Generasi sekarang katanya terlalu baper. Terlalu sensitif. Terlalu online. Tapi mereka justru merasa... terlalu sering disalahpahami.
Raka, seorang siswa SMA yang dikenal nyeleneh tapi cerdas, mulai mempertanyakan semua hal, kenapa sekolah terasa kayak penjara? Kenapa orang tua sibuk menuntut, tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan? Kenapa cinta zaman sekarang lebih sering bikin luka daripada bahagia?
Bersama tiga sahabatnya Nala si aktivis medsos, Juno si tukang tidur tapi puitis, dan Dita si cewek pintar yang ogah jadi kutu buku mereka berusaha memahami dunia orang dewasa yang katanya "lebih tahu segalanya". Tapi makin dicari jawabannya, makin bingung mereka dibuatnya.
Ini cerita tentang generasi yang dibilang gagal... padahal mereka cuma sedang belajar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 6 Kita Ini Generasi Apa?
Pertanyaan itu datang tiba-tiba dari salah satu komentar pendengar podcast mereka:
"Kalian ini generasi apa sih, ngomongin keresahan kayak orang tua nggak pernah susah ajah?"
Komentar itu sederhana. Tapi seperti peluru yang nyasar, menghantam tempat paling rentan dalam diri mereka. Sore itu, Juno membaca komentar itu keras-keras sambil duduk di teras rumah Nala.
“Kenapa ya orang-orang mikir kita tuh lemah kalau cerita?” gumam Nala sambil memainkan sedotan plastik di gelas es kopi. “Apa karena kita gak pernah ngerasain perang, makanya suara kita gak valid?”
Juno duduk bersila, menatap langit yang perlahan berubah jingga. “Mungkin karena kita dianggap tumbuh dalam zaman yang enak. Teknologi, makanan cepat saji, semua bisa dipesan. Jadi kalau kita ngeluh, dianggap manja.”
“Padahal teknologi juga bikin kita makin bingung,” sahut Dita, yang baru saja datang membawa gorengan. “Tiap hari dicekokin standar hidup orang lain. Kayak… semua orang udah sukses kecuali kita.”
Mereka terdiam. Bukan karena tidak tahu harus berkata apa, tapi karena sadar... itu semua benar.
Podcast Gagal Paham malam itu dibuka dengan suara Juno yang lebih pelan dari biasanya.
"Episode kali ini kita kasih judul 'Kita Ini Generasi Apa?' Karena, jujur aja, kami juga bingung."
Nala melanjutkan, "Dibilang generasi lemah, tapi kita tiap hari berjuang dari tekanan akademik, sosial media, sampai ekspektasi keluarga. Dibilang pintar, tapi kadang merasa bodoh karena nggak ngerti kenapa hidup bisa serumit ini."
Dita menutup bagian pembuka, "Mungkin, kita adalah generasi yang terlalu sadar. Sadar dunia ini rusak, tapi belum cukup kuat untuk memperbaikinya."
Selama satu jam penuh, mereka membacakan curhatan dari para pendengar. Semuanya mengarah ke satu titik: kebingungan kolektif.
Ada seorang siswi dari Palembang yang menulis:
> “Kadang aku merasa harus kuat setiap hari. Tapi nggak ada tempat buat bilang kalau aku lelah. Kalau bilang capek, dibilang lebay. Kalau diem, dibilang gak peduli. Aku bingung aku ini siapa.”
Ada pula seorang cowok dari Bandung:
> “Orang tua bilang aku harus jadi insinyur, padahal aku pengen jadi animator. Tapi kalau aku bilang, mereka bilang aku hidup di dunia khayalan. Apa salah punya mimpi?”
Pesan-pesan itu dibacakan satu-satu. Suara Dita mulai bergetar di tengah siaran. “Kita bukan generasi lemah. Kita cuma generasi yang belum dikasih ruang.”
Setelah siaran selesai, mereka bertiga hanya duduk diam di teras rumah Nala. Angin malam makin kencang. Dan untuk pertama kalinya, mereka merasa... takut.
Bukan takut pada guru. Bukan pada komentar orang. Tapi pada kemungkinan bahwa semua yang mereka lakukan... tidak akan mengubah apa pun.
“Lo pernah mikir nggak sih,” kata Nala, “kalau ini semua sia-sia?”
Juno menggeleng. “Gue lebih takut kalau kita gak ngapa-ngapain.”
“Gue pernah denger kutipan,” ujar Dita pelan. “‘Kalau kamu diam saat ketidakadilan terjadi, maka kamu ada di sisi penindas.’”
Hening lagi.
Tapi hening yang aneh. Bukan hening karena lelah. Tapi hening karena yakin.
Keesokan harinya, suasana sekolah berubah lagi.
Di papan mading sekolah, muncul selebaran dari OSIS:
“Generasi Z: Antara Idealisme dan Realita” – Diskusi Terbuka Minggu Depan di Aula.
Ketiganya saling pandang. “Wah, ini pasti nyambung sama podcast kita,” kata Juno.
Ternyata betul. Dalam waktu sepekan, Podcast Gagal Paham jadi bahan pembicaraan di banyak kelas. Bahkan ada guru sosiologi yang menjadikannya topik bahasan. Sekolah, secara tidak langsung, mulai membuka sedikit ruang.
Diskusi terbuka itu akhirnya menjadi titik balik.
Hari itu, aula sekolah penuh sesak. Ada siswa, guru, bahkan beberapa orang tua yang kebetulan mendengar kabar.
Yang mengejutkan, Bu Sinta membuka acara.
“Kita akan dengarkan suara dari anak-anak yang katanya ‘gagal paham’,” katanya dengan nada bercanda yang agak sinis, tapi tak menyembunyikan rasa hormat. “Tapi saya rasa, mungkin justru kita yang harus belajar memahami.”
Satu per satu, Dita, Juno, dan Nala bicara.
Tentang tekanan jadi ‘anak baik’. Tentang ekspektasi yang terlalu tinggi. Tentang mimpi yang sering dipatahkan oleh orang dewasa yang katanya lebih tahu.
Salah satu guru bertanya, “Lalu, kalau kalian mengkritik sistem, sistem seperti apa yang kalian mau?”
Dita menjawab, “Kami ingin sekolah yang bukan hanya tempat menghafal. Tapi tempat belajar jadi manusia.”
Juno menambahkan, “Kami ingin guru yang bukan hanya menilai nilai. Tapi memahami proses.”
Nala menutup, “Kami ingin orang dewasa berhenti berpura-pura tahu segalanya. Karena kami juga hidup di dunia yang sama. Dan kami juga sedang berjuang.”
Tepuk tangan memenuhi aula. Tidak semua setuju. Tapi semua mendengar.
Dan bagi mereka, itu sudah cukup.
Malam itu, episode baru dirilis.
Judulnya tetap: Kita Ini Generasi Apa? Tapi kali ini mereka menjawabnya.
"Kita ini generasi yang sedang tumbuh dalam ketidaksempurnaan. Kita bukan lemah, cuma butuh ruang untuk menguatkan diri. Kita bukan pembangkang, cuma muak dibungkam. Dan kita bukan gagal paham—kita sedang mencoba untuk memahami, meski pelan, meski sakit."
Mereka menutup episode dengan satu kalimat:
"Kalau kalian juga merasa bingung, tersesat, atau tertekan… tenang. Mungkin kita semua memang sedang dalam perjalanan yang sama. Dan mungkin, itu artinya kita tidak sendirian."