The Vault membawa pembaca ke dalam dunia gelap dan penuh rahasia di balik organisasi superhero yang selama ini tersembunyi dari mata publik. Setelah markas besar The Vault hancur dalam konflik besar melawan ancaman luar angkasa di novel Vanguard, para anggota yang tersisa harus bertahan dan melanjutkan perjuangan tanpa kehadiran The Closer dan Vanguard yang tengah menjalankan misi di luar angkasa.
Namun, ancaman baru yang lebih kuno dan tersembunyi muncul: Zwarte Sol, sebuah organisasi rahasia peninggalan VOC yang menggabungkan ilmu gaib dan teknologi metafisik untuk menjajah Indonesia secara spiritual. Dengan pemimpin yang kejam dan strategi yang licik, Zwarte Sol berusaha menguasai energi metafisik dari situs-situs kuno di Nusantara demi menghidupkan kembali kekuasaan kolonial yang pernah mereka miliki.
Para anggota The Vault kini harus mengungkap misteri sejarah yang tersembunyi, menghadapi musuh yang tak hanya berbahaya secara fisik, tapi juga mistis, dan melindungi Indonesia dar
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kegelisahan dan Keraguan
“Apa kita benar-benar siap?”
Suara itu keluar dari Dira sendiri, pelan, tapi cukup untuk membuat ruangan utama markas The Vault sunyi.
Dia duduk di ujung meja taktis, tangan mengusap wajah yang letih. Di layar, titik merah bernama Borobudur masih menyala, seolah mengejek keberadaan mereka semua.
Selama ini, The Vault menangani koruptor, kartel, organisasi gelap yang masih bisa dilacak dan dijebak. Tapi yang ini? Organisasi bentukan VOC? Pake sihir dan teknologi gaib Eropa?
Rasanya seperti disuruh melawan hantu penjajahan dengan pisau dapur.
Di pojok ruangan, Bagas belum bicara sejak tadi. Dia hanya mengaduk kopinya yang sudah dingin. Matanya sayu, tapi tetap fokus.
“Apa kita benar-benar bisa, Gas?” tanya Dira, kali ini lebih lirih. “Kita bukan Vanguard. Kita bukan The Closer. Kita... cuma kita.”
Bagas tidak menjawab. Hanya meneguk kopi, lalu menatap langit-langit.
“Aku udah lama nanya itu juga, Dir,” katanya akhirnya. “Tapi kalau nunggu siap terus, kita nggak akan pernah gerak.”
Rivani berdiri. Mendadak.
“Maaf ya, tapi ini semua mulai ngaco,” katanya. “Dulu kita ngelawan manusia. Sekarang kalian nyuruh kita hadapin penyihir Belanda dari tahun entah berapa?”
Dira menatap Rivani. “Aku tahu ini berat.”
“Berat?” Rivani mendengus. “Dulu aku gabung Vault karena pengen ngerasa berguna. Bantu orang. Tapi sekarang... aku pengen hidup normal. Nikah. Buka bisnis kecil. Gitu doang.”
Tak ada yang langsung membalas. Noval dan Rendy hanya melirik satu sama lain. Intan menunduk, seperti sedang menelan sesuatu yang pahit.
Dira berdiri juga. “Kita semua punya mimpi, Riv. Tapi kalau kita mundur sekarang, siapa yang akan hadapi mereka?”
“Aku nggak peduli sama Zwarte Sol! Aku peduli sama nyawaku sendiri!” Rivani membalas cepat, suaranya nyaris gemetar. “Aku capek, Dir. Capek pura-pura kuat.”
Diam. Lama.
Sampai Yuni bersandar ke tembok, tangan menyilang. “Kalian mau tahu rahasia kecil?”
Semua menoleh.
“Aku juga capek. Aku juga pengen hidup normal. Tapi tahu nggak kenapa aku tetap di sini?” katanya santai, tapi nadanya menusuk.
Tak ada yang menjawab.
Yuni mendorong tubuhnya berdiri penuh. “Karena orang kayak kita... gak akan pernah bisa normal. Kita udah terlalu tahu banyak hal. Terlalu lihat terlalu banyak kegelapan. Dan kalau kita pura-pura nggak lihat... kegelapan itu bakal datang ke rumah kita juga.”
Rivani menggigit bibir. Matanya mulai berkaca-kaca.
Yuni menatap Dira. “Lo takut? Bagus. Gue juga. Tapi kalau semua orang nunggu Vanguard... ya negara ini udah jadi museum sihir sejak kemarin.”
Bagas tersenyum tipis. “Kata Taki dulu, yang bikin lo pemimpin bukan lo lebih berani... tapi lo gak kabur duluan.”
Dira menarik napas panjang. Lalu duduk lagi.
“Oke,” katanya pelan. “Besok kita berangkat. Tapi malam ini... kita jujur dulu. Kalau ada yang mau mundur, ini waktunya. Gue gak akan maksa.”
Semua saling berpandangan.
Rendy mengangkat tangan. “Gue tetap ikut. Meskipun... jujur, gue takut juga.”
Intan tersenyum lemah. “Aku nggak tahu bisa apa di medan tempur. Tapi aku nggak akan ninggalin kalian.”
Noval mengangguk. “Satu kapal.”
Rivani menatap mereka semua. Lalu duduk kembali, diam, tapi matanya berkata lebih banyak dari mulutnya.
Dira mengangguk. “Terima kasih.”
Tiba-tiba, suara Arka masuk, tajam.
“Aktivitas metafisik di Sulawesi Tengah meningkat signifikan. Gerakan di bawah struktur utama. Pola kuno mulai aktif.”
Bagas berdiri.
“Kayaknya mereka tahu kita datang.”
Yuni membuka sarung keris lipatnya perlahan.
“Mereka bisa tahu kita datang,” katanya. “Tapi mereka nggak tahu siapa yang mereka ajak ribut.”
Bersambung.