[Cerita ini hanyalah khayalan Author sahaja, maklum masih pemula.]
Mengisahkan tentang seorang pekerja keras yang rela mengorbankan segalanya demi menyelesaikan tugasnya. Namun, karena terlalu memaksakan diri, dia tewas di tengah-tengah pekerjaannya.
Namun takdir belum selesai di situ.
Dia direinkarnasi ke dunia sihir, dunia isekai yang asing dan penuh misteri. Sebelum terlahir kembali, sang Dewa memberinya kekuatan spesial... meskipun Rio sendiri tidak menyadarinya.
Tujuan Rio di dunia baru ini sederhana, ia hanya ingin melakukan perjalanan mengelilingi dunia, sesuatu yang tak pernah ia lakukan di kehidupan sebelumnya. Tapi tanpa disadarinya, perjalanan biasa itu akan membawanya ke takdir besar…
Di masa depan yang jauh, Rio akan berdiri sebagai sosok yang menentang Raja Iblis Abyron.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KHAI SENPAI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pahlawan sombong
Di Kota Elvaria, Rio akhirnya berhasil masuk tanpa harus berurusan langsung dengan para penjaga gerbang. Entah bagaimana caranya, ia telah menemukan celah lain untuk menyusup, kemungkinan besar dengan memanfaatkan kemampuan silumannya yang luar biasa sebagai assassin.
Dengan topeng hitam menutupi separuh wajahnya, langkah Rio menyusuri jalanan kota yang mulai padat. Topeng itu bukan sekadar penutup identiti, ia adalah simbol senyap dari seseorang yang tak ingin dikenali. Sosoknya memancarkan aura misterius yang membuat orang-orang enggan menatap lama. Hanya lirikan cepat… lalu mereka segera berpaling, seolah tahu bahwa pria itu bukan orang biasa.
Rio menatap sekeliling dalam diam. Bangunan megah bergaya kerajaan, bendera kebesaran Elvaria yang berkibar anggun di atas menara, dan para warga yang masih membicarakan cahaya aneh di langit pagi tadi.
“Ada yang tak beres…” gumamnya perlahan, nada suaranya tenggelam dalam hembusan angin pagi.
Tiba-tiba perutnya berbunyi.
“Huh… cari makan dulu, lah…” desahnya pelan, nyaris malu sendiri.
Ia melangkah perlahan menyusuri lorong-lorong kota. Matanya meneliti tiap kedai dan papan menu dengan cepat. Beberapa restoran terlihat mewah dan menjanjikan… tapi juga mahal.
“Yang beginian… bisa kering dompet aku.” Rio menghela napas kecil, lalu meneruskan langkahnya.
Setelah menelusuri jalan yang lebih sempit dan sedikit tersembunyi, ia menemukan sebuah kedai kecil di sudut gang. Bangunannya tampak sederhana, tapi ramai. Aroma kuah panas dan daging panggang menyeruak keluar, menggelitik hidungnya.
“Ini dia,” bisik Rio, tersenyum samar di balik topeng.
Ia masuk dan duduk di salah satu sudut kedai, memilih meja paling tersembunyi dari pandangan umum. Matanya memindai menu yang tertempel di dinding. Harga bersahabat. Hidangan sederhana, tapi cukup untuk mengisi perut yang kosong.
Namun sebelum sempat memanggil pelayan...
CRAANGG!!
Pintu kedai mendadak terayun keras. Lonceng kecil di atasnya berdentang kencang, dan seluruh pelanggan sontak menoleh.
Masuklah lima remaja dengan penampilan mencolok dan pakaian asing. Mereka melangkah masuk dengan gaya penuh percaya diri… bahkan, terlalu percaya diri.
Mereka adalah para pahlawan dari dunia lain, yang baru saja dipanggil ke dunia ini pada pagi yang sama.
Langkah mereka tak sopan, tatapan mereka tinggi.
Salah satunya, seorang gadis berambut merah menyala panjang, Arisa Yukino, langsung melenggang menuju meja tengah. Gayanya angkuh, bibirnya tersenyum tipis dengan kepercayaan diri yang nyaris menyakitkan mata.
“Hoi! Pelayan! Bawa makanan paling enak di tempat ini, sekarang! Aku benci menunggu!” katanya dengan nada manja yang dibuat-buat, tapi cukup tajam untuk membuat pelanggan lain menegang.
Kedai menjadi hening. Beberapa pelanggan berbisik pelan. Tapi tak seorang pun yang berani bersuara lantang.
Rio, dari sudut ruangan, mengangkat kepalanya perlahan. Tatapannya mengarah ke lima orang asing itu. Ia diam, namun pikirannya bergerak cepat.
“Mereka… yang tadi jatuh dari langit itu?”
Matanya tertuju pada seorang gadis berambut pendek dan wajah polos. Wajahnya tampak gelisah dan tidak nyaman. Dia adalah Hana Mizuki. Tak seperti yang lain, Hana terlihat malu, bahkan menunduk penuh rasa bersalah kepada pelanggan di sekeliling.
“Hmph. Yang satu itu tampak masih punya hati. Tapi yang lainnya…” Rio mengepalkan tangan pelan di bawah meja.
Tiba-tiba, salah satu dari mereka menoleh padanya.
Kaito Renji, pemuda berambut biru gelap dan mata tajam, memandang ke arah Rio. Tatapannya tenang, tapi jelas menyiratkan keangkuhan.
“Oi, oi…” katanya dengan nada menghina. “Apa kita lagi nonton teater sekarang? Apa peranmu, orang bertopeng duduk menyendiri macam tokoh drama?”
Ia berdiri dari kursinya, dan mulai berjalan ke arah Rio. Langkahnya perlahan, penuh tekanan, seolah menantang.
Suasana di dalam kedai mulai menegang. Beberapa pengunjung melirik cemas, sementara pemilik kedai terlihat bingung harus bertindak atau tidak.
Kaito kini berdiri tepat di hadapan Rio.
“Hei. Aku ngomong sama kau, orang gila,” katanya dingin, memicingkan mata. “Kau tuli? Atau terlalu pengecut untuk menjawab?”
Rio tidak membalas.
Ia hanya duduk diam, satu tangan menyentuh cangkir kosong di mejanya. Tubuhnya tak bergerak, tapi tekanan di udara berubah. Sesuatu yang tak terlihat… mulai terasa.
Kaito kehilangan kesabaran.
“Jangan pura-pura jadi patung, brengsek!” serunya...BRAK!!
Ia menendang kaki meja Rio dengan kuat hingga bergeser beberapa inci. Suara dentuman kayu memecah keheningan kedai.
Namun Rio… tetap diam.
Tak bereaksi.
Tubuhnya tetap diam, tapi hawa di sekelilingnya mulai berubah drastis. Dinginnya bukan berasal dari udara… tapi dari dalam dirinya.
Kaito mendesis.
“Dasar pengecut.” Ia meraih kerah Rio dan menariknya kasar, mendekatkan wajah mereka hanya beberapa inci.
“Kalau kau tak mau jawab, akan kubuat kau menyesal duduk di tempat ini!” bentaknya.
Dan saat itulah…
Rio bergerak.
Dengan satu tangan yang terangkat pelan, ia mencengkeram balik pergelangan tangan Kaito.
Cengkeramannya erat. Sangat erat.
Suara Rio keluar rendah… namun tajam dan menggetarkan:
“Lepaskan tanganmu… atau kau akan menyesal.”
Dan seketika itu juga, ledakan aura hitam mengalir dari tubuh Rio. Tidak meledak secara fisik, tapi menghantam langsung ke dalam jiwa semua orang di ruangan itu.
Aura itu gelap. Dalam. Berat. Menakutkan.
Pelanggan menahan napas. Pemilik kedai gemetar. Bahkan suara alat masak di dapur pun berhenti.
Kaito terdiam. Tangannya gemetar. Ia mencoba melepaskan genggaman Rio, tapi jari Rio terasa seperti rantai besi.
“Ini… aura apa…?” suaranya goyah. Wajahnya pucat.
Tatapan dari balik topeng itu seolah menembus masuk ke dalam pikirannya, menyayat egonya yang selama ini tak pernah disentuh.
“A-aura ini bukan… manusia…” desisnya dengan suara kecil.
Akhirnya… Kaito terlepas. Ia mundur sambil jatuh berlutut. Wajahnya tak lagi sombong. Ia gemetar, tak mampu menatap Rio lagi.
Seisi kedai membeku.
Sosok bertopeng itu… kembali duduk dengan tenang, seolah tak pernah berdiri. Tangan kirinya masih memegang cangkir kosong. Tak sedikit pun goyah.
Namun di balik topeng itu…
Rio tersenyum kecil.
lanjut