Nayla Arensia hanyalah gadis biasa di kota Valmora hingga suatu malam, dua pria berpakaian hitam datang mengetuk pintunya. Mereka bukan polisi, bukan tamu. Mereka adalah utusan Adrian Valente, bos mafia paling kejam di kota itu.
Ayah Nayla kabur membawa hutang seratus ribu euro. Sebagai gantinya, Nayla harus tinggal di rumah sang mafia... sebagai jaminan.
Namun Adrian bukan pria biasa. Tatapannya dingin, kata-katanya tajam, dan masa lalunya gelap. Tapi jauh di balik dinginnya, tersembunyi luka yang belum sembuh dan Nayla perlahan menjadi kunci untuk membuka sisi manusiawinya.
Tapi bisakah cinta tumbuh dari ancaman dan rasa takut?
Atau justru Nayla akan hancur sebelum sempat menyentuh hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bakwanmanis#23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Jejak Abu dan Bayangan
Kabut pagi menyelimuti bandara kecil di Kotor, Montenegro, ketika Nayla turun dari jet pribadinya. Angin dari pegunungan Dinaric Alps menyentuh kulitnya seperti bisikan rahasia masa lalu. Ia mengenakan mantel hitam panjang dengan syal abu-abu yang membalut lehernya, menutupi luka yang belum sembuh bukan secara fisik, tapi jiwa.
“Kota ini menyimpan jawaban,” bisiknya pelan.
Ivan dan dua pengawalnya mengikuti dari belakang. Mereka tahu, Nayla kini bukan hanya wanita yang sedang membalas dendam. Dia adalah badai yang memutarbalikkan dunia bawah tanah demi satu nama Adrian.
Setelah menelusuri beberapa kontak di pelabuhan tua dan bar gelap, mereka menemukan nama yang dicari—Marko Jelenić, seorang mantan informan pasukan bayaran yang kini tinggal di reruntuhan benteng tua di atas bukit St. John. Konon, dia pernah bekerja untuk The Gray Falcon, kelompok pembunuh legendaris yang diduga terlibat dalam kematian Adrian.
Nayla memutuskan untuk datang sendiri.
______
Benteng tua itu sunyi. Langit mendung menggantung rendah. Suara langkahnya menggema di lorong-lorong batu yang lembap.
Marko duduk di dalam sebuah ruangan berisi peta-peta lama dan senjata tua. Pria itu kurus, dengan rambut memutih dan wajah yang mencerminkan usia dan dosa.
“Aku tahu suatu hari akan ada yang datang mencariku,” gumamnya tanpa menoleh.
“Jawab satu hal,” ujar Nayla, suaranya datar. “Apa hubunganmu dengan kematian Adrian?”
Marko perlahan menoleh, matanya merah dan lelah. “Adrian? Laki-laki yang menyamar sebagai pedagang berlian di Dubrovnik?”
Nayla mengepalkan tangan.
Marko menghela napas panjang. “Dia bukan target. Dia... menolong seorang gadis yang dikejar jaringan kami. Dia menghalangi operasi besar. Dan ketika tahu siapa kami, dia kabur.”
“Tapi kalian tetap mengejarnya.”
“Kami tidak tahu siapa dia sebenarnya. Tapi bos kami bilang… dia terlalu tahu. Terlalu peduli. Dan di dunia ini, kepedulian adalah kelemahan mematikan.”
Nayla menatap lurus mata pria itu. “Siapa bos kalian?”
Marko ragu. Ia menggeleng pelan. “Aku tak bisa. Jika kusebutkan namanya, aku akan mati… bahkan dalam tidurku.”
Nayla menarik pistol kecil dari balik mantel dan meletakkannya di meja.
“Bicara, atau aku pastikan kau tidak tidur malam ini.”
Marko tertawa getir. “Kau seperti dia. Tatapan kalian sama. Tegas. Penuh luka. Dia mencinta...”
“Jangan sebut namanya jika kau hanya ingin mengingatkan aku akan luka.”
Hening.
Akhirnya, Marko menunduk. “Namanya Viktor Kovalen. Dia adalah pendiri The Gray Falcon. Dulu dia agen rahasia, sekarang dia membentuk jaringan pembunuh lintas negara. Dia tak pernah terlihat. Hanya bayangan. Tapi dialah yang memerintahkan pembunuhan Adrian.”
Napas Nayla tercekat. Viktor. Nama itu mulai muncul dalam penyelidikan beberapa minggu terakhir. Tapi kini resmi. Targetnya jelas.
“Apa motifnya?” tanya Nayla lirih.
Marko terdiam lama. “Karena Adrian menolak tawaran untuk bergabung. Dan karena Adrian... terlalu dekat denganmu.”
______
Malam harinya, Nayla berdiri di balkon hotelnya, menatap kota tua Kotor yang bersinar dalam keheningan. Di tangannya, berkas-berkas tentang Viktor Kovalen yang ia dapat dari Marko. Semuanya mengarah pada satu kota Prague.
“Dua tahun aku mencari, dan jawaban ternyata sesingkat ini,” bisiknya, nyaris seperti mengutuk.
Ivan datang dengan secangkir kopi panas. “Kita sudah mendapat nama. Apa langkah selanjutnya?”
Nayla mengambil cangkir itu, menatap uap yang mengepul. “Kita tak akan menyerang. Belum. Kita akan masuk perlahan. Infiltrasi. Bukan hanya Viktor... tapi semua yang ikut mengambil Adrian dari hidupku.”
Matanya menyala. “Mereka akan tahu bagaimana rasanya kehilangan segalanya.”
______
Malam itu, Nayla membuka brankas di kamar hotel. Di dalamnya ada kotak kecil berisi surat lama surat yang ditulis Adrian sebelum mereka berpisah terakhir kali.
"Jika suatu hari aku menghilang, jangan cari aku. Tapi jika kau tetap memilih mencariku… maka carilah kebenaran, bukan balas dendam. Karena kebenaran... akan menuntunmu pulang, Nay."
Tangannya bergetar. Air matanya jatuh membasahi huruf-huruf yang dulu ditulis dengan penuh cinta.
“Terlambat, Adrian…” suaranya serak. “Aku tidak bisa pulang kalau tanpa kau.”