Yujin hanya ingin keluarga utuh dengan suami yang tidak selingkuh dengan iparnya sendiri.
Jisung hanya ingin mempertahankan putrinya dan melepas istri yang tega berkhianat dengan kakak kandungnya sendiri.
Yumin hanya ingin melindungi mama dan adiknya dari luka yang ditorehkan oleh sang papa dan tante.
Yewon hanya ingin menjalani kehidupan kecil tanpa harus dibayangi pengkhianatan mamanya dengan sang paman.
______
Ketika keluarga besar Kim dihancurkan oleh nafsu semata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caca Lavender, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benci
Pada akhirnya, Yewon berangkat sekolah sendirian dengan berjalan kaki. Jarak apartemen ke sekolahnya tidak jauh, tapi tidak dekat juga. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk kaki kecilnya sampai di Taman Kanak-kanak tempatnya belajar. Guru yang mengajarnya pun sangat prihatin melihatnya tiba di sekolah terlambat dengan keringat mengucur deras. Tapi Yewon tidak peduli. Rasa pegal di kakinya tidak sebanding dengan rasa sakit yang ia rasakan di hatinya.
Ia pun segera duduk di kursi biasa. Tepat di samping Sunghan. Ya, Yewon dan Sunghan sekolah di tempat yang sama.
“Wonnie, kenapa kamu terlambat?” tanya Sunghan.
Yewon menoleh untuk melihat wajah polos sepupunya. Usia Sunghan memang beberapa bulan lebih tua darinya, tapi anak itu masih terlalu polos. Atau justru Yewon yang dipaksa dewasa melebihi usianya.
“Mama tidak bisa mengantarku hari ini, jadi aku harus jalan kaki,” jawab Yewon.
Wajah Sunghan tampak terkejut dan khawatir, “kamu jalan kaki?! Tapi rumahmu kan jauh. Kamu tidak apa-apa? Kamu tidak takut diculik?”
Yewon tertawa kecil melihat Sunghan yang khawatir padanya. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah sepupunya itu tahu kalau papa yang ia banggakan sudah berlaku hina.
“Papa juga tidak bisa mengantarku hari ini,” gumam Sunghan membuyarkan lamunan Yewon, “katanya harus berangkat kerja lebih awal. Padahal kan papa bisa menurunkan aku di sekolah, lalu baru berangkat kerja.”
Dan Yewon masih seorang anak kecil yang murni dan jujur.
“Papamu tidak berangkat kerja pagi-pagi, dia ke rumahku,” celetuk Yewon begitu saja.
“Huh?” Sunghan tampak bingung, “kenapa dia ke rumahmu?”
Yewon mengedikkan bahu, “untuk menemui mamaku.”
“Kenapa papa menemui mamamu?” tanya Sunghan yang semakin bingung.
Yewon berdecak kesal, lalu menatap Sunghan, “intinya papamu sudah berbohong padamu, Sunghan.”
Dan Yewon tidak peduli jika ucapannya bisa memupuk keraguan dalam hati Sunghan untuk papa bocah lelaki itu. Lagipula, bukan tanggung jawab Yewon untuk bersikap dewasa dan menyembunyikan dosa orang tua. Yewon masih anak kecil. Dan kali ini, Yewon akan bersikap kekanakan.
...----------------...
Pulang sekolah, Yewon dijemput oleh mamanya. Dan lagi-lagi, Jihoon ada di luar gerbang sekolah dengan dalih menjemput Sunghan. Yewon menggenggam erat tali tasnya. Sangat erat hingga kepalan tangan mungilnya memutih. Ia benci pemandangan itu. Ia benci melihat mama dan pamannya yang mencuri kesempatan untuk bertemu saat menjemput anak masing-masing.
Yewon mengucapkan salam perpisahan kepada Sunghan sebelum memasuki mobil mamanya. Tidak seperti Yewon yang enggan melihat Jihoon, Sunghan masih menyempatkan diri untuk menyapa Hana sebelum masuk mobil papanya. Dulu, Yewon juga anak sopan seperti itu. Sampai sekarang, ia juga masih sopan. Tapi hanya kepada Jihoon, rasa hormatnya sudah lenyap.
“Wonnie, lain kali kamu harus sopan dengan paman Jihoon. Mama selalu mengajarkan untuk sopan kepada orang tua, kan?” ucap Hana dengan tegas sembari menyetir menuju apartemen mereka.
Yewon tidak menjawab, menoleh pun tidak.
“Sayang? Wonnie kenapa, sih? Kenapa dari tadi marah terus?” tanya Hana dengan nada yang lebih pengertian.
Tak ada jawaban.
Hana menghela napas lelah melihat anaknya yang bersikap keras kepala.
“Yewon? Jangan mengabaikan kalau mama sedang bicara,” suara Hana kembali tegas.
Yewon menoleh perlahan. Air mata mulai menggenang di matanya, “mama pembohong.”
Hana menoleh dengan tatapan terkejut, “apa maksud kamu, Yewon?”
“Aku dengar mama dan paman Jihoon di kamar mama tadi.”
Genggaman Hana pada setir mobil mengerat.
“Aku dengar dan lihat semua,” lanjut Yewon dengan suara bergetar, “mama bilang mama mau kencan dengan paman Jihoon. Mama bilang hati mama selalu teringat paman.”
Hana membuka mulut, tapi sulit sekali mengeluarkan kalimat yang tertahan di tenggorokan.
Yewon mengusap air matanya kasar, “aku pikir mama cintanya sama papa. Aku pikir kita keluarga bahagia. Tapi ternyata mama tidak bahagia. Mama tidak bahagia dengan papa dan Wonnie.”
Sebelah tangan Hana ingin menyentuh anaknya, “Wonnie, tolong dengar Mama—”
“Tidak!” teriak Yewon, lalu kalimat itu pun keluar dari bibirnya, “aku benci mama.”
...🥀🥀🥀🥀🥀...