Laura tidak pernah membayangkan pernikahannya akan terasa seperti penjara. Nicholas, suaminya, selalu sibuk, dingin, dan jauh. Di tengah sunyi yang menusuk, Laura mengambil keputusan nekat-menyewa lelaki bayaran untuk sekadar merasa dicintai.Max hadir seperti mimpi. Tampan, penuh perhatian, dan tahu cara membuatnya merasa hidup kembali. Tapi di balik senyum memikat dan sentuhannya yang membakar, Max menyimpan sesuatu yang tidak pernah Laura duga.Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Ketika hasrat berubah menjadi keterikatan, dan cinta dibalut bahaya, Laura dihadapkan pada pilihan: tetap bertahan dalam kebohongan atau hancur oleh kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Rahm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Max
Max membuka pintu penumpang mobilnya, mempersilakan Laura masuk dengan senyum hangat. Laura merasa tersentuh oleh sikapnya; sudah lama sejak seseorang memperlakukannya dengan begitu perhatian.
"Terima kasih," ucapnya sambil membalas senyumnya.
Max menutup pintu setelah Laura duduk, lalu masuk ke sisi pengemudi. Dengan kerlingan nakal, dia berkata, "Untukmu, selalu."
Laura merasa pipinya memanas mendengar kata-kata itu. Dia menatap keluar jendela, mencoba menyembunyikan senyum yang tak bisa ditahannya.
"Kita berangkat?"
Laura menganggukkan kepala.
"Jadi, ke mana kita akan makan siang?" tanya Max sambil menyalakan mesin mobil.
Laura berpikir sejenak. Ada sebuah kafe kecil di tepi kota yang selalu ingin dia kunjungi, tapi Nicholas tak pernah punya waktu. Mungkin ini kesempatan yang tepat.
"Kamu punya saran?" Tanya Laura.
"Bagaimana kalau kita ke Café de la Mer? Aku dengar tempatnya indah," usul Max. Tempat yang memang sangat ingin dikunjungi Laura.
Laura langsung mengangguk setuju. "Pilihan yang bagus. Mari kita pergi."
Sepanjang perjalanan, mereka berbincang ringan tentang berbagai hal, membuat Laura merasa nyaman dan dihargai. Dia menyadari bahwa bersama Max, dia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa rasa takut atau cemas.
Sesampainya di kafe, Max kembali menunjukkan sikap gentleman dengan membukakan pintu untuk Laura.
Namun, saat Max memesan meja, pelayan mengatakan sudah penuh.
Max menatap Laura dengan penyesalan. "Sepertinya kita kurang beruntung kali ini," katanya sambil tersenyum tipis. "Ada ide lain ke mana kita bisa pergi?"
Laura menggelengkan kepala. Hanya Seila yang tahu tempat-tempat menarik dan disaat seperti ini, dia tidak mungkin menghubungi Seila untuk mempertanyakan hal tersebut.
"Aku hanya ingin tempat yang tidak bising mungkin?" Biasanya ia suka kebisingan untuk menegaskan bahwa dia tidak sendiri di dunia ini. Tapi, bersama Max, dia ingin merasakan suasana yang lebih tenang. Hanya dia dan Max.
Max menatap Laura sejenak, seolah menimbang sesuatu. Lalu, dengan nada santai, dia berkata, "Kalau begitu, bagaimana kalau kita cari tempat yang lebih tenang? Aku tahu satu tempat."
Laura mengangkat alis. "Di mana?"
Max tersenyum kecil. "Sebuah tempat di mana kita bisa makan dengan nyaman, tanpa terganggu kebisingan."
Laura berpikir sejenak. "Baiklah," katanya akhirnya. "Ayo pergi ke tempat itu."
Max tidak langsung menjelaskan ke mana mereka akan pergi. Dia hanya menjalankan mobilnya, membiarkan Laura menikmati perjalanan tanpa perlu memikirkan apa pun. Jalanan yang mereka tempuh perlahan menjauh dari pusat kota, melewati lingkungan yang lebih tenang dan asri.
Laura mulai menyadari sesuatu saat melihat arah yang mereka tuju. "Kita mau ke mana, Max?"
Max meliriknya sekilas, masih dengan senyum khasnya. "Tempat yang nyaman dan sepi. Kamu akan suka."
Ketika mobil akhirnya berhenti di depan sebuah apartemen mewah dengan pemandangan laut, Laura membeku sejenak.
"Max..."
"Tenang saja," potong Max sebelum Laura sempat berkata lebih jauh. "Aku hanya ingin kita bisa makan dengan tenang. Aku punya bahan makanan di dapur. Kita bisa memasak sesuatu bersama."
"Rumahmu?"
"Bisa dikatakan begitu." Max membantunya turun dari mobil.
Max membuka pintu apartemennya dan melangkah masuk lebih dulu, lalu menoleh ke belakang, memberi isyarat agar Laura mengikutinya.
"Silakan masuk," katanya, suaranya tenang, tapi ada sesuatu dalam caranya berbicara yang selalu terdengar menggoda.
Laura ragu sejenak sebelum melangkah masuk. Begitu melewati ambang pintu, matanya langsung terpana oleh pemandangan yang tersaji di hadapannya. Apartemen ini berada di lantai tiga puluh lima, cukup tinggi untuk memberikan panorama kota yang menakjubkan. Dari jendela besar yang hampir menutupi seluruh dinding, pemandangan laut membentang luas, dengan sinar matahari yang memantul di permukaannya, menciptakan kilauan yang indah.
"Wow..." Laura tanpa sadar berbisik, matanya masih terpaku pada pemandangan itu. "Pemandangannya luar biasa."
Max, yang sudah berjalan lebih dalam, menoleh ke arahnya dengan seringai kecil. "Lumayan, bukan?"
"Lumayan?" Laura tertawa pelan, lalu menggeleng. "Ini lebih dari sekadar lumayan, Max. Ini... luar biasa."
Dia mulai berjalan pelan, membiarkan matanya menjelajahi setiap sudut ruangan. Interior apartemen Max modern dan elegan, dengan kombinasi warna hitam, abu-abu, dan sedikit sentuhan kayu yang memberi kesan hangat. Ruang tamunya luas, dengan sofa kulit berwarna gelap yang tampak mahal, meja kaca minimalis, dan rak buku yang tertata rapi di sudut.
Tanpa sadar, Laura mulai mencari sesuatu—apa pun yang bisa memberi petunjuk lebih tentang Max. Tidak ada foto keluarga, tidak ada hiasan pribadi yang mencerminkan siapa dia sebenarnya. Hanya ruangan yang bersih dan tertata rapi, seolah pemiliknya tidak terlalu terikat pada tempat ini.
"Apartemen ini terasa... seperti kamar hotel," gumam Laura akhirnya.
Max, yang tengah membuka kulkas, meliriknya dengan alis sedikit terangkat. "Maksudmu?"
"Rapi, modern, tapi tidak terlalu personal." Laura menoleh, menatapnya. "Seolah-olah pemiliknya bisa pergi kapan saja tanpa meninggalkan jejak."
Max menyeringai, menutup pintu kulkas dengan santai sebelum berjalan mendekat. "Mungkin karena aku memang seperti itu?" tanyanya, suaranya rendah dan misterius.
Laura menelan ludah, menyadari bahwa dia baru saja membuka topik yang mungkin tidak seharusnya dia sentuh. Tapi sebelum dia sempat mengatakan sesuatu, Max kembali tersenyum santai dan menepuk meja dapur.
"Ayo, kita cari tahu apa yang bisa kita masak," katanya. "Kamu lapar, kan?"
Laura menghela napas pelan dan mengangguk. Meski pikirannya masih dipenuhi rasa penasaran tentang Max, untuk saat ini, dia memilih mengikuti arus.
"Tempat ini indah," puji Laura seraya duduk di kursi.
"Tidak seindah dirimu," balas Max dengan nada menggoda.
Laura tertawa kecil, merasa hatinya menghangat. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa benar-benar bahagia.
Namun, di balik kebahagiaan itu, ada rasa bersalah yang mulai merayap. Dia mencoba mengabaikannya, menikmati momen yang ada. Tapi bayangan Nicholas dan pernikahannya yang hampa terus menghantui pikirannya.
"Penny for your thoughts?" tanya Max, menyadari perubahan ekspresi Laura.
Laura menatap Max, keraguan tergambar jelas di matanya. Sebuah pertanyaan menggelitik benaknya, membuatnya ragu-ragu untuk mengutarakannya. Namun, dorongan untuk mengetahui jawabannya lebih besar daripada ketakutannya.
"Max…" suaranya pelan, hampir berbisik. "Seberapa banyak yang kamu dengar dari… telepon tadi?"
Max yang sedang membuka botol anggur di dapur, menghentikan aktivitasnya. Jemarinya yang semula menggenggam sumbat botol kini diam di tempat, seolah momen itu membeku sesaat.
Dia tidak langsung menjawab. Alih-alih, Max menatap Laura dengan ekspresi yang sulit diartikan—perpaduan antara pemahaman dan sesuatu yang lebih dalam. Kemudian, dengan gerakan santai, dia meletakkan botol anggur di atas meja dan melangkah mendekat, menyandarkan satu tangan di meja dekat Laura.
"Cukup banyak," jawabnya akhirnya, suaranya rendah namun mengandung ketenangan yang aneh. "Cukup untuk tahu bahwa kamu sedang berjuang dengan perasaanmu."
Laura mengerjapkan mata, hatinya berdebar. Entah mengapa, jawaban itu lebih menenangkannya daripada membuatnya panik.
Max tidak bertanya lebih jauh, tidak menuntut penjelasan. Dia hanya menatapnya dengan cara yang membuat Laura merasa… dimengerti.
"Kamu tidak perlu menjelaskan apa pun padaku," lanjut Max, suaranya selembut belaian angin. "Aku tidak di sini untuk menghakimimu, Lau."
Kalimat itu membuat Laura terdiam. Selama ini, dia selalu merasa harus memberikan alasan untuk setiap tindakannya, harus membenarkan keputusannya, terutama di hadapan Nicholas. Tapi dengan Max, dia merasa aman.
Senyum tipis terbit di wajah Max sebelum dia kembali ke dapur, meraih gelas dan menuangkan anggur dengan gerakan yang begitu tenang.
"Kamu mau minum?" tawarnya, seolah percakapan barusan tidak meninggalkan ketegangan.
Laura masih menatapnya, mencoba memahami perasaan yang berkecamuk di hatinya. Kemudian, dia mengangguk.
"Ya," jawabnya pelan. "Aku rasa aku butuh itu."
apakah seila narik uang sepengetahuan Nic?
istri itu hrs patuh sama suami tp patuhnya atuh jangan kebangetan. diselidiki dl kek ntu suami
malangnya Laura