Perasaan mereka seolah terlarang, padahal untuk apa mereka bersama jika tidak bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Flaseona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Can We? Episode 06.
...« Adek sakit?! »...
Gavan dibuat terkejut saat Arasya menangis didalam dekapannya. Kantuk yang sedari tadi menghantui, tiba-tiba hilang. Gavan berdiri dari duduknya karena dirundung panik. Menimang Arasya, bak anak kecil di dalam gendongan yang sering kali tantrum di malam hari.
“Ssttt, hei, kenapa nangis, Dek?? Sssttt, udah, cup-cup.”
Gavan menepuk pelan punggung Arasya berkali-kali. Tangis gadis itu masih belum juga mereda. Belum mengerti kenapa Arasya menangis, Gavan terus-menerus menggumamkan kata agar tangis Arasya mereda.
“Mas---hikss, Mas jahat!”
“Lho? Mas jahat? Kok bisa? Ini udah digendong lho.”
“Ngapain bilang, kalau bukan karena Mami, Mas gak mau nyusul kesini! Aku--hikss, aku bisa kok sendiri! Aku gak mau digituin! Aku udah besar, udah gak kecil lagi. Tapi Mas Gavan sama Mas Devan selalu bilang ke orang-orang kalau aku tuh harus diperhatiin banget kayak aku masih bayi. Aku gak suka! Mas jahat! Hiks, hiks, Bunda, Ayah, Adek kangen. Adek mau ikut sama Bunda-Ayah aja. Hiks--hikss..”
Gavan tertegun mendengar ucapan akhir dari Arasya. Dadanya seperti baru saja di tusuk ribuan tombak saking sakitnya setelah ia mendengar Arasya berkata seperti itu.
Gavan kembali melangkah mundur, mengambil tempat untuk duduk. Dirinya menangkup wajah Arasya, mengusap air mata yang mengalir deras dari sudut mata gadis itu.
“Mas, kok lama banget di luar? Dicariin Mami tuh.” Devan berbicara tanpa melihat kondisi keduanya. “Eh? Adek kenapa nangis?” Devan bertanya-tanya.
Arasya sejenak terdiam beberapa menit, kemudian ia menatap Gavan kebingungan. “Mas, Bunda dimana ya?” ujarnya linglung.
“Gimana?” Gavan ikut kebingungan, merasa aneh dengan pergantian suasana hati Arasya.
Devan mengernyitkan keningnya, berusaha membaca ekspresi Arasya dan Gavan.
“Adek mau tidur sama Bunda aja. Gak jadi sama Mas Gavan.”
“Mas Gav, kamu apain Adek?” tanya Devan penuh keseriusan.
“Ayo, Mas. Bunda di dalam kamar, ya? Anterin Adek kesana. Nanti kalau gak cepet-cepet, Adek ditinggal.” Arasya tidak peduli dengan Devan. Ia menggoyangkan pundak Gavan, menyuruh pria itu untuk segera beranjak.
“Aku bilang Mami.” Devan langsung berlari kembali ke dalam.
“Oh, Mami disini juga? Ayah udah pulang belum, Mas? Apa Ayah sama Bunda lagi pacaran ya? Makanya Adek sama Mas?”
Gavan tidak bereaksi sama sekali. Ia jelas kebingungan. Sama sekali tidak tahu maksud dari Arasya. Bukankah orang tuanya sudah lama tidak ada? Kenapa tiba-tiba Arasya bertanya keberadaan mereka?
“Adek. Mami cariin kemana ih, ayo tidur!”
Mami segera mengajak Arasya untuk beranjak dari pangkuan Gavan. Wanita paruh baya itu menggandeng Arasya untuk masuk ke dalam rumah. Ditemani Devan disamping kanan Arasya.
“Eh, kok banyak orang Mami? Itu teman Ayah, ya?”
Devan sigap menutupi mata Arasya. Menuntun gadis itu masuk ke dalam kamar. "Iya, ada yang harus di renovasi di rumah." Devan membantu menjawab.
"Ayah sama Bunda dimana, Mami? Adek tidur lagi sama kalian, ya?"
Mami sejak tadi sedang melamun, pertanyaan dari Arasya tidak benar-benar beliau dengar sepenuhnya.
"Mamiiii...." Panggil Arasya geregetan. Pasalnya tidak ada jawaban yang keluar dari mulut wanita paruh baya itu. Dan Devan lah yang menjawab pertanyaan Arasya.
"Mas Dev, itu siapa?"
Mereka sudah memasuki kamar, Devan baru saja menutup pintu setelah Arasya kembali melayangkan pertanyaan untuknya. Jari si muda menunjuk ke arah Senaza yang menatap Devan kebingungan.
"Pacar Mas Dev lah. Emang kamu, belum punya pacar?" sombong Devan pada Arasya yang langsung memberikan dengusan keras padanya.
"Halo, Kakak. Adek namanya Arasya. Kakak sejak kapan pacaran sama Mas Dev? Bukannya kata Ayah Mas Dev gak boleh pacaran, ya? Atau kalian pacarannya sembunyi-sembunyi?"
Devan membungkam mulut Arasya sembari berdesis menyuruh gadis itu diam. "Udah malem, ntar pada kebangun terus Adek dimarahin, mau?"
Arasya segera menggelengkan kepalanya, "gak, adek gak mau, Mas."
“Pinter. Yaudah tidur.” Suruh Devan agar Arasya berbaring ke tempat tidur.
“Terus pacar Mas tidur di mana?” tanya Arasya lagi. Seakan jika keingintahuannya tidak segera dipenuhi, ia tidak berniat tidur.
“Di bawah tuh ada karpet.” Jawab Devan singkat, ia segera menyelimuti Arasya.
“Adek juga mau dibawah aja. Gak sopan dong tidur di atas?” Arasya memandang polos Devan. Lelaki itu berbaring miring ke arah Arasya. Memeluk si yang lebih muda dan menepuk pundaknya.
“Mas Gavan mana? Kok gak ikut? Adek mau tidur sama Mas Gavan juga.”
Mami yang sejak tadi diam, merasa begitu terpukul. “Mami panggil Mas Gavan dulu, ya. Adek sama Mas Devan dulu gapapa? Sama Kak Sena, kalian belum kenalan 'kan?”
Lalu setelah di angguki oleh Arasya tanpa ragu, Mami keluar lagi dari kamar itu. Beliau berjalan cepat ke depan, Mami harus berbicara pada Gavan tentang semuanya.
“Mas, masih bengong? Gak kepo apa yang terjadi sama Adek?”
Mami mengambil duduk di kursi lainnya, menoleh ke anak sulungnya dan menatap Gavan penuh kehangatan.
“Mami gak marah. Mami gak akan tanya kenapa Adek bisa begitu, karena kamu sendiri pasti gak tahu 'kan titik masalahnya?”
Mami tersenyum saat Gavan menatap balik. “Kenapa, Mami? Arasya kenapa?” tanya si sulung.
“Hari itu, setelah pemakaman orang tua Adek. Mami sama Devan temenin Adek di kamarnya. Kamu waktu itu masih sibuk sama bisnismu.”
Mami menatap ke perkarangan rumah yang mereka jadikan untuk menginap. Hanya ada kegelapan sejauh mata memandang, sebab hari sudah semakin larut sekarang.
“Adek hari itu nangis kenceng banget lho, Mas. Gak seperti Adek waktu terima tamu peziarah. Mas gak lihat Adek nangis, 'kan?”
Gavan mengangguk sebagai jawaban, ia tidak bersuara sebab ingin sang Mami tetap meneruskan ceritanya.
“Mami sampai bingung harus gimana, Devan juga. Udah gantian gendong tapi Adek tetep kejer banget nangisnya. Terus kamu tahu gimana Adek berhenti, Mas?”
Mami menerawang ke hari itu, dimana awal mula trauma dan keanehan yang terjadi pada Arasya.
“Adek tiba-tiba diem. Lalu kayak yang Mas alami tadi, Adek bertingkah seperti Adek masih kecil. Gak inget sama sekali kalau Ayah dan Bunda udah gak ada. Mami rasanya nelangsa banget, Mas. Denger penjelasan dari dokter keesokan harinya. Yang bilang kesehatan mental Adek lagi terguncang sampai-sampai bikin Adek gak mau ada di masa itu. Gak mau kehilangan Ayah-Bunda.”
Gavan lagi-lagi tercekat mendengar fakta baru yang tidak dirinya sangka menimpa Arasya.
“Baik-baik ya, Mas. Sama Adek. Mami gak maksa lagi kayak dulu, yang harus jaga Adek atau ini atau itu. Kalau memang Mas keberatan, bisa ngomong sama Mami. Nanti biar Mami yang urus Adek sendiri gapapa. Jangan sampai Adek kambuh lagi ya, Mas.”
...« Terima kasih sudah membaca »...