubah jadi Immortality Though Suffering. malah sekarang di ganti sama pihak Noveltoon ke semula.
total 1 replies
Nanik S
Xu Hai... jangan hanya jadi Penonton
Nanik S
Sebenarnya siapa Pak Tua yang menyelamatkan Hao
YAKARO: Hmm, saya juga penasaran/Proud/
total 1 replies
Nanik S
untung ada yang menolong Xu Hai
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!