NovelToon NovelToon
Ibu Kos Ku

Ibu Kos Ku

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Lari Saat Hamil / Dikelilingi wanita cantik / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: Aak ganz

roni, seorang pemuda tampan dari desa terpencil memutuskan untuk merantau ke kota besar demi melanjutkan pendidikannya.

dengan semangat dan tekat yang kuat iya menjelajahi kota yang sama sekali asing baginya untuk mencari tempat tinggal yang sesuai. setelah berbagai usaha dia menemukan sebuah kos sederhana yang di kelola oleh seorang janda muda.

sang pemilik kos seorang wanita penuh pesona dengan keanggunan yang memancar, dia mulai tertarik terhadap roni dari pesona dan keramahan alaminya, kehidupan di kos itupun lebih dari sekedar rutinitas, ketika hubungan mereka perlahan berkembang di luar batasan antara pemilik dan penyewa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aak ganz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

6

Malam semakin larut, dan suhu semakin dingin terasa karena hembusan angin malam di pantai itu. Namun, Roni dan Miya masih betah mengobrol di depan api unggun yang sudah hampir mati, menyisakan arang yang berpendar samar.

Miya mulai bercerita tentang masa kecilnya yang ternyata pernah tinggal di kampung. Hal itu membuat Roni tertarik mendengarnya.

“Berarti kamu bukan asli dari kota, ya?” tanya Roni penasaran.

“Ya, kami dulu tinggal di kampung. Papa dulu punya usaha ladang. Sampai sekarang sih masih ada, tapi kami pindah ke Jakarta karena papa membangun perusahaan di sana,” jawab Miya.

Miya melanjutkan ceritanya, “Aku dulu punya banyak sekali teman di kampung, dan aku masih merindukan mereka sampai sekarang. Sayangnya, kampung kami sekarang sudah berubah, banyak bangunan kokoh di sana. Teman-teman masa kecilku juga sudah pindah.”

“Mungkin itu ya, alasan kalian bisa menerima aku sebagai sahabat, padahal kita baru kenal satu hari,” ucap Roni.

“Bukan itu alasannya,” kata Miya sambil tersenyum. “Banyak juga kok, orang kampung yang cuek. Kakak Bobi mungkin suka bersahabat denganmu karena kamu asyik orangnya, terbuka, dan gak memandang siapa pun. Soalnya kakak Bobi juga seperti itu.”

“Kamu sendiri ceritain dong kehidupanmu di kampung. Aku pasti senang mendengarnya,” pinta Miya.

Roni tersenyum kecil sebelum menjawab, “Ceritaku sih gak terlalu menarik. Aku gak populer di kampung. Aku jarang bergaul, lebih banyak menghabiskan waktu bekerja di ladang orang untuk mendapatkan uang demi sekolahku. Kalau bukan di ladang, aku menggembala ternak orang lain.”

“Kamu punya saudara? Lalu, di mana orang tuamu sekarang?” tanya Miya, penasaran.

“Aku anak tunggal. Ibuku meninggal waktu aku masih sekolah dasar, dan aku hidup berdua dengan ayahku. Beliau mengajarkan aku arti kehidupan dan bagaimana menjalani hidup dengan baik, sampai akhirnya beliau meninggal waktu aku baru masuk sekolah menengah. Setelah itu, aku benar-benar mencari biaya hidup sendiri. Walaupun begitu, aku gak pernah berpikir untuk berhenti sekolah, meski harus hidup sebatang kara,” jelas Roni, sambil tersenyum untuk menutupi kesedihannya.

Miya yang mendengarkan cerita itu merasa sedih. “Maaf ya, mungkin seharusnya aku gak minta kamu menceritakan kehidupanmu di kampung,” ucapnya dengan nada menyesal.

“Tidak apa-apa. Aku gak sedih kok, lihat aku tersenyum dari tadi. Menurutku, itu memang jalan hidupku. Aku tidak pernah mengeluh atau iri dengan kehidupan orang lain. Aku juga menikmati hidupku yang seperti itu,” balas Roni sambil tersenyum tulus.

Malam semakin larut, dan cuaca semakin dingin. Suara berisik dari tenda Bobi sudah berhenti, sepertinya Bobi dan Seli sudah menyudahi aktivitas mereka.

Roni menunjuk ke langit dan berkata, “Lihatlah bintang itu, Miya. Mereka sangat indah.”

Ia melanjutkan, **“Apakah kamu tahu? Bintang di langit mengajarkan kita tentang keindahan yang tetap bersinar, meski terpisah oleh jarak dan berada dalam gelap. Begitu pula hidup kita; meski penuh tantangan dan dikelilingi kesulitan, kita harus tetap kuat dan bercahaya. Karena sama seperti bintang, keindahan kita muncul ketika kita bertahan di tengah gelapnya cobaan.

Bintang tidak memilih malam yang terang untuk bersinar, ia bersinar di mana pun ia berada. Jadilah seperti bintang, yang kekuatannya tidak ditentukan oleh keadaan, tetapi oleh keyakinannya pada cahaya yang ia miliki.

Setiap bintang di langit punya sinarnya sendiri, kecil atau besar, terang atau redup, semuanya memiliki peran. Begitu pula kita; apa pun kondisi kita, ingatlah bahwa kita memiliki cahaya yang dapat menginspirasi dunia.

Saat gelap menghampiri, lihatlah bintang. Ia tidak mengeluh tentang gelap, tetapi justru bersinar lebih terang. Dalam hidup, biarkan setiap tantangan menjadi alasanmu untuk lebih kuat dan lebih bersinar.

Bintang di langit tak pernah jatuh hanya karena badai. Jadilah seperti bintang—tabah, bersinar, dan selalu memberi harapan, meski dunia kadang terasa gelap.”**

Mendengar itu, Miya tersenyum sambil memandang wajah Roni yang tampak tampan diterangi oleh cahaya api unggun. Entah apa yang Miya rasakan, intinya dia ingin sekali tetap bersama dengan Roni dan menghabiskan waktu bersamanya.

Tanpa disadari, kepala Miya mulai bersandar di pundak Roni. Ketika Roni memandangnya, ia menyadari bahwa Miya telah tertidur. Melihat Miya yang kelelahan dan tertidur di pundaknya, Roni memutuskan untuk menggendongnya masuk ke dalam tenda.

Wajah cantik Miya terlihat bersinar oleh pantulan cahaya bulan, membuat Roni terpesona. Namun, ia hanya tersenyum sambil berkata pelan, “Sungguh indah dan cantik ya parasmu, begitu pula sifatmu yang lembut. Semoga suatu saat kamu bisa mendapatkan pasangan yang selalu membuatmu tersenyum agar kecantikan di wajahmu selalu terpancar.”

Roni menggendong Miya dengan hati-hati, lalu menyelimutinya di dalam tenda. Namun, ketika Roni hendak keluar untuk kembali ke tendanya, Miya tidak mau melepaskan tangannya dari lengan Roni.

Roni mencoba melepaskan genggaman Miya, tetapi Miya tetap memegang erat lengannya. Karena sudah merasa sangat mengantuk, Roni akhirnya memutuskan untuk berbaring dan tidur di samping Miya.

Pagi itu, kicauan burung terdengar merdu, diiringi suara ombak laut dan semilir angin pagi yang lembut di pantai indah itu. Belum ada di antara mereka yang bangun, kecuali Roni.

Roni tampak sibuk menangkap ikan dengan tombak sederhana yang ia buat dari ranting kayu seadanya. Sementara itu, Bobi dan Seli masih tertidur pulas di tenda, saling berpelukan tanpa sehelai kain pun menutupi tubuh mereka.

Hari semakin siang, matahari mulai terasa menyengat tubuh Roni yang masih sibuk berburu ikan. Usahanya sejak pagi tidak sia-sia; ia berhasil mendapatkan cukup banyak ikan dari hasil tangkapannya.

“Sepertinya ini sudah cukup untuk sarapan bersama,” gumam Roni sambil berjalan menepi ke pantai.

Ia meletakkan ikan-ikan hasil buruannya, lalu mulai mencari ranting kayu untuk membuat api yang akan ia gunakan untuk memanggang ikan tersebut.

"Wah, dari mana kau mendapatkan begitu banyak ikan?" tanya Bobi, yang baru saja bangun dan melihat Roni sedang menyalakan api.

“Di laut dong, masa aku pergi ke pasar buat beli?” jawab Roni sambil bercanda.

“Pandai juga kau menangkapnya, banyak lagi,” puji Bobi.

“Ya, lumayanlah. Tadi aku sambil mandi sekalian berburu,” jelas Roni.

“Maaf, aku bangun kesiangan, jadi tidak bisa membantumu,” ucap Bobi sambil duduk di samping Roni untuk membantu memanggang ikan hasil tangkapannya.

“Di mana Miya? Apa dia masih tidur?” tanya Bobi, karena belum melihat adiknya.

“Ya, sepertinya begitu. Kami tidur terlalu larut tadi malam. Kami bercerita panjang lebar,” jawab Roni.

“Semenjak bersamamu, Miya banyak bicara sekarang. Tidak seperti sebelumnya. Dia itu pendiam dan selalu dingin. Sepertinya sekarang dia sudah menemukan teman untuk berbagi cerita,” ujar Bobi sambil menepuk pundak Roni sebagai tanda terima kasih karena berkat Roni, Miya kembali ceria.

“Kalau boleh tahu, kenapa Miya menjadi pendiam? Apa dia memang seperti itu sejak kecil?” tanya Roni dengan rasa penasaran, mengingat saat pertama bertemu Miya, gadis itu begitu pendiam dan sering menunduk sambil memainkan jarinya.

“Tidak. Dulu dia sangat ceria. Tapi sejak kami pindah ke kota, dia selalu murung dan tidak banyak bergaul. Banyak yang ingin mendekatinya, tapi aku selalu melarang mereka. Aku tidak suka dengan pria-pria yang hanya ingin memanfaatkan adikku yang pendiam. Miya itu adik perempuan satu-satunya, jadi aku harus mengenal siapa pun yang menjadi temannya. Apalagi dia masih polos dan belum mengerti kehidupan kota, walaupun kami sudah lama tinggal di sana,” jelas Bobi, memberi tahu tentang kepribadian Miya.

“Lalu, kenapa kamu begitu cepat percaya padaku untuk bisa menemaninya? Padahal, kamu belum tahu sepenuhnya siapa aku,” tanya Roni.

“Aku melihatmu sejak pertama bertemu. Kau sepertinya cocok menjadi temannya. Aku akui, kau memang tampan. Tapi bukan hanya itu, kepribadianmu yang apa adanya membuatku percaya bahwa kau pemuda baik yang bisa menjaga adikku. Aku hanya minta satu hal—buat Miya seperti hidup kembali. Aku dan orang tuaku sudah berkali-kali mencoba membuatnya seperti dulu, tapi kami selalu gagal,” kata Bobi dengan penuh harapan.

Mendengar itu, Roni tidak tahu harus berkata apa. Maksud Bobi masih belum sepenuhnya ia pahami, terutama saat Bobi memintanya untuk selalu menemani Miya.

“Tenang saja, kita akan menjadi sahabat yang baik. Aku justru senang kalian mau menerimaku sebagai sahabat, walaupun aku ini orang miskin,” ucap Roni dengan tulus.

“Sudahlah, kita tidak usah membahas itu lagi. Roni, aku ada pekerjaan untukmu. Apakah kamu mau?” tanya Bobi, mengalihkan pembicaraan, karena ia tahu Roni pasti membutuhkan pekerjaan untuk biaya kuliahnya.

“Boleh, kebetulan sekali aku sangat butuh. Tapi kerja apa itu? Apa saja asal halal,” jawab Roni penuh semangat.

“Nah, kebetulan. Kamu kan pintar di bidang persawahan. Jadi, aku ada pekerjaan untukmu. Untuk sementara, kamu bekerja di gudang ayahku dulu. Tugasnya mengelola penyimpanan hasil panen sawah kami. Bisnis papa sedang berkembang pesat, dan kami memutuskan menambah satu orang lagi di bagian gudang. Kamu sementara di situ dulu, bagaimana?” jelas Bobi.

“Wah, tentu saja saya mau! Kapan saya mulai bekerja?” tanya Roni dengan antusias.

“Nanti saya kabari. Saya harus memberi tahu papa dulu. Kalau kamu sudah siap, tinggal tunggu kabar dariku,” kata Bobi.

“Baiklah.”

Tidak lama kemudian, Miya dan Seli keluar dari tenda. Melihat Seli keluar, Bobi segera menghampirinya dan mengambilkan selendang untuk menutupi lehernya yang terdapat bekas tanda merah akibat perbuatan mereka semalam.

“Tunggu sebentar, ini pakai selendang. Tutupi lehermu,” pinta Bobi. Seli pun langsung mengerti dan menerima selendang itu, lalu memakainya.

1
Mardelis
hal bisa, pasti putuss ditengah, jejejejje
Mardelis
roni roni, baik tapi mental kurang baik, heheheeh
Godoy Angie
Asik banget!
Aak Gaming: terus ikutin ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!