Laura tidak pernah membayangkan pernikahannya akan terasa seperti penjara. Nicholas, suaminya, selalu sibuk, dingin, dan jauh. Di tengah sunyi yang menusuk, Laura mengambil keputusan nekat-menyewa lelaki bayaran untuk sekadar merasa dicintai.Max hadir seperti mimpi. Tampan, penuh perhatian, dan tahu cara membuatnya merasa hidup kembali. Tapi di balik senyum memikat dan sentuhannya yang membakar, Max menyimpan sesuatu yang tidak pernah Laura duga.Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Ketika hasrat berubah menjadi keterikatan, dan cinta dibalut bahaya, Laura dihadapkan pada pilihan: tetap bertahan dalam kebohongan atau hancur oleh kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Rahm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Di Jamuan
"Apa kabar, Laura?" ulang Max dengan nada ramah, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar basa-basi.
Nicholas mengangkat alisnya sedikit, sementara Tuan Robert memandang Max dengan senyum penasaran. Suasana di meja terasa berubah—lebih dingin, lebih tegang.
Laura menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba melonjak. Pandangan Max yang santai dan penuh percaya diri terasa menusuk, apalagi ketika semua orang di meja kini memperhatikan mereka.
"Aku... baik," jawab Laura pelan, mencoba mengendalikan suaranya.
Max mengangguk kecil, sudut bibirnya melengkung dalam senyum khasnya. "Senang mendengarnya. Malam ini, kamu terlihat menakjubkan," katanya tanpa ragu, cukup keras hingga bisa didengar oleh Nicholas dan yang lainnya.
Nicholas mengepalkan tangannya di atas meja, rahangnya mengeras. "Siapa kamu?" tanyanya, suaranya tenang tapi dingin, penuh dengan otoritas.
Max tersenyum, lalu melirik sekilas ke arah Nicholas. "Oh, maaf. Aku Max. Kebetulan aku dan Laura bertemu beberapa waktu lalu di sebuah kafe," jawabnya santai, memberikan tekanan samar pada kata-katanya.
Nicholas menatap Laura, matanya menyipit seolah meminta penjelasan. Namun, Laura hanya menggeleng kecil, terlalu bingung untuk berkata-kata.
"Ah, aku tidak ingin mengganggu. Nikmati malam kalian," Max menambahkan, memberi senyum sopan pada semua orang di meja sebelum melangkah pergi. Namun, saat ia melewati Laura, ia berbisik pelan, "Hubungi aku kalau kamu bosan." Suaranya nyaris tak terdengar oleh orang lain, tapi cukup jelas bagi Laura.
Panas menyelimuti wajahnya, antara malu dan bingung. Ia menunduk, berharap Nicholas tidak menyadari bisikan Max.
Sepeninggalan Max, perbincangan di meja kembali lagi. Seolah kehadiran Max yang sesaat tidak berarti apa-apa. Cukup melegakan bagi Laura. Beberapa menit kemudian, satu persatu meninggalkan meja. Pun Nicholas, dia tak lagi memperhatikan Laura. Ia kini berdiri di sudut ruangan, berbincang dengan beberapa rekan kerja. Sesekali, Laura mendengar gelak tawanya yang renyah, sesuatu yang langka darinya.
Namun, itu bukan tawa yang membuat Laura merasa hangat. Setiap kali Nicholas tertawa bersama para wanita di sana—yang beberapa mengenakan gaun menawan—dadanya terasa mencengkeram.
Laura mengaduk pelan isi gelasnya, mencoba menenangkan perasaan. Ia tahu tak seharusnya merasa seperti ini, tapi melihat Nicholas begitu akrab dengan orang lain membuat hatinya terasa aneh.
“Bodoh,” gumamnya pelan, memarahi dirinya sendiri.
Ia memalingkan pandangan, mencoba mencari sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya. Matanya menangkap Max di sisi lain ruangan. Pria itu sedang berbincang dengan teman kencannya. Wanita yang berbeda lagi. Wanita itu tertawa kecil, menyentuh lengan Max dengan santai.
"Kenapa dia sangat laris?" Laura bergumam sambil terus mengamati Max.
Max, seperti biasanya, tampak mempesona dan luar biasa. Tapi yang membuat Laura tersentak adalah tatapannya—tatapan itu penuh pada wanita itu, seperti dia mendengarkan setiap kata dengan sungguh-sungguh.
Laura mendesah panjang. Rasanya seperti semua orang di pesta ini punya seseorang untuk diajak bicara, untuk tertawa bersama. Semua orang kecuali dia.
Ia menyesap minumannya, merasakan dinginnya cairan yang meluncur di tenggorokannya. Keputusannya untuk ikut malam ini mulai terasa salah.
“Kenapa malah duduk sendiri?” suara bariton yang familiar membuyarkan lamunannya. Laura mendongak, mendapati Max sudah berdiri di hadapannya. Wanita dengan gaun biru sudah tak lagi bersamanya.
“Kamu meninggalkan teman kencanmu?” tanya Laura, mencoba menyembunyikan kejutan di wajahnya.
Max hanya tersenyum tipis. “Dia ada urusan lain." Ia menarik kursi di sebelah Laura dan duduk tanpa permisi. "Kamu kelihatan butuh teman bicara lebih dari siapa pun di sini.”
Laura ingin membantah, tapi tak ada kata yang keluar. Tatapan Max terlalu tajam, terlalu penuh pengertian.
"Wanita itu salah satu klienmu?"
Max tergelak, "anggap saja begitu."
"Kali ini kamu mendapatkan apa saja?" Laura berbicara lebih rileks dari pertemuan mereka sebelumnya. "Aku tidak melihat barang mahal." Laura tanpa sadar mengamati penampilan Max. Dari ujung kaki ke ujung kepala. Dia tahu yang dikenakan pria itu barang-barang yang didesain khusus. Jika dari awal dia tidak tahu bahwa Max berprofesi sebagai pria bayaran, dia mungkin sudah tertipu dengan penampilan pria itu. Menduga jika Max seorang pengusaha kaya raya.
"Ah... Dia membelikanmu pakaian ini." Laura menunjuk penampilan Max.
Max hanya mengerling jenaka sebagai jawaban atas pernyataannya.
"Klienmu sangat royal. Apa palayananmu sangat menakjubkan?"
Max tersenyum miring. "Jika kamu sangat penasaran, kamu tahu cara menyewa jasaku."
Laura terdiam. Ucapan Max terdengar seperti tawaran yang menggiurkan. Dia memiringkan kepala, menatap suaminya yang kini berbicara dengan seorang wanita lain, tawa mereka terdengar seperti irama sumbang di telinga Laura.
Laura hanya bisa menunduk, merasakan kepedihan yang ia coba sembunyikan perlahan menyeruak.
“Pestanya membosankan, bukan?” suara Max melunak. “Bagaimana jika pergi dari sini. Tidak ada yang akan tahu.”
Laura mendongak, menatap Max. Ia tidak tahu apakah tawaran itu serius atau hanya permainan kata-kata seperti biasanya. Namun, di balik sorot mata Max, ada sesuatu yang membuatnya merasa dipahami.
“Tidak ada tempatku untuk pergi,” jawab Laura akhirnya, mencoba mengakhiri pembicaraan.
Max menatapnya sejenak, sebelum mengangkat bahu ringan. “Kamu tahu di mana menemukanku kalau berubah pikiran.”
Ia bangkit dari kursinya, meninggalkan Laura sendirian lagi.
Max sudah berjalan menjauh, meninggalkan Laura yang masih duduk di meja dengan perasaan campur aduk. Nicholas, yang sejak tadi sibuk berbincang dengan beberapa wanita, akhirnya kembali ke meja mereka.
Nicholas duduk tanpa banyak bicara, meneguk minumannya dengan ekspresi datar. Tapi matanya, tajam dan penuh tanya, terus mengamati Laura.
“Kamu kelihatan tidak nyaman,” katanya akhirnya, dengan nada datar yang sedikit menusuk. “Apakah karena dia?”
Laura menatap Nicholas dengan kaget. “Dia siapa?” tanyanya, meski dalam hati ia tahu siapa yang dimaksud.
Nicholas menyandarkan tubuhnya ke kursi, sudut bibirnya melengkung membentuk senyum kecil yang tidak ramah. “Pria yang tadi bicara padamu. Dia terlihat... terlalu akrab.”
Laura menggigit bibirnya, berusaha menahan diri untuk tidak terpancing. “Kami hanya teman,” jawabnya singkat.
“Teman?” Nicholas mengangkat alisnya, sorot matanya mengeras. "Aku tidak tahu kamu punya teman."
Laura menyesali jawaban bodohnya. Nicholas tahu apa pun tentang dirinya.
"Dia tidak berhenti menatapmu? Dan kamu terlihat ingin pergi bersamanya.”
Laura terdiam. Perasaan bersalah dan kemarahan bercampur jadi satu. Namun sebelum ia bisa membalas, Nicholas mencondongkan tubuhnya, berbisik pelan tapi penuh tekanan.
“Apa kamu sedang belajar nakal, Laura?
Kalimat itu membuat Laura terdiam. Tatapan Nicholas begitu tajam hingga membuat tubuhnya menegang. Tapi sebelum ia sempat merespons, Max tiba-tiba muncul kembali di sampingnya, membawa dua gelas sampanye.
“Aku lupa bilang,” Max menyela dengan senyum santai, seolah tidak peduli dengan ketegangan yang memancar di antara mereka. “Aku akan menunggumu di luar.”
Max meletakkan satu gelas di depan Laura, lalu menatap Nicholas dengan ekspresi penuh percaya diri sebelum berbalik pergi.
Laura menatap gelas itu, lalu Nicholas, yang kini terlihat lebih marah daripada sebelumnya. “Laura,” panggil Nicholas dengan nada tajam.
Tapi Laura tidak menjawab. Tangannya gemetar, sementara pikirannya dipenuhi pertanyaan besar, apa yang akan ia lakukan selanjutnya?
apakah seila narik uang sepengetahuan Nic?
istri itu hrs patuh sama suami tp patuhnya atuh jangan kebangetan. diselidiki dl kek ntu suami
malangnya Laura