Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Halaman Dua Puluh Delapan
***
Sabtu sore yang seharusnya menjadi waktu tenang, kembali diganggu oleh kenyataan yang tak bisa ia hindari. Jam menunjukkan pukul 17.02 ketika ponsel Hafiz bergetar di atas meja kopi di ruang tengah apartemennya. Nama Mama kembali muncul di layar, dan untuk beberapa detik Hafiz hanya memandangnya tanpa niat mengangkat.
Namun, getaran itu datang lagi. Kali ini disusul suara notifikasi pesan yang membuat dadanya makin berat.
Mama: “Pulang sekarang, Hafiz. Jangan banyak alasan. Malam ini kita ada makan malam penting dengan keluarga Airin.”
Mata Hafiz menutup perlahan, lalu ia menjatuhkan tubuhnya ke sandaran sofa dengan satu desahan panjang yang tertahan. Tangannya mengusap wajahnya sendiri dengan kasar, seperti ingin menghapus lelah yang tak berujung.
Ia tahu—sekeras apa pun ia menghindar, keluarganya tak akan pernah berhenti menekan. Dan kali ini, mungkin hanya untuk menenangkan badai sesaat, ia harus menuruti kemauan mereka.
Tapi tidak dengan hati.
“Baik, Ma,” jawabnya singkat lewat pesan. Jempolnya bahkan terasa berat menekan layar. Ia bangkit dari sofa, berjalan pelan menuju kamar, membuka lemari dan menarik kemeja putih serta celana bahan warna abu gelap.
Semua gerakannya terasa seperti robot. Tidak ada gairah. Tidak ada semangat. Bahkan saat ia melihat pantulan dirinya di cermin, Hafiz hampir tidak mengenali siapa pria dengan mata sayu dan wajah kosong itu.
Setelah bersiap, Hafiz turun ke basement, masuk ke mobil dan mengemudi sendiri menuju rumah orang tuanya. Lampu-lampu kota mulai menyala, tapi tidak satupun dari mereka mampu menghangatkan suasana hatinya.
Dalam perjalanan, pikirannya terus berkecamuk.
"Kalau saja aku bukan anak dari orang banyak harta... kalau saja aku dilahirkan dalam keluarga sederhana, mungkin aku sudah tinggal di kota kecil, buka usaha kopi, hidup biasa saja, tapi tenang."
Ia meremas kemudi kuat-kuat. Pandangan kosong menatap jalan yang panjang. Rasanya... ia ingin kabur. Pergi jauh. Memulai dari nol. Menjadi orang asing di kota baru, tanpa nama besar, tanpa harapan orang tua yang mengekang.
Satu jam kemudian, Hafiz tiba di rumah besar orang tuanya. Di depan pagar besi tinggi, penjaga sudah mengenalnya dan langsung membukakan jalan.
Saat ia memasuki ruang tamu, suara tawa langsung menyambutnya. Terdengar akrab. Terlalu akrab—karena suara itu milik Airin dan ibunya yang sedang berbincang hangat dengan Bu Farhana di ruang makan.
“Anakku datang,” ucap Bu Farhana dengan senyum yang dibuat-buat, seolah menyambut seorang pahlawan perang yang pulang.
Hafiz hanya mengangguk kecil, lalu mendekat dan mencium tangan Mamanya.
“Selamat malam, Hafiz,” sapa Airin sopan
“Selamat malam,” jawab Hafiz singkat.
Pak Fadlan muncul dari arah dapur dengan ekspresi canggung. Tidak seperti biasanya. Sejak beberapa kejadian terakhir, Hafiz bisa melihat bahwa ayahnya sebenarnya tidak nyaman dengan tekanan istrinya, tapi ia juga tidak pernah cukup kuat untuk membela Hafiz secara terbuka.
Acara makan malam itu berjalan seperti drama yang dipaksakan.
Airin sesekali menyuapkan makanan ke piring Hafiz, yang hanya ia sentuh sedikit. Bu Farhana terus memuji Airin, kepribadian Airin, bahkan cara duduk Airin. Semua terdengar seperti propaganda.
“Kalau kalian sudah bertunangan nanti, Mama mau kita buat pesta kecil saja dulu,” kata Bu Farhana tiba-tiba, memotong percakapan ringan dan membuat suasana menjadi sedikit kaku.
Hafiz meletakkan sendok dan garpunya. Ia menatap ibunya lama. Lalu bergeser memandang Airin, yang hanya tersenyum manis, seolah tidak sadar bahwa semua ini berjalan sepihak.
“Ma,” ucap Hafiz pelan, “boleh nggak, malam ini... kita makan aja. Nggak bahas hal lain dulu?”
Bu Farhana sempat terdiam. Tapi kemudian ia tertawa kecil.
“Kamu memang keras kepala dari kecil, Hafiz. Tapi Mama ngerti. Kamu cuma butuh waktu.”
Hafiz tidak menanggapi. Ia kembali memandang makanannya yang sudah dingin. Di pikirannya hanya ada satu hal—Serena.
Wajahnya. Senyumnya yang tenang. Caranya bicara yang tidak dibuat-buat. Sikapnya yang sederhana, jujur, dan tulus. Serena tidak pernah memaksa. Tidak pernah meminta lebih dari yang Hafiz mau beri. Tapi justru karena itu, ia begitu bermakna.
Malam itu, makan malam terasa seperti siksaan. Setiap detik di meja makan rumah itu, mengikis sabar Hafiz sedikit demi sedikit.
Selesai makan, Hafiz langsung pamit tanpa menunggu penutupan acara.
“Ma, Pa... aku capek. Aku pulang dulu.
“Nginep aja disini,” sahut Bu Farhana.
“Besok masih ada kerjaan. Maaf,” jawab Hafiz datar.
Tanpa menunggu persetujuan, ia berdiri, menyapa sopan orang tua Airin, dan berjalan cepat ke mobilnya.
Begitu masuk mobil dan menutup pintu, Hafiz menyalakan mesin dan menginjak gas. Tangannya yang menggenggam setir sampai bergetar karena menahan amarah.
Matanya terasa panas, bukan karena tangis... tapi karena terlalu muak.
Muak dipaksa menjadi orang lain.
Muak hidup untuk memenuhi ambisi orang tuanya.
Muak karena harus menunggu kesempatan untuk sekadar... bernapas.
.
Minggu pagi datang dengan cahaya matahari yang hangat menyusup melalui sela tirai apartemen Hafiz. Tidak seperti biasanya, pagi ini Hafiz bangun lebih cepat dengan hati yang sedikit lebih ringan. Hari ini bukan untuk kantor, bukan untuk pertemuan keluarga, dan bukan untuk mendengar perintah Mamanya. Hari ini hanya untuk satu orang—adiknya tercinta, Hafizah.
Sejak Hafizah memutuskan menginap di rumah Om Andre semalam, rencana keduanya untuk kabur sejenak dari tekanan rumah pun berjalan lancar. Itu ide Hafiz sendiri—agar tidak menimbulkan kecurigaan dari Bu Farhana. Ia tahu persis, jika ibunya tahu mereka akan pergi, maka kemungkinan besar Airin akan diseret-seret ikut serta dengan berbagai alasan yang dibuat seolah ‘kebetulan’.
Pukul tujuh pagi, Hafiz sudah siap. Kaos putih polos, celana jeans, sneakers favorit, dan kacamata hitam. Ia sempat tersenyum sendiri di cermin. Hari ini ia akan menjadi kakak laki-laki biasa, bukan pewaris perusahaan, bukan target perjodohan, dan bukan pria yang harus terus menjaga wibawa.
Ia turun ke basement, masuk ke mobil, dan menyalakan musik pelan selama perjalanan menuju rumah Om Andre. Di sepanjang jalan, ia membayangkan wajah Hafizah yang pasti sudah bersiap sejak pagi, dengan semangat khas anak remaja yang jarang bisa jalan bersama kakaknya.
Dan benar saja.
Begitu mobilnya berhenti di depan rumah Om Andre, gadis kecil berambut panjang itu sudah berdiri di bawah pohon palem kecil sambil memainkan ponselnya. Tas kecil tergantung di pundak, topi bundar menghiasi kepalanya, dan senyum lebarnya menyambut Hafiz seperti mentari pagi.
“Telat lima menit!” seru Hafizah sambil membuka pintu depan.
Hafiz tertawa kecil. “Telat lima menit tuh justru biar kamu nungguin, biar kangen.”
“Alasan,” cibir Hafizah, tapi senyumnya tak hilang. Ia masuk dan langsung duduk nyaman di jok penumpang.
Mereka melaju ke Ancol, membiarkan pagi yang cerah membawa mereka menjauh dari keributan rumah. Musik mengalun pelan dari speaker mobil—lagu-lagu pop ringan yang disukai Hafizah. Mereka menyanyi pelan, tertawa, dan bergantian bercanda sepanjang jalan tol.
“Eh Bang,” kata Hafizah setelah beberapa saat, “Mama nggak tahu kita jalankan?”
“Enggak. Makanya semalam kamu nginep di rumah Om Andre, kan?”
Hafizah mengangguk cepat, lalu mendekat sedikit dan berkata lirih, “Soalnya kalau Mama tahu... pasti deh suruh ajak itu orang...”
Hafiz langsung tertawa. “Airin?”
Hafizah mengangguk lagi, kali ini lebih cepat, lebih ekspresif. “Aku nggak ngerti kenapa Mama suka banget sama dia. Aku tuh kalau lihat dia senyum kayak... palsu banget. Kayak nahan-nahan supaya kelihatan manis.”
Hafiz menoleh sekilas, tertawa makin keras. “Kamu jangan jahat-jahat amat dong.”
“Tapi beneran, Kak! Dia tuh kayak... terlalu dibuat-buat. Aku kalau diajak ngobrol aja males.”
“Padahal kamu biasanya gampang akrab sama siapa aja.”
“Nah itu dia,” Hafizah mengangkat tangan dengan ekspresi seolah baru memecahkan misteri dunia. “Berarti yang salah bukan aku, kan?”
Hafiz tertawa sambil menggeleng. “Enggak, enggak. Kamu bener.”
Di sepanjang jalan menuju Ancol, mereka membahas banyak hal—film yang sedang ramai, rencana Hafizah masuk SMP, hafalan lagu-lagu Korea favoritnya, dan—secara tersirat—kekecewaan Hafiz pada desakan orang tuanya.
“Abang tuh cuma pengen... bisa ambil keputusan sendiri, Zah,” ucap Hafiz saat mereka berhenti sejenak di rest area untuk beli minuman. “Kadang Abang ngerasa kayak... hidup Abang bukan milik Abang.”
Hafizah terdiam. Ia menatap kakaknya lama, sebelum akhirnya berkata pelan, “Makanya tadi aku senang banget Bang Hafiz mau ngajak jalan kayak gini. Rasanya kayak dulu waktu kita kecil. Kak Hafiz bener-bener jadi kakak yang hangat.”
Mata Hafiz melembut. Ia mengacak rambut adiknya.
“Terima kasih ya... buat tetap jadi kamu yang selalu jujur. Bahkan saat semua orang sibuk berpura-pura.”
Setelah itu, mereka kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan. Udara pantai Ancol menyambut mereka dengan angin asin yang menyegarkan. Mereka jalan-jalan di pinggir laut, berfoto bersama, makan siomay dan es kelapa muda, lalu tertawa saat bermain perahu bebek dan basah-basahan di wahana air.
Tidak ada tuntutan.
Tidak ada paksaan.
Hanya dua saudara yang menikmati waktu, tanpa beban gelar, status, atau perjodohan yang mengintai.
Dan di tengah keceriaan itu, Hafiz merasa satu hal yang hilang dari hidupnya selama ini: kebebasan untuk memilih—dan dicintai, tanpa syarat.