Ketika seorang jenderal militer yang legendaris menghembuskan napas terakhirnya di medan perang, takdir membawanya ke dalam tubuh seorang wanita polos yang dikhianati. Citra sang jenderal, kini menjadi Leticia, seorang gadis yang tenggelam di kolam renang berkat rencana jahat kembarannya. Dengan ingatan yang mulai terkuak dan seorang tunangan setia di sisinya.
Pertempuran sesungguhnya dimulai, bukan dengan senjata, melainkan dengan strategi, intrik, dan perjuangan untuk memperjuangkan keadilan untuk dirinya...
apakah Citra akan berhasil?
selamat datang di karya pertamaku, kalau penasaran ikuti terus ceritanyaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
Setelah menikmati 'selingan yang sangat manis' yang secara tak terduga ternyata mulai melunakkan sedikit sisi kaku sang jenderal, Leticia (Citra) menyadari bahwa waktu tenang itu tak akan bertahan lama. Perasaan aneh yang tumbuh karena perhatian tulus Max dan kehangatan Nyonya Clara serta Tuan William, meskipun menenangkan, juga memperkuat tekadnya. Misi ini bukan hanya tentang membalas dendam untuk pemilik tubuh ini, tetapi juga tentang melindungi kebaikan yang kini ia mulai rasakan, sebuah kebaikan yang terancam oleh kegelapan yang menyelimuti rumah ini. Ia harus bergerak, tetapi dengan perhitungan yang sangat matang dan tanpa cela.
Citra memulai operasi pengumpulan intelijennya dengan cara yang paling tidak mencurigakan: menjelajahi kamar Leticia. Setiap sudut ruangan, setiap laci yang berdebu, setiap tumpukan buku, menjadi medan investigasi barunya. Ia berpura-pura ingin 'mengingat' masa lalu, sesekali menghela napas panjang atau memijat pelipisnya seolah sedang berjuang, memilah-milah barang-barang Leticia yang berserakan di meja rias atau di dalam lemari yang penuh gaun-gaun indah. Aroma bunga lili segar yang dulu menenangkan kini terasa seperti tabir tipis yang menyembunyikan bau busuk di baliknya. Fokusnya tertuju pada sesuatu yang tampak pribadi dan belum pernah ia sentuh sebelumnya.
Di bawah tumpukan selimut di dasar lemari, ia menemukan sebuah kotak kayu tua yang diukir dengan detail rumit, terkunci dengan gembok kecil berkarat. Mata Citra menyipit. Siapa yang menyimpan kotak ini begitu tersembunyi? Dengan insting terlatihnya, ia menemukan kunci kecil yang terselip di balik bingkai foto di meja samping tempat tidur. Klik. Kotak itu terbuka, memperlihatkan tumpukan surat dan sebuah buku harian yang terikat pita satin biru pudar yang seoalah olah sedang disembunyikan Leticia dari siapapun. Aroma kertas tua, wangi melati yang samar, dan sedikit debu menguar dari dalamnya, seolah membawa cerita dari masa lalu.
Buku harian itu menjadi harta karun pertama Citra. Dengan hati-hati, ia mulai membaca. Tulisan tangan Leticia yang rapi menceritakan kehidupan seorang gadis muda yang polos, penuh impian sederhana tentang taman bunga dan pesta teh, dan sangat mencintai keluarganya. Ada banyak coretan tentang Max betapa baiknya dia, betapa ia merindukan Max saat tidak bertemu, bagaimana Max adalah cahaya di hari-harinya. Namun, yang paling menarik perhatian Citra adalah beberapa cerita mengenai Petricia. Leticia menulis tentang rasa syukurnya memiliki kembaran, tapi juga sesekali menyelipkan nada kesedihan saat Petricia tiba-tiba marah tanpa sebab atau cemburu pada hal-hal kecil. Ia membaca satu tulisan yang berbunyi: "Hari ini Petricia membentakku karena aku tak sengaja memecahkan vas bunga kesayangannya. Padahal, aku sudah meminta maaf. Mama dan Papa juga bilang tidak apa-apa, tapi Petricia terus saja marah dan memintaku menggantinya dengan uang saku. Aku sedih sekali."
Lalu, di halaman lain: "Max membawakanku bunga mawar merah hari ini. Aku sangat senang! Tapi saat Petricia melihatnya, wajahnya langsung gelap. Aku tidak mengerti kenapa ia selalu begitu jika Max bersikap manis padaku. Aku ingin kami bertiga selalu bahagia seperti dulu saat Max belum menyatakan perasaannya." Tidak ada dendam, hanya kesedihan seorang kakak yang ingin akur dengan kembarannya. Citra merasakan kepedihan Leticia yang asli, dan ini semakin memanaskan tekadnya untuk mengungkap semua kebusukan Petricia. Letricia memang tidak egois, hanya polos dan apa adanya, yang justru menjadi sumber penderitaannya di mata Petricia, sebuah ironi yang menyayat hati.
Selain buku harian, Citra juga berinteraksi dengan beberapa pelayan senior di rumah itu, berpura-pura ingin 'mengingat' atau 'belajar' tentang kebiasaan lamanya. Dengan suara lembut dan polos, yang disesuaikan dengan karakter Leticia, ia akan bertanya hal-hal sepele. "Bi Sumi, apakah dulu saya sering menjatuhkan barang atau melupakan sesuatu?" atau "Apakah Bibi ingat kapan terakhir kali saya memakai gelang ini? Rasanya aneh tidak menemukannya." Dari percakapan itu, ia mendengar bisikan-bisikan kecil yang tampak tak berarti namun berharga bagi analisanya: betapa Petricia selalu ingin menjadi yang terbaik, bagaimana ia sering "membantu" Leticia dalam segala hal, bahkan mengatur teman-teman Leticia. Salah satu pelayan tua, Bi Inah, yang matanya tampak menyimpan banyak rahasia, pernah nyeletuk dengan nada hati-hati, "Nona Petricia itu memang sangat perhatian pada Nona Leticia, seperti ingin memastikan Nona Leticia selalu baik-baik saja... dengan caranya sendiri." Kalimat terakhir itu, diucapkan dengan nada sedikit ragu dan pandangan melirik ke arah pintu, tidak luput dari analisis Citra. Ada banyak hal yang tidak terucap dari para pelayan itu, sebuah rahasia yang tersembunyi di balik kesetiaan mereka.
Sementara itu, di sudut lain mansion, Petricia mengamati. Matanya yang tajam tak pernah lepas dari setiap gerak-gerik Leticia. Ia melihat Leticia yang kini seolah 'aktif' mencari masa lalu, menyentuh barang-barang lama, bahkan berbicara lebih banyak dengan para pelayan sesuatu yang Leticia asli jarang lakukan setelah remaja. Gelisah menjalar di hatinya. Apakah amnesia itu hanya pura-pura? Atau Leticia mulai mengingat sesuatu? Ketidaksabaran Petricia semakin memuncak, napasnya memburu. Ia tidak bisa lagi hanya mengandalkan Max yang lengket seperti lintah itu, atau menunggu waktu. Ia harus bertindak.
Suatu siang, saat Leticia (Citra) sedang membaca buku harian di teras, cahaya matahari menerangi halaman-halaman yang penuh rahasia. Petricia mendekat dengan senyum manis yang berbahaya, namun aura di sekelilingnya terasa dingin menusuk. "Sedang apa, Tia? Mencoba mengingat?" tanyanya lembut, namun matanya menyipit tajam, mengamati setiap reaksi Leticia. Tanpa menunggu jawaban, Petricia meraih gelas teh di meja dengan gerakan yang terlalu cepat dan disengaja, kemudian pura-pura tersandung, membuat teh tumpah di atas beberapa lembar buku harian yang terbuka. "Astaga! Maafkan aku, Tia! Aku benar-benar ceroboh! Aku akan membersihkannya!" serunya, ekspresi wajahnya begitu sempurna menunjukkan penyesalan dan kepanikan, nyaris meyakinkan.
Citra menatap Petricia, matanya sedikit melebar karena 'terkejut' melihat noda teh cokelat yang menyebar di halaman penting itu. Namun, di dalam dirinya, mesin analisis sang jenderal bekerja. Cara Petricia menumpahkan teh itu terlalu 'sempurna' untuk sebuah kecerobohan; gerakan tangannya terlalu pasti. Ini adalah serangan pertama Petricia yang disengaja. "Tidak apa-apa, Petricia. Aku akan mengeringkannya," jawab Citra dengan suara yang tenang, berusaha menjaga ekspresi amnesia-nya yang polos, agar Petricia meremehkannya. Ia tahu ini adalah serangan pertama Petricia, sebuah tes, dan ia telah lolos.
Di balik wajah polos itu, pikiran Citra bekerja sangat cepat. Ia sudah mengantisipasi hal seperti ini. Noda teh itu mungkin mengaburkan beberapa kata, tapi tidak menghancurkan informasi yang penting. "Petricia mencoba memadamkan api yang baru saja ia nyalakan sendiri," pikir Citra, bibirnya membentuk senyum tipis yang tak terlihat. Ia mengamati ekspresi Petricia yang sedikit kecewa dan rahang yang mengeras saat melihat Leticia tidak panik atau marah. Petricia jelas mengharapkan reaksi yang berbeda.
Malam itu, setelah semua orang tidur dan rumah sunyi, Citra kembali ke buku harian. Ia dengan hati-hati membersihkan noda teh. Ia menemukan bahwa di balik salah satu halaman yang basah itu, ada tulisan samar dengan tinta berbeda, hampir tidak terlihat, yang menuliskan sebuah nama, "Arka," dan serangkaian angka. Sebuah kode? Ia juga menemukan secarik kertas kecil yang tidak sengaja terjatuh dari kotak itu, terselip di antara halaman terakhir, dengan tulisan tangan yang bukan milik Leticia. Kata-kata itu pendek, namun cukup untuk membuat bulu kuduk Citra berdiri: "Dia tahu terlalu banyak. Habisi." Siapa "dia"? Apakah "Dia" itu Arka? Dan siapa yang mengeluarkan perintah keji itu? Misteri baru mulai terkuak, jauh lebih gelap dari sekadar kecemburuan Petricia. Sebuah benang merah yang mulai terbentang, menghubungkan masa lalu Leticia dengan ancaman yang kini mengintai.
semangat dan sehat selalu kak thor