Seson 2 Dewa Petir Kehancuran......
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anonim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yu Lian
Kabut yang masih menggantung di udara perlahan menipis, seiring dengan naiknya cahaya matahari pertama yang menembus dedaunan tinggi di atas mereka. Cahaya itu jatuh lembut ke permukaan tanah, menciptakan bayangan-bayangan bergerak yang menari-nari bersama embun yang menguap pelan.
Lei Nan masih berdiri diam di sisi jurang, telapak tangannya masih terasa hangat oleh sentuhan dingin dari gadis itu beberapa saat lalu. Di hadapannya, gadis berkerudung itu tampak mengatur napas. Bahunya naik turun perlahan, namun wajahnya tetap tenang.
“Aku… tidak menyangka ada orang lain di sini,” ucapnya dengan suara pelan namun jelas. Nada suaranya lembut, tidak tergesa-gesa, seolah ia berbicara bukan hanya dengan bibir, tetapi juga dengan perasaan yang telah lama terpendam.
Lei Nan tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangguk perlahan, lalu menyunggingkan senyum tipis yang nyaris tidak terlihat. Senyum itu bukan senyum kemenangan atau kekaguman, melainkan sebuah pengakuan diam—bahwa pertemuan ini tak biasa.
Gadis itu memperhatikan ekspresinya, lalu menarik napas sedikit lebih dalam.
“Namaku… Yu Lian.”
Lei Nan menatapnya sesaat, lalu mengangguk lagi. “Lei Nan.”
Angin kembali berembus, membawa aroma tanah, embun, dan sesuatu yang lain—aroma samar dari darah makhluk roh yang baru saja mati, bercampur dengan wangi samar herbal liar yang tumbuh di tempat ini.
Yu Lian perlahan menurunkan cadarnya, memperlihatkan lebih banyak bagian wajahnya. Ada guratan kelelahan di sana, tapi juga keteguhan. Ia duduk pelan di atas batu datar yang sebagian tertutup lumut, lalu berkata, “Aku tidak berniat membuat masalah… tapi harimau itu mengejarku setelah aku mengambil sesuatu dari wilayah perburuannya.”
Lei Nan hanya menatapnya diam, menunggu kelanjutannya.
Yu Lian menyentuh sebuah kantung kecil di sisi pinggangnya, membuka simpulnya perlahan, dan mengeluarkan sehelai akar merah menyala yang masih tampak hangat, seperti baru dicabut dari bara api.
“Ini… Ginseng Api. Tumbuhannya langka. Sangat langka,” katanya pelan. “Aku sudah mengamatinya selama seminggu terakhir. Tapi rupanya… harimau itu juga menjaga tempat itu.”
Ginseng Api.
Lei Nan mengerutkan dahi sedikit. Ia pernah mendengar namanya dari catatan lama milik Han Guang. Herbal yang tumbuh di area berkadar energi api tinggi, konon bisa memperkuat meridian dalam tubuh, bahkan membuka jalur qi baru bagi yang berbakat. Tapi biasanya hanya bisa ditemukan di tempat-tempat yang penuh bahaya. Bahwa gadis ini berhasil mengambilnya—dan bertahan hidup—sudah cukup menunjukkan bahwa dia bukan orang biasa.
“Kau tinggal di sini?” tanya Lei Nan perlahan, nadanya hati-hati, tidak mendesak.
Yu Lian mengangguk. “Ya. Tidak jauh dari sini… sekitar dua sungai ke arah barat. Aku tinggal di sebuah lembah kecil bersama seorang kakek tua. Kami berdua sudah cukup lama menetap di zona ini.”
“Zona?”
Yu Lian menoleh padanya, tampak terkejut karena ia belum tahu. “Kau baru datang ke Hutan Langit, ya?”
Lei Nan mengangguk kecil. “Belum lama.”
Gadis itu melipat kembali Ginseng Api ke dalam kantungnya, lalu mulai menjelaskan perlahan, suaranya lebih tenang, seperti mengisahkan sesuatu yang sudah lama ia simpan sendiri.
“Hutan Langit tidak hanya hutan. Tempat ini… adalah dunia sendiri. Tidak semua orang tahu strukturnya, karena mereka yang masuk terlalu dalam biasanya tak pernah kembali. Tapi secara umum, kami yang tinggal di sini membaginya menjadi tiga bagian.”
Ia mengangkat tiga jari mungilnya, dan mulai menyebutkan satu per satu.
“Zona Permukaan—tempat kita berada sekarang. Lalu Zona Menengah… dan terakhir, Zona Dalam. Makin dalam kau masuk, makin tebal kabutnya… dan makin kuat makhluk yang tinggal di sana.”
Lei Nan terdiam, mencerna kata-katanya.
“Harimau hitam tadi…” gumamnya, “aku bisa merasakan auranya saat ia mengejarmu. Ia berada di ranah inti emas.”
Yu Lian mengangguk pelan. “Ya. Di zona permukaan… itu termasuk makhluk terkuat. Tapi di zona dalam…” ia terhenti sesaat, lalu melanjutkan, “aku tak pernah ke sana. Tapi kakek pernah bilang, ada binatang roh yang bisa menyentuh ranah Roh Langit… atau lebih.”
Lei Nan merasa dingin merambat di tengkuknya. Jika di permukaan saja sudah ada makhluk sekuat itu… bagaimana di dalam?
Ia menoleh menatap mayat harimau yang masih tergeletak beberapa puluh meter dari mereka, asap tipis masih naik dari bekas luka petir dan pisau terbang. Ia mengingat bagaimana kekuatan makhluk itu terasa berat, ganas, dan hidup—tak seperti binatang biasa.
“Berarti… tempat ini jauh lebih luas dari yang kupikirkan,” gumamnya pelan.
Yu Lian menatap wajahnya yang serius, lalu tersenyum tipis. “Kau tidak sendiri. Semua orang yang pertama kali datang ke sini pasti berpikir begitu.”
Angin kembali berhembus—lebih kencang kali ini. Dan tiba-tiba, tudung Yu Lian yang longgar tersingkap, tertiup ke belakang. Rambut panjangnya yang berwarna perak memantul di bawah cahaya pagi, berkilau seperti helai sutra yang dibasahi embun.
Lei Nan memalingkan wajah sejenak karena terkejut.
Namun bukan karena warna rambut itu.
Melainkan… wajahnya.
Wajah gadis itu, yang kini terlihat jelas di bawah sinar matahari, membuat waktu seolah berhenti sejenak bagi Lei Nan. Kulitnya putih lembut, seperti salju tipis yang baru jatuh. Alisnya halus, matanya cerah dan dalam, seperti kolam jernih yang menyimpan banyak cerita. Bibirnya merah alami, tidak terlalu tebal, tidak terlalu tipis. Wajah itu bukan hanya cantik—tapi seolah tak seharusnya berada di tempat liar seperti ini.
Bahkan, jika dibandingkan dengan perempuan mana pun yang pernah ia temui… mereka semua seperti batu-batu jalan dibandingkan dengan berlian yang kini berdiri di hadapannya.
Namun kejutan itu belum selesai.
Saat Lei Nan memperhatikan lebih dekat, matanya menangkap sesuatu yang tak biasa—telinga gadis itu… runcing di ujungnya, sedikit memanjang ke belakang, tersembunyi di balik helaian rambut peraknya.
Lei Nan mengerjap. Napasnya tertahan sesaat.
“Kau… bukan manusia.”
Yu Lian menunduk perlahan, tidak tampak kaget. Hanya ada ketenangan dalam wajahnya. “Tidak. Aku bukan.”
Lei Nan tidak berkata apa-apa. Tapi pikirannya mulai bergulir, mencoba menghubungkan satu demi satu.
Rambut perak. Telinga runcing. Tatapan mata yang menyimpan usia yang lebih tua dari wajahnya. Dan… keberadaan di zona permukaan Hutan Langit ini.