“Perut itu harusnya di isi dengan janin, bukan dengan kotoran mampet!”
Ara tak pernah menyangka, keputusannya menikah dengan Harry—lelaki yang dulu ia percaya akan menjadi pelindungnya—justru menyeretnya ke dalam lingkaran rasa sakit yang tak berkesudahan.
Wanita yang sehari-harinya berpakaian lusuh itu, selalu dihina habis-habisan. Dibilang tak berguna. Disebut tak layak jadi istri. Dicemooh karena belum juga hamil. Diremehkan karena penampilannya, direndahkan di depan banyak orang, seolah keberadaannya hanyalah beban. Padahal, Ara telah mengorbankan banyak hal, termasuk karier dan mimpinya, demi rumah tangga yang tak pernah benar-benar berpihak padanya.
Setelah berkali-kali menelan luka dalam diam, di tambah lagi ia terjebak dengan hutang piutang—Ara mulai sadar: mungkin, diam bukan lagi pilihan. Ini tentang harga dirinya yang terlalu lama diinjak.
Ara akhirnya memutuskan untuk bangkit. Mampukah ia membuktikan bahwa dia yang dulu dianggap hina, bisa jadi yang paling bersinar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Beberapa hari setelah memesan matrial bangunan—Ara berdiri di sudut halaman rumah Ibu Farida. Pandangannya tertuju pada area kosong di dekat pagar, tempat yang selama ini hanya digunakan untuk menjemur pakaian. Tapi di mata Ara, tempat itu cukup untuk memulai sesuatu yang sederhana, namun berarti.
Sejak keluar dari rumah sang suami, Ara tinggal bersama Wulan dan sesekali pulang untuk menjenguk sang ibu.
Beberapa hari terakhir, Ara sering memperhatikan langkah kaki Ibu Farida yang tak lagi tegap seperti dulu. Ada pincang samar tiap kali sang ibu pulang dari menjajakan kue keliling. Keringat yang menetes, bahu yang turun karena beban keranjang dagangan—semuanya tak lagi bisa ia abaikan.
“Ar, kamu mau buka kedai—mau resign kerja, ya?” tanya Bu Farida di minggu pagi itu.
“Ya enggak lah, Bu. Ini kedai, Ara buat khusus untuk Ibu.” Jawab Ara sambil menunjukkan sketsa kasar kedai kecil yang ingin ia bangun di halaman.
Ibu Farida sempat terdiam. “Untuk Ibu?”
“Iya,” Ara tersenyum. “Untuk Ibu. Biar Ibu nggak capek-capek lagi ngider kue. Ara buat ini, untuk nambah-nambah pemasukan Ibu, sekalian untuk aktivitas ibu sehari-hari biar nggak bosen. Kue-kue titipan, bisa di taroh di kedai. Kita buka lapak kopi kecil-kecilan juga, Bu. Di depan gang itu kan ada bengkel tuh, pasti laku deh.”
Bibir Bu Farida bergetar, air mata haru pun menetes. Lekas ia menyeka dengan ujung jilbabnya. Ia tak mampu mengucapkan sepatah kata.
Ara menggenggam tangan ibunya. “Kok Ibu nangis? Senyum dong. Ara perhatiin, kaki Ibu kayak nahan sakit. Nanti sore kita berobat, ya.”
“Nggak usah, Ar. Nanti uang kamu habis. Gak apa-apa, Ibu masih bisa jalan kok. Hanya sakit sedikit,” tolak Bu Farida sungkan. “Besok juga sembuh.”
“Ara nyari duit memang sengaja buat dihabisin sama Ibu.” Ara menoel dagu sang ibu. Bak menggoda anak gadis. “Udah dari kapan kaki Ibu sakit?”
Bu Farida berusaha mengingat. “Semingguan ada lah kayaknya.”
Tak lama setelah percakapan itu, dua tukang bangunan datang, membawa material sederhana: triplek, balok kayu, dan seng bekas yang disarankan oleh pemilik toko bangunan yang baik hati.
Ara berdiri mengamati proses pengerjaan, sambil sesekali memastikan ukuran dan tata letaknya pas.
Sore harinya, Wulan datang membawa plastik berisi snack dan minuman dingin. “Buat nyemil para tukang. Dan buat lo juga, biar semangat menuju janda.”
Ara tertawa kecil. “Lo juga otewe jadi janda keleus!”
Wulan ikutan tertawa. Wanita yang sudah menghadiri sidang pertama perceraiannya itu begitu semangat untuk menyambut gelar baru.
“Semoga, kegagalan kita ini—nggak ngebuat kita jadi trauma untuk berumahtangga kembali ya, Ar,” lirih Wulan.
“Iya, Lan. Gue gak takut sih kalau memang harus nikah lagi kedepannya ... sumpah gue nggak takut nikah, gue cuma takut nikah sama orang yang gak tepat lagi,” Ara tak kalah lirih. “Itu doang.”
Wulan mendengus pelan. “Lo bener, Ar. Apalagi, menikah itu kalau bisa untuk seumur hidup. Sehari aja bakal kerasa lama banget kalau dapet modelan kentut kayak kemarin—apalagi harus ngejalanin seumur hidup. Nggak kebayang gue. Eh, woy, kenapa jadi gue yang takut nikah lagi ya?!”
Ara cekikikan. Dua tukang yang sedari tadi menguping pun turut tersenyum sambil membelakangi Wulan.
“Eh, jadi gimana hasil interviewnya?” tanya Ara. “Keterima?”
Wulan menggeleng. “Belum rezeki. Ya anggap aja lah, tempat itu bukan tempat yang tepat buat gue.”
Ara manggut-manggut setuju.
...****************...
Matahari pagi menyinari halaman rumah yang kini tampak sedikit berbeda. Kedai kecil berbahan kayu itu berdiri sederhana, namun bersih dan rapi. Di depannya, spanduk kecil bertuliskan “Warung Farida – Sembako & Jajanan Rumahan” terikat dengan tali rafia, hasil cetakan murah dari jasa sablon dekat pasar.
Ibu Farida mengenakan daster bunga-bunga dan celemek lusuh yang masih ia simpan sejak dulu berdagang kue. Di atas etalase, jajanan buatan tangannya—kue cucur, risol, bolu kukus—tersusun rapi dalam wadah plastik. Ada juga beberapa kue tradisional lainnya, titipan dari tetangga. Di rak belakangnya, terjejer minyak goreng, mie instan, kopi, sabun cuci, dan kebutuhan pokok lain yang dibeli dari sebagian gaji pertama Ara—dan sebagian lainnya hasil gaji dari menulis novel online.
“Bismillah ya, Bu ....” Bisik Ara sebelum menggantungkan papan ‘Buka’ di depan kedai.
Tak lama, tetangga pertama datang. Bu Lilis, yang rumahnya hanya sepelemparan batu.
“Wah, akhirnya jualan di rumah juga, Bu Ida? Bagus! Saya beli cucurnya ya, dua. Anak saya paling suka kue cucur buatan Bu Ida.”
Ibu Farida tersenyum lebar, terlihat gugup namun bahagia. “Iya Bu, ini idenya Ara. Katanya, biar saya nggak keliling-keliling lagi.”
Beberapa menit kemudian, datang Pak Rojak, pensiunan guru yang tinggal di ujung gang. “Saya beli kopi saset dua sama sabun cuci, Bu Ida.”
Bu Farida pun melayani dengan penuh semangat. Namun tak semua sambutan datang dengan kata-kata manis.
Dari seberang jalan, terdengar suara Bu Sumiyati, tetangga yang terkenal suka nyinyir, berbicara dengan nada tinggi kepada seseorang di ponselnya.
“Halah, baru kerja sebentar aja udah buka warung. Sok-sokan. Lagian sembako begini mah udah banyak yang jual. Nggak laku juga palingan!”
Ara mendengar, tapi memilih diam. Ia hanya merapikan jajanan di etalase. Ibu Farida sempat terlihat canggung, namun Ara menepuk pelan punggung tangan ibunya.
“Biarin aja, Bu. Kita fokus cari cuan. Orang nyinyir kayak gitu mah gak usah diladeni, anggep aja itu orang lagi kurang uang belanja.”
Bu Farida pun mengangguk setuju.
Hari itu, meski belum ramai, kedai Bu Farida mendapatkan sambutan hangat dari pelanggan-pelanggan baru.
Tak seberapa memang uangnya, tapi cukup untuk membuat hati Ibu Farida tenang—dan membuat Ara yakin, langkah kecil mereka sudah berjalan ke arah yang benar.
...****************...
Satu bulan berlalu.
Hari-hari yang dilalui Ara terasa panjang dan melelahkan. Setiap langkah menuju kebebasan bukan tanpa luka.
Proses perceraiannya tak semudah yang ia kira. Harry—yang dulu memohon-mohon agar tidak ditinggalkan—berubah menjadi batu sandungan paling menjengkelkan. Ia hadir di setiap persidangan hanya untuk membuat ribut, menyanggah setiap pernyataan Ara, bahkan sampai memutar balik fakta.
Ara datang dengan wajah lelah, berkali-kali. Ditemani secarik kertas, tumpukan bukti, dan kepala yang nyaris retak oleh tekanan. Tapi ia tidak mundur. Setidaknya tidak untuk kali ini.
Dia hanya ingin satu hal: kebebasan.
Dan hari itu, akhirnya datang juga.
Di ruang sidang yang dingin dan bergema, hakim mengetuk palu dengan tegas.
“Dengan ini, gugatan penggugat dikabulkan. Pernikahan antara Arawinda dan Harry Mujahidin resmi dinyatakan berakhir.”
Ara tidak menangis. Ia hanya menarik napas dalam, lalu menghembuskannya pelan. Bahunya menurun perlahan, seolah seluruh beban yang bertengger selama bertahun-tahun kini terangkat.
“Alhamdulillah, semoga setelah ini langkahku menjadi berkah.”
Ia melangkah keluar dari ruang sidang dengan langkah ringan, bibirnya penuh dengan senyuman. Ia merasa benar-benar bebas.
Namun, berbeda pula dengan Harry. Pria itu masih meraung-raung di dalam ruangan sidang. Ia tak peduli kala hakim menegurnya berkali-kali.
“Araaaa, aku nggak akan lepasin kamu!”
*
*
*
pinisirinnnnnn🤭🤭🤭