Bagi Lira, Yash adalah mimpi buruk. Lelaki itu menyimpan rahasia kelam tentang masa lalunya, tentang darah dan cinta yang pernah dihancurkan. Namun anehnya, semakin Lira menolak, semakin dekat Yash mendekat, seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas.
Yang tak Lira tahu, di dalam dirinya tersimpan cahaya—kunci gerbang antara manusia dan dunia roh. Dan Yash, pria yang ia benci sekaligus tak bisa dihindari, adalah satu-satunya yang mampu melindunginya… atau justru menghancurkannya sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senara Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Lira berusaha menahan napas, tubuhnya bergetar hebat. Pukulan tangannya ke dada Yash seperti menabrak batu—sia-sia, tak menggoyahkan apa pun. Setiap kali ia meronta, genggaman Yash di pergelangan tangannya justru semakin keras, menancapkan rasa sakit hingga kulitnya memerah.
Ciuman itu bukan kelembutan, melainkan serangan. Bibir Yash menekan bibir Lira tanpa ampun, mendesak, menguasai, seolah-olah ia ingin menghancurkan setiap penolakan lewat kekerasan yang membungkam.
Lira menjerit teredam, suara parau tertelan dalam cengkeraman itu. Matanya berkaca-kaca, bukan karena kelembutan, tapi karena keterkejutan dan amarah yang mendidih. Ia ingin berteriak, memaki, tapi Yash menutup semua ruang dengan bibirnya, dengan napasnya yang panas, dengan tubuhnya yang memburu.
Sementara itu, tatapan mata Yash—meski dekat—bukan lagi milik seseorang yang rasional. Sorotnya gelap, penuh api, campuran antara obsesi dan kepemilikan. Ada kilatan gila di dalam sana, seolah dirinya tak peduli apakah Lira membenci atau mencintainya, asalkan ia tidak lepas.
“Berhenti melawan, Lira,” gumam Yash di sela desakan, suaranya berat, nyaris serak. “Semakin kau menolak, semakin aku tak bisa menghentikan diriku.”
Lira mencoba menggigit bibir Yash, tapi justru itu membuat ciumannya semakin liar. Yash mendorong tubuh Lira makin keras ke dinding, suara benturannya memekakkan telinga, membuat tubuhnya seakan terperangkap tanpa ruang untuk bernafas.
Tangannya yang bebas meraba pipi Lira, kasar, hampir menyakitkan, seakan ingin menandai bahwa perempuan itu miliknya dan tak bisa lari.
Dalam kepungan itu, hanya ada dua hal yang Lira rasakan—takut dan muak. Tapi di balik sorot matanya yang penuh perlawanan, ada juga kilatan kesedihan: kesadaran bahwa monster di hadapannya, yang dulu ia anggap penyelamat, kini benar-benar mengungkapkan sisi tergelapnya.
Yash tidak melepaskan ciumannya. Tidak memberi jeda. Tidak membiarkan Lira mengambil satu pun napas lega. Ia terus menekan, mendesak, seolah ingin memastikan bahwa hanya dirinya yang bisa menguasai gadis itu—entah dengan cinta, entah dengan kekerasan, atau keduanya.
Yash akhirnya menarik dirinya, melepaskan ciuman brutal yang sejak tadi menjerat bibir Lira. Napasnya memburu, dada naik turun, tatapannya masih menyala gelap—namun berbeda dengan Lira.
Gadis itu terisak. Air mata mengalir deras di pipinya, membuat wajahnya tampak begitu rapuh, kontras dengan perlawanan sengit yang baru saja ia lakukan. Begitu Yash sedikit melonggarkan genggamannya, Lira langsung meraih kesempatan itu.
Plaaak!
Suara tamparan keras membelah keheningan. Kepala Yash sedikit terpelintir ke samping, pipinya memerah. Sekejap suasana membeku, hanya ada isakan tertahan dari Lira dan helaan napas berat Yash.
“Brengsek kau, Yash!” jerit Lira di sela tangisnya. Suaranya pecah, penuh kebencian sekaligus luka yang dalam.
Mata Yash membelalak sepersekian detik, tapi segera kembali meredup dengan sorot dingin. Ia tidak membalas, tidak juga menghindar. Ia hanya berdiri, menatap Lira yang sudah bergetar penuh amarah dan kepedihan.
Dengan langkah gemetar, Lira membalikkan badan. Gaun tipisnya bergoyang, rambut kusutnya menutupi sebagian wajah basah air mata. Ia menyeret kakinya kembali menuju kamar tadi, tak peduli dengan tatapan Yash yang mengawasinya.
Setiap langkah terasa berat, tapi Lira menolak menunjukkan kelemahan di hadapan makhluk itu lagi. Ia mendorong pintu kamar, menutupnya dengan hentakan, lalu bersandar di baliknya. Tubuhnya merosot perlahan ke lantai.
Tangisnya pecah lebih keras kali ini. Bahunya terguncang, dadanya terasa sesak. “Aku harus keluar dari sini…” bisiknya parau. Jemarinya mengepal, rasa sakit di pergelangan tangannya masih terasa akibat cengkeraman Yash.
Sementara itu di luar kamar, Yash berdiri terpaku di lorong gelap. Jemarinya perlahan menyentuh pipinya yang masih panas bekas tamparan. Senyum samar—aneh, getir, dan berbahaya—menarik sudut bibirnya.
“Menarik sekali, Lira… Kau benar-benar berbeda dari Arum.”
Nafasnya kembali berat, obsesi yang membakar dalam dadanya tak juga padam, justru makin kuat setelah menerima penolakan itu.
Ia menunduk, menyeringai tipis. “Kau boleh membenciku… tapi pada akhirnya, kau tetap akan kembali padaku.”
Suara makhluk-makhluk di luar rumah yang meraung menghantam perisai sihir terdengar semakin keras, tapi Yash seolah tak peduli. Semua fokusnya hanya tertuju pada satu hal—gadis yang kini menangis di balik pintu kamar.
Pagi merambat masuk lewat celah tirai tebal, tapi cahaya matahari sama sekali tak menghangatkan hati Lira. Ia masih duduk di tepi ranjang, rambutnya kusut, matanya sembab karena semalaman tak tidur. Kedua tangannya sibuk memegang ponsel, jemari bergetar menekan layar.
Sejak dini hari tadi, ia sudah berulang kali mencoba membuka aplikasi peta. Namun hasilnya nihil. “Kenapa selalu error… bahkan sinyal pun nggak stabil di sini,” gumamnya putus asa. Garis lokasi yang biasanya muncul hanya berputar tanpa arah, seperti terjebak dalam kabut.
Frustrasi mulai menguasai, tapi ia tak menyerah. Napasnya ditarik panjang, lalu dengan cepat ia membuka kontak dan menekan nama Keniro.
“Angkat, Ken… ayolah…” bisiknya, hampir seperti doa.
Beberapa detik hening, lalu terdengar bunyi klik. Suara berat, masih agak serak mengalun dari seberang.
“Halo? Ra?”
Lira terlonjak kecil. “Halo, Ken!” suaranya tercekat, seperti menahan tangis. “Tolong aku… tolong lacak keberadaanku. Jemput aku, pliss! Aku… aku diculik.”
Keheningan singkat dari seberang, lalu suara Keniro terdengar panik.
“Hah?! Seriusan, Ra? Diculik? Siapa yang—”
“Panjang ceritanya!” potong Lira cepat, nadanya tegang. “Pokoknya jangan banyak tanya dulu, tolong cariin aku secepatnya. Aku nggak tahu aku di mana. Aku cuma tahu rumah ini di tengah hutan. Pliss, Ken.”
Lira bisa mendengar Keniro menarik napas dalam, seperti sedang menahan panik.
“Oke, oke. Tenang, Ra. Bentar ya, gue masih di rumah. Nanti kalo gue udah di kantor gue telepon balik. Gue janji akan cari cara lacak posisi lo.”
Mata Lira berkaca-kaca, ia menggenggam ponselnya erat-erat. “Cepetan ya, Ken… aku takut.”
“Iya, Ra. Gue janji. Jangan putus asa. Tahan dulu di sana.”
Telepon terputus.
Lira menatap layar kosong ponselnya dengan napas terengah, jantungnya berdegup kencang. Harapannya kini hanya pada Keniro. Namun di saat yang sama, perasaan ngeri menyusup—seolah ada mata lain yang memperhatikan setiap gerak-geriknya dari balik dinding rumah itu.
Dari balik pintu kamar, suara langkah berat terdengar mendekat, lalu berhenti tepat di depan. Hening.
Lira menegakkan tubuhnya, menggenggam erat ponsel, menahan napas.
“Pagi, Lira.” Suara Yash terdengar rendah dan dalam, penuh tekanan, tepat dari balik pintu kayu.
Lira bangkit dengan ragu, jemarinya masih menggenggam ponsel yang buru-buru ia selipkan ke balik bantal. Dengan langkah perlahan, ia membuka pintu kamar hanya sedikit—cukup untuk mengintip keluar.
Di sana, berdiri Yash. Tubuh tegaknya menutup hampir seluruh celah pintu, wajahnya tenang seolah tak ada yang terjadi semalam. Tatapannya dalam, sulit ditebak.
“Apa?” suara Lira terdengar dingin, penuh jarak.
Yash tidak menjawab panjang. Bibirnya hanya mengucapkan, “Ayo sarapan.”
Lira menghela napas kasar, mencoba menutup kembali pintu. “Nggak usah.”
Namun tangan Yash sudah menahan daun pintu sebelum sempat tertutup rapat. Ada kekuatan tak tertandingi di genggamannya.
“Ayo sarapan,” ulang Yash, kali ini dengan nada penuh penekanan.
Tatapan Lira membalas tak kalah tajam. “Aku nggak mau.” suaranya bergetar, tapi keras kepala.
Untuk sesaat keduanya saling mengunci pandang, seperti ada medan listrik yang beradu di udara. Lalu tiba-tiba Yash mendorong pintu itu dengan satu hentakan, membuatnya terbuka lebar. Lira hampir terhuyung mundur.
Tanpa memberi kesempatan, Yash membungkuk, mengait tubuh Lira dengan mudah, lalu mengangkatnya ke bahunya seolah ia hanyalah karung ringan.
“Yash! Turunin nggak?!” pekik Lira, kedua tangannya langsung menghantam punggungnya bertubi-tubi. Tinju dan pukulan kecilnya hanya menimbulkan bunyi gedebuk, tapi tak membuat Yash goyah sedikit pun.
“Nggak.” jawab Yash datar, langkahnya mantap meninggalkan kamar.
“Turunin aku bilang! Dengar nggak, dasar monster keras kepala!” Lira berontak, kakinya menendang-nendang udara, rambutnya berantakan menutupi wajah.
Yash tidak bergeming. Suara beratnya hanya meluncur tenang namun menusuk, “Kalau aku turunin, kau pasti kabur lagi.”
Lira terdiam sepersekian detik, lalu menjerit marah, “Aku benci kamu! Lepasin aku!”
Tawa rendah Yash terdengar, begitu dekat di telinga Lira. “Benci? Kau bisa terus bilang begitu. Tapi aku tahu, kau butuh aku lebih dari yang kau kira.”
Tangisan frustrasi Lira meletup, air matanya jatuh tanpa ia sadari, membasahi punggung Yash.
Langkah lelaki itu terus berlanjut, menuruni tangga rumah mewah yang sepi dan sunyi, menuju ruang makan yang luas dengan meja panjang. Ia menurunkan Lira dengan sengaja agak kasar di kursi, membuat gadis itu terhentak duduk.
“Makan.” ucap Yash, tatapannya tegas, seakan tak memberi ruang untuk bantahan.
Kursi berderit pelan ketika Lira bangkit berdiri dengan kasar. Matanya merah, wajahnya kusut oleh amarah dan tangis semalaman. Ia berbalik, jelas berniat meninggalkan meja makan itu.
Namun sebelum sempat melangkah lebih jauh, sebuah tangan dingin dan kuat mencengkeram lengannya. Tarikan itu menghentikan gerakannya seketika.
“Aku bilang makan, Lira.” Suara Yash dalam, penuh tekanan, seakan setiap kata menggetarkan udara di ruangan itu. Tubuhnya condong ke arah Lira, sorot matanya tajam menusuk. “Kau tahu… semakin kau melawan, semakin aku ingin memilikimu. Jadi jaga sikapmu.”
Lira menelan ludah keras-keras, jantungnya berdetak tak karuan. Rasa takut dan marah bercampur, tapi ia juga tahu perlawanan hanya akan memperkeruh keadaan. Dengan sisa keberanian, ia menatap balik Yash—tatapan yang gemetar, namun tetap menantang.
Akhirnya, dengan berat hati, ia kembali menjatuhkan tubuhnya ke kursi. Kursi kayu berderit lagi saat ia duduk, tapi kali ini diam tak bergeming. Kedua tangannya terkepal di pangkuan, rahangnya mengeras.
Di hadapannya, piring porselen dengan sarapan lengkap terhidang rapi: roti hangat, daging, dan buah. Aroma makanan itu sama sekali tak masuk ke indra Lira.
Yash duduk di seberangnya dengan gerakan tenang, seolah tak ada ketegangan yang baru saja meletup. Ia mulai mengambil garpu dan pisau, memotong makanannya perlahan. Tatapannya sesekali mengarah pada Lira, yang hanya duduk diam—punggung tegak, mata menunduk, bibir terkatup rapat.
“Kenapa tidak makan?” suara Yash terdengar datar, tapi ada nada menguji di dalamnya.
Lira tetap membisu. Tangannya menggenggam ujung rok, begitu kencang hingga buku-buku jarinya memutih.
Keheningan itu menebal, hanya terdengar dentingan sendok dan garpu dari Yash yang makan dengan ritme tenang, seolah sedang menunggu Lira menyerah.
Akhirnya, Yash meletakkan peralatan makannya. Ia menyandarkan tubuh, dagunya sedikit terangkat, menatap Lira yang membeku di kursinya. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyum ramah, melainkan garis tipis penuh tekanan.
“Baiklah… kalau kau tak mau makan dengan sukarela, mungkin aku harus mencari cara lain agar kau membuka mulutmu.”
Lira menatap tajam ke arah Yash, tatapannya penuh benci sekaligus waspada. Pria itu hanya tersenyum samar, lalu bangkit berdiri. Langkah kakinya terdengar berat di lantai kayu ketika ia mendekat. Tanpa memberi Lira ruang untuk mundur, Yash menarik kursi di sebelahnya dan duduk dengan tenang, tubuhnya mengarah penuh ke arahnya.
“Apa yang kau lakukan?” Lira menyipitkan mata, suaranya gemetar, setengah marah setengah takut.
“Memaksamu membuka mulut,” jawab Yash dengan nada santai, seolah-olah itu hal paling wajar di dunia. Tangannya meraih sepotong roti, lalu dengan enteng menaruhnya di antara bibirnya sendiri.
Sebelum Lira sempat bereaksi, Yash sudah menangkup tengkuknya dengan satu tangan besar dan kuat, mendekatkan wajahnya. Gerakannya lambat tapi penuh kendali, membuat Lira semakin panik.
“Yash, jangan! Stop!” seru Lira, tangannya spontan mendorong dada bidang pria itu, tapi dorongan itu sekeras apapun hanya membuat Yash semakin menekannya. Ia bagaikan tembok, tak bergeming.
Bibirnya kian dekat, roti itu masih terjepit di antara giginya. Lira meronta, tubuhnya bergetar oleh rasa marah dan takut bercampur. Dalam kepanikan, ia meraih roti itu langsung dengan tangan, mencabutnya dari mulut Yash, lalu melemparkannya asal ke lantai.
“Aku bilang berhenti!” teriaknya dengan napas terengah.
Sekilas, Yash terdiam. Tatapannya meredup, bukan karena menyerah—melainkan karena bara yang baru saja dinyalakan Lira. Ia menunduk sedikit, wajahnya mendekat ke telinga Lira hingga napas hangatnya menyapu kulitnya.
“Kau berani menolak aku lagi, Lira?” bisiknya rendah, dingin, penuh ancaman halus. Jemarinya masih mencengkeram tengkuk Lira, kali ini lebih dalam, seakan menegaskan bahwa kendali ada di tangannya.
Lira menahan napas, jantungnya berdegup liar. Tangannya mengepal erat di pangkuan, ingin melawan tapi tubuhnya dipaksa membeku.
Yash menggeser kursinya sedikit lebih dekat, kini jarak mereka hanya sehelai rambut. Tatapannya membakar, menuntut, mendominasi. Bibirnya melengkung tipis—senyum yang membuat Lira ingin berteriak sekaligus lari.
“Kalau kau tak mau makan dengan caraku, berarti aku harus lebih keras lagi.”
“Hentikan ide gilamu itu, Yash!” Lira bersuara lantang, meski napasnya sudah tak beraturan.
Pria itu menatapnya tanpa goyah, rahangnya mengeras. “Aku hanya menyuruhmu makan, Lira!”
Lira terdiam sesaat, matanya membulat, menatap Yash dengan sorot tidak percaya. Jantungnya berdegup kencang, tangan di pangkuan gemetar menahan perasaan campur aduk. “Oke… oke! Aku makan. Tapi—” ia menelan ludah, suaranya serak, “menjauhlah dariku.”
Yash tertawa rendah, gelap, seakan ucapan itu hanya lelucon baginya. Ia mendekat lebih jauh, tubuhnya hampir menempel pada kursi Lira. “Oh, itu tidak bisa.” Suaranya pelan, penuh tekanan, dan nyaris menyerupai bisikan ancaman.
Lira menghela napas panjang, matanya beralih ke meja untuk menghindari tatapan intens pria itu. Dengan tangan bergetar, ia mengambil roti dari piring. Suapan pertama masuk ke mulutnya, tapi rasanya hambar, seolah setiap gigitan hanya menambah beban di dadanya.
Yash tidak beranjak. Ia tetap duduk di sisinya, dagu bertumpu di tangan, memperhatikan Lira dengan tatapan tajam namun penuh kepuasan aneh. Setiap gerakan Lira—dari cara ia mengunyah, hingga jari-jarinya yang bergetar—semua tidak luput dari pengawasan Yash.
“Bagus…” gumamnya rendah, seakan berbicara pada dirinya sendiri. “Akhirnya kau tahu bagaimana caranya menurut.”
Lira berhenti mengunyah, menatapnya dengan sorot tajam, penuh perlawanan yang dipendam. “Jangan terlalu senang dulu, Yash. Aku makan… bukan karena kau, tapi karena aku butuh tenaga untuk pergi dari sini.”
Mata Yash menyipit, senyumnya memudar sedikit. Ia mencondongkan tubuh, begitu dekat hingga Lira bisa merasakan hawa panas dari tubuhnya.
“Kau boleh bermimpi, Lira. Tapi selama aku ada di sini, kau tak akan pergi ke mana pun.”