bagaimana jika seorang CEO menikah kontrak dengan agen pembunuh bayaran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kontrak pernikahan
Pernikahan megah itu berakhir dengan meriah. Musik gamelan dan gesekan biola membaur dalam atmosfer glamor, senyum tamu undangan tak putus mengalir. Tapi di tengah hingar-bingar pesta dan tepukan selamat yang bertubi-tubi, Amira merasa seakan berdiri di ruang yang kosong. Tangannya yang kini dihiasi cincin berlian dingin di jari manis kirinya seolah menancapkan satu kenyataan: dirinya bukan lagi milik sendiri.
Wajah-wajah terpukau melihat penampilannya. Tak sedikit yang berbisik, mengira dia berasal dari keluarga bangsawan. Ruben bergerak cepat—mendekati setiap jurnalis dan fotografer, menebar ‘klarifikasi’ bahwa Amira adalah putri dari pebisnis terkenal yang memilih hidup low profile. Identitas aslinya dikaburkan dengan rapi, seperti ilusi yang dibangun dari benang-benang kebohongan.
Renata mengikuti alur pesta dengan senyum profesional, tapi dadanya sesak. Dia tahu ini belum selesai. Yang paling menegangkan justru akan terjadi setelah semua lampu sorot dipadamkan.
Dan benar saja—setelah para tamu berpamitan dan aula pernikahan mulai lengang, tiga sosok itu dikumpulkan di sebuah ruang privat berdesain klasik di lantai dua ballroom hotel: Renata, Andika, dan Amira.
Pintu ditutup pelan. Hening. Udara di ruangan seolah membeku.
Andika duduk bersandar di sofa marun, kakinya disilangkan, wajahnya tanpa senyum. Tatapannya tajam, menusuk ke arah Amira yang masih mengenakan kebaya putih keemasan. Cadarnya telah dilepas. Gadis itu duduk diam, menunduk, dengan tangan gemetar di pangkuan. Riasannya nyaris tak berubah, tetapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan kesedihan yang dalam.
Renata berdiri di antara keduanya. Ia membuka map tebal berisi dokumen kontrak yang telah disusun oleh Ruben dan tim legalnya.
“Kita semua tahu, ini bukan pernikahan yang normal,” ucap Renata pelan namun tegas. “Tapi pernikahan ini sah, baik secara agama maupun negara. Maka, mulai hari ini, kalian adalah suami istri di mata dunia.”
Andika hanya mendengus kecil.
Renata menatap keduanya bergantian. “Kontrak ini mengikat kalian selama enam bulan. Dalam waktu itu, kalian harus berpura-pura menjadi pasangan harmonis—di depan keluarga, media, dan publik.”
“Jika tidak?” tanya Andika dengan suara dingin.
Renata mengangkat alis. “Kau tahu jawabannya. Jika pernikahan ini gagal sebelum waktunya, kau akan kehilangan hak waris dari Ibu Viona. Tidak sepeser pun dari saham dan properti keluarga akan jatuh padamu.”
Andika menyeringai tipis, sinis. “Mamah hanya peduli warisan, tidak pernah peduli dengan perasaanku.”
“Kamu gila, Andika! Kalau Mamah tidak peduli, untuk apa Mamah repot-repot mengadakan pesta sebesar ini?” Renata membentak. “Dan asal kamu tahu, akibat kamu terus mengutamakan perasaanmu terhadap Bianka, Mamah hampir hancur!”
Andika terdiam. Ia tahu ucapan ibunya benar. Selama sebulan terakhir, Renata bekerja mati-matian mempersiapkan semuanya. Pernikahan ini hampir gagal total jika sang ibu tidak melakukan tindakan gila—mencari pengantin pengganti secara mendadak.
“Tandatangani sekarang. Kalau kamu mau menambahkan syarat, silakan,” ucap Renata dingin.
Andika mengambil pulpen. Namun, sebelum menandatangani, ia berkata tajam tanpa menoleh pada Amira, “Tiga syarat dariku.”
Renata menatapnya dengan waspada. “Sebutkan.”
“Satu. Kami tidak akan ikut campur urusan pribadi masing-masing. Dia boleh menjalani hidupnya, aku juga.”
Amira masih menunduk, tanpa reaksi.
“Kedua,” lanjut Andika, suaranya semakin dingin, “tidak ada sentuhan fisik. Tidak ada ‘kemesraan’ pura-pura yang melewati batas.”
Renata mengangguk pelan. “Oke. Lanjutkan.”
Andika kini menatap ibunya langsung. Matanya tajam.
“Ketiga. Jika Bianka kembali… maka pernikahan ini selesai. Aku akan kembali padanya tanpa protes dari siapa pun, termasuk dari ‘istri dadakan’ ini.”
Brak!
Renata menggebrak meja. “Bianka hampir membuatku gila, Andika! Kalau dia ada di sini, sudah Mamah tembak kepalanya!”
“Mamah!” Andika tersentak.
“Aku hanya cinta pada Bianka. Aku yakin dia pasti punya alasan kuat mengapa tidak datang, Mah.”
Renata menatap putranya tajam. “Lebih baik kamu tembak kepala Mamah kalau kamu tetap ingin kembali pada Bianka. Apa pun syaratmu akan Mamah penuhi, asal kamu tidak kembali pada dia.”
Andika menoleh, bingung. “Aku tidak mau tanda tangan kalau begitu.”
“Ruben!” teriak Renata.
Ruben segera masuk ke ruangan, terkejut melihat ketegangan yang ada.
“Ambilkan Mamah pistol,” ucap Renata tegas.
Suasana menegang. Ruben ragu, tetapi akhirnya menyerahkan pistol kecil dari laci samping kepada Renata.
Renata menyodorkan pistol itu pada Andika. “Tembak Mamah sekarang... kalau kamu tetap memilih Bianka.”
Andika menunduk. Ia menggenggam pistol itu, tetapi tangannya gemetar. Ia tidak sanggup. Air matanya menggenang, tapi ia tahan.
“Baik, Mah…” lirihnya akhirnya keluar.
Suasana mendadak hening. Renata menghela napas panjang, menahan gejolak emosinya.
Ia berbalik ke arah Amira. “Amira, apakah kamu punya syarat?”
Amira menoleh pelan. Hanya satu kalimat yang keluar dari bibirnya, lirih namun tegas, “Cepat transfer uang ke rumah sakit.”
Andika mencibir. “Tentu. Wanita macam ini, ujung-ujungnya uang juga yang dicari.”
Amira tidak membalas. Ia hanya kembali menunduk. Suaranya bergetar, namun tetap tenang. “Kalau uangnya tidak masuk sebelum pukul sepuluh malam, operasi jantungnya gagal dijadwal ulang. Dokternya sudah bilang. Bapak saya bisa meninggal kapan saja.”
Renata menahan napas. Tatapan Amira begitu datar, tapi menyimpan luka yang dalam. Ia memberi isyarat pada Ruben yang masih berdiri di pintu.
“Ruben, sekarang juga. Transfer ke rekening rumah sakit yang tadi. Pastikan dananya masuk, lalu kirim buktinya ke saya.”
“Baik, Bu,” jawab Ruben cepat dan segera keluar.
Renata menatap Amira, kali ini lebih lembut. “Mulai detik ini... semua yang kau alami di rumah ini, dalam keluarga ini, tidak boleh bocor ke luar. Tidak ada satu pun yang boleh tahu siapa dirimu sebenarnya. Kau akan hidup sebagai istri Andika Pratama. Jaga rahasia ini seperti nyawamu.”
Amira mengangguk pelan. Matanya menerawang jauh, seolah tubuhnya masih di ruangan itu, tetapi jiwanya tertinggal di depan ruang ICU—di antara suara mesin dan napas ayahnya yang berat.
Andika berdiri. Ia berjalan menuju pintu dengan langkah penuh kemarahan yang tertahan.
“Mamah, sampai kapan pun aku tidak akan mencintai dia. Wanita murahan, penuh kepalsuan. Seandainya hanya ada satu wanita di dunia ini, aku tetap akan memilih hidup sendiri daripada memilih dia,” ucapnya tajam, dingin menusuk.
Renata berdiri kaku, wajahnya pucat, namun matanya memancarkan kemarahan yang ia tahan dengan susah payah.
“Jangan bicara sembarangan, Andika,” ujarnya tegas. “Tidak ada satu pun alasan yang membenarkan kau merendahkan perempuan yang bahkan sudah menyelamatkan warisan keluargamu. Kau boleh benci pernikahan ini, tapi jangan menghina orang yang terpaksa masuk ke dalam nerakamu.”
Andika menyeringai sinis. “Aku tidak butuh penyelamat, Mah. Aku butuh kejujuran, dan dia datang membawa kebohongan.”
“Andika!” bentak Renata.
Namun Andika tak menggubris. Ia membuka pintu dengan keras, lalu melangkah pergi tanpa menoleh.
Brak!
Pintu tertutup dengan suara menggelegar, meninggalkan kehampaan.
Renata menutup mata sejenak, menahan napas panjang. Kemudian ia menoleh ke arah Amira, yang masih duduk diam di ujung sofa. Gadis itu memeluk tubuhnya sendiri, seperti mencoba melindungi sisa-sisa harga dirinya yang terinjak.
“Kau yakin masih sanggup menjalani ini?” tanya Renata dengan suara pelan, nyaris berbisik.
Amira menatapnya sekilas. Mata itu sayu, lelah, tapi penuh keteguhan. Suaranya keluar perlahan, dengan nada yang tenang namun menusuk.
“Aku hanya ingin Bapak sembuh. Itu saja sudah cukup.”
Renata terdiam. Untuk sesaat, ia kehilangan kata. Gadis ini tak meminta simpati, apalagi cinta. Ia hanya ingin menyelamatkan satu-satunya orang yang ia cintai di dunia—dan untuk itu, ia rela dikorbankan.
tapi kenapa yah oma viona selalu menuduh allesandro setiap ada masalah perusahaan? dan bagaimana nasib andika selanjutnya
seru nih amira hajar terus