sesekali kamu harus sadar kalau cowok cool, ganteng dan keren itu membosankan. lupakan kriteria "sempurnah" karena mereka tidak nyata.
hal - hal yang harus diketahui dari sosok pian :
1. mungkin, sedikit, agak, nggak akan pernah ganteng, cool, apalagi keren. bukan berarti dia jelek
2. nggak pintar bukan berarti dia bodoh
3. aneh dan gila itu setara
4. mengaku sebagai cucu, cucu, cucunya kahlil gibran
5. mengaku sebagai supir neil armstrong
6. mengaku sebagai muridnya imam hanafi
7. menyukai teh dengan 1/2 sendok gula. takut kemanisan, karena manisnya sudah ada di pika
8. menyukai cuaca panas, tidak suka kedinginan, karena takut khilaf akan memeluk pika
9. menyukai dunia teater dan panggung sandiwara. tapi serius dengan perasaannya terhadap pika
10. menyukai pika
ada 4 hal yang pika benci didunia ini :
1. tinggal di kota tertua
2. bertemu pian
3. mengenal sosok pian, dan....
4. kehilangan pian
kata orang cinta itu buta, dan aku udah jadi orang yang buta karena nggak pernah menghargai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fchrvlr0zak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PIKA MENOLAK PIAN
Karena saat di sekolah tadi Pian tidak bisa bertemu dengan Pika. Jadi Pian berniat untuk datang ke rumah Pika malam ini sambil membawa ciki-ciki ala buket bunga yang sudah susah payah Pian rangkai khusus untuk Pika.
"Mbak Pika lagi nggak ada di rumah tuh, Bang." Begitu kata Dimas setelah Pian sampai di rumah Pika.
"Oh. Terus Pikanya kemana? Tau nggak?" tanya Pian. Menyembunyikan ciki-cikinya di balik punggung.
Dimas hanya mengangkat kedua bahu. Pian melongokan kepalanya di depan pintu masuk.
"Ada siapa aja nih di rumah? Calon mertua lagi pada ngumpul nggak?"
Dimas tertawa sekilas; lalu mengedikkan dagu ke arah ruang tengah. "Cuma ada Ibu tuh di rumah."
"Boleh masuk nggak? Pengen ngobrol sama Ibu. Manatau bisa jadi jodoh anaknya."
Lagi-lagi Dimas tertawa. "Boleh, boleh, Bang. Masuk aja."
Pian membuka kedua sepatunya. Kemudian masuk ke dalam rumah sambil mengucap salam dengan sopan. Pian berjalan menghampiri ibu Pika dan duduk di sofa sebelah Ibu.
"Lagi ngapain Bu Camer?" Ibu langsung terkejut sampai latah. "Eh monyet lu!"
"Dulu Pika juga pernah manggil saya monyet waktu latah. Sekarang Ibunya juga begini. Apa saya benar-benar monyet ya?"
Ibu dan Dimas tertawa ngakak. "Maaf, Tante cuma suka kagetan aja. Kamu temennya Pika yang waktu itu ajak Pika jalan-jalan kan?"
Pian menjentikkan jari. "Betul sekali Ibu Camer. Ternyata Ibu Camer masih ingat saya. Saya memang nggak salah pilih Camer deh."
Di menit-menit berikutnya. Pian dan Ibu sama-sama menonton film India yang sedang tayang di salah satu stasuin televisi. Adegan melankolis yang dilakoni oleh Sahrulkhan dan Kajol berhasil bikin mereka berdua menangis sampai rebutan tisyu. Sedangkan Dimas hanya tertawa diam-diam memperhatikan tingkah laku keduanya.
"Heran deh! Kenapa sih Rahul nggak mau pilih Anjeli aja dari awal. Kenapa Rahul malah nikah sama Tina! Kalau udah kayak gini kan, akhirnya menyesal! Sekarang Anjeli udah berubah jadi cantik." Ibu mulai mengomel sendiri.
Pian malah ikut membantu Ibu mengomel. "Betul tuh, Ibu Camer. Kenapa ya, manusia jaman sekarang harus melihat fisik dulu daripada hatinya. Padahal belum tentu punya wajah cakep tapi hatinya juga cakep. Mungkin aja yang jelek itu hatinya lebih cakep!"
"Iya, Yan. Bener banget! Pikiran manusia itu memang sempit."
"Setuju Ibu Camer. Berarti Pikiran Pika juga sempit."
Ibu langsung menoleh ke arah Pian.
"Walaupun Pian nggak secakep Rahul, tapi hati Pian ini hello kitty Bu Camer. Tapi kenapa Pika selalu aja nolak Pian. Pian cuma takut, kalau suatu hari nanti Pian udah jadi orang hebat, Pika justru menyesal," lanjut Pian dengan wajah tanpa sa
Diam selama satu menit. Akhirnya gelak tawa Ibu pecah.
"Yhaaa, Bang Pian malah curhat." Dimas ikut tertawa.
Tak lama suara mobil terdengar di depan rumah.
"Kayaknya itu Mbak Pika udah pulang, Bang."
Pian langsung berpamitan sekaligus mengucapkan terima kasih kepada Ibu karena sudah diajak nonton India bareng. Terbirit-birit Pian keluar dari rumah. Dan mengernyit ketika melihat sebuah mobil familier terparkir di depan rumah.
Pian mendekati mobil tersebut karena nggak ada pergerakan sama sekali yang muncul dari pintu mobil. Pian mengintip ke jendela mobil dan membelalakan mata terkejut.
Dengan mata kepalanya sendiri Pian melihat Tristan dan Pika ciuman di dalam mobil. Pian langsung menggedor jendela mobil. Geram.
"Woy keluar kalian!!!"
Tak berapa lama Tristan keluar dari mobil. Pian langsung menghampiri Tristan dan mencengkram kuat kera baju Tristan. Pian bisa saja memukul Tristan habis-habisan, tapi dia masih berusaha mengontrol emosinya.
"Udah gila kau, Tris? Udah nggak punya otak lagi?" gigi Pian bergemelutuk.
Tristan hanya bisa menundukan kepala tanda menyesal. "Maaf, Yan. Aku nggak pernah bermaksud merebut Pika dari kamu."
"Iya, aku tau. Kau memang teman yang paling setia." Pian tersenyum sinis.
"Apa-apaan sih, Yan. Lepasin Tristan, nggak!" Pika menarik tangan Pian dari Tristan.
Pian menarik napas dalam-dalam. Berusaha mengumpul segala kesabarannya. Pian tidak ingin berubah kalut di depan cewek yang dia suka dan nggak ingin memukul sahabatnya sendiri. Senyum berlesung pipit kembali Pian perlihatkan.
"Habis dari mana kalian? Kenapa belum pulang? Gara-gara nungguin Agen Pika, Pian jadi ikut nonton film India sama Ibu. Terus pake acara nangis-nangisan sekaligus." Pian mencairkan Suasana.
Tristan dan Pika masih bersikap tidak enak hati. Tapi mengikuti alur yang dimainkan oleh Pian.
"Habis bawa Pika makan. Dia kelaparan gara-gara ekskul paskibra sampai malam begini." Tristan menjelaskan.
"Oh..." kemudian Pian mengambil ciki-ciki yang sempat terjatuh di lantai. "Ini buat Agen Pika." Pian mengulurkan kepada Pika.
Pika bengong. "Apaan nih?"
"Karena bunga mawar udah terlalu mainstream. Iya nggak, Tris?" Pian menaikan sebelah alisnya seolah menyindir Tristan.
Tristan hanya tersenyum kaku.
"Thanks." Pika menerimanya. "Bentar ya, gue mau ambil jaket lo dulu."
Pian menarik tangan Pika. Mencegat langkah cewek itu. "Nggak perlu Agen. Simpan aja dulu sama Agen buat sesuatu yang bisa dirindukan dari Pian."
Pika hanya diam. Menghela napas berat. Mengambil sesuatu di dalam tasnya dan memberinya kepada Pian.
"Kalau gitu, gue mau ngembaliin surat lo yang kemarin aja."
"Kenapa Agen Pika? Agen Pika nggak suka? Pian tau kalau tulisan Pian itu memang jelek."
"Bukan. Gue bukan nggak suka sama tulisan ceker ayam lo, gue cuma nggak suka sama isi suratnya."
"Memangnya diisi sama apa? Suratnya nggak pake saos sama kecap kok, kalau mau nambah kuah juga boleh. Baksonya tiga biji aja ya, Mang!"
Pika melotot. Pian menyeringai.
"Eheheheh. Piss girl, Pisss! Kalau mau pipis langsung di wc aja."
"Gue serius Pian!!!!"
Pian menutup mulutnya. Pika menghela napas lelah.
"Thanks udah mengutarakan perasaan lo selama ini ke gue." Saat Pika berbicara seperti itu, Tristan memasang wajah terkejut.
"Thanks juga udah suka sama gue," lanjut Pika lagi.
"Tapi.." jeda dua detik. "Sorry banget, Yan, sorry karena bukan lo orangnya." Pika mengambil napas.
"Bukan lo yang selama ini gue suka."
Jantung Pian sudah berdebar tak keruan. Namum responnya masih terlihat santai dan tenang.
"Tristan orangnya. Tristan yang selama ini gue suka."
Pian terpaku di tempat. Sedangkan Tristan langsung melebarkan kelopak matanya saat menatap Pika. Ikut tercenung
"Memangnya syair Raja Semesta yang selama ini Pian kasih kurang ya? Atau Pika mau dengar yang lebih hebat lagi?"
"No!" Pika berseru kencang. "Gue nggak suka semua syair-syair yang lo ucapin di depan anak-anak buat gue. Kalau lo mau tau, semua hal itu benar-benar bikin gue malu.." Pika menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Takut Pian tersinggung dengan kejujurannya. "Lo sama sekali bukan tipe gue, Yan. Sorry."
Pika mengembalikan surat Pian. Menaruh suratnya di atas telapak tangan Pian. Kemudian menarik tangan Tristan. Hendak melangkah pergi.
"Tunggu Agen Pika... " Pian memanggil.
Berhadap-hadapan dengan Pika. la mengambil tangan Pika, dan mengembalikan suratnya ke telapak tangan cewek itu. "Jangan dibuang suratnya. Simpan surat ini bersama surat-surat yang pernah Pian kirim sama kamu. Karena di setiap surat pasti ada moment tersendiri, dan di setiap kata selalu ada makna."
Pian merogoh saku celananya dan kembali memberi Pika sepucuk surat. Pian sudah menyiapkan hal ini jauh-jauh hari jika akhirnya Pian nggak berhasil meluluhkan hati Pika.
"Ini surat terakhir dari Pian. Setelah baca surat ini, mungkin Agen Pika sudah bisa hidup dengan tenang. Cuma barisan kalimat dan puisi ini yang Pian punya. Mungkin suatu hari nanti akan Pika lupakan atau untuk dikenang."
Lalu mata Pian melirik ke arah Tristan, menepuk pundak cowok itu.
"Semoga kamu bisa menjaga Pika dengan baik, Tris. Melebihi aku." Pian mendekatkan bibirnya ke telinga Tristan untuk berbisik. "Jangan melawak, Pika nggak suka ketawa."
Akhirnya Pian pergi menaiki motornya. Melesak jauh meninggalkan rumah Pika dengan kecepatan tinggi.
Nggak ada hal yang lebih menyakitkan lagi ketika orang yang kamu suka tidak pernah melihatmu tapi malah menyukai orang lain.
Dan nggak ada yang lebih gila lagi karena orang lain itu adalah sahabatmu sendiri.
Meskipun bersikap santai. Pian tidak menyembunyikan perasaan luka di dalam hatinya. Perasaan luka yang tidak kasatmata dan tidak berdarah. tapi kadar kesakitannya sungguh luar biasa.
Pada akhirnya, atau untuk kesekian kalinya. Jatuh cinta Pian yang ketiga gagal. Sekuat apa pun Pian berusaha, ternyata menaklukan hati Pika tidak semudah yang Pian bayangkan selama ini. Sekarang Pian sudah bisa mengangkat keduantangannya sambil berkata: Im Done.
Selesai untuk segala sesuatu yang berurusan dengan Pika. Hanya ada selembar surat terakhir yang diberikan oleh Pian.
Mungkin saya gagal bikin kamu selalu tertawa. Tapi paling tidak, saya nggak bikin kamu terluka. Dan kalaupun saya yang terluka, itu memang sudah nasib saya. But, ifyou're trying to break my heart. It's workin.
Dan mungkin juga. Sudah saatnya saya berhenti mengagumi kamu, berhenti memuji kamu, berhenti menyukai kamu, berhenti bikin kamu tertawa, berhenti menggenggam erat tarngan yang seharusnya bukan milik saya.
Tapi bukan berarti saya harus benar-benar berhenti memikirkan kamu sampai di sini. Saya hanya sedang berpikir panjang dan mencari tahu gimana cara merebut kembali sesuatu yang seharusnya tercipta untuk saya.
Last letter. Beloved Pian.
SALAM MAK PIAN