NovelToon NovelToon
Mengapa, Harus Aku?

Mengapa, Harus Aku?

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:267
Nilai: 5
Nama Author: Erni Handayani

Alisha Alfatunnisa, putri dari pemilik pondok pesantren yang populer di kotanya. Belum menikah meski menginjak umur 29 tahun. Hati yang belum bisa move on karena Azam sang pujaan hati, salah melamar kembaran nya yaitu Aisha.

Peperangan batin dilalui Alisha. Satu tahun dia mengasingkan diri di tempat kakeknya. Satu tahun belum juga bisa menyembuhkan luka hati Alisha. Hingga datang sosok Adam, senior di kampusnya sekaligus menjadi rekan duet dalam menulis.

Apakah kehadiran Adam bisa menyembuhkan luka hati Alisha? Atau masih ada luka yang akan diterima Alisha? Cerita yang menguras air mata untuk kebahagiaan sang kembaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6

"Ibu salah melamar, bukan Kak Aisha kan tapi kakak kan seharusnya!" ujar Sarah.

Aku menghela napas, aku kira hanya aku dan Azam yang tahu. Tetapi, Sarah juga.

"Semua telah berlalu, Sar!" jawabku singkat.

Sarah tersenyum tipis menampilkan gigi gingsulnya.

"Tetapi kakak sakit karena kesalahpahaman itu! Tolong baca ini, mungkin ini akan membuat kakak lega."

Sarah menyerahkan sebuah surat dengan amplop berwarna biru. Di situ tertulis jelas namaku, Alisha Alfatunnisa.

Aku menerimanya dengan canggung, akan ada hal apalagi yang akan ku temui. Aku takut semakin susah melupakan Azam.

"Awan pun tahu jika hatimu muram, tiada gerimis tanpa hujan. Layaknya hati yang sakit karena di patahkan di saat yang tidak diinginkan." Hal pertama yang aku dapati di balik surat ini.

Mataku mengembun menatap barisan aksara yang tertera di depan mata. Ribuan ton beban menghimpit dadaku hingga terasa menyesakan dada. Tiada paling menyakitkan dari kisah ini, selain kebodohanku yang tak bisa menghalau luka hatiku sendiri.

Sarah mengenggam tanganku yang mendadak dingin, aku mencoba tetap tersenyum agar tidak terlihat menyedihkan. Azam pasti cerita banyak pada Sarah, haruskah aku juga membagi bebanku pada Sarah?

Tidak, aku akan semakin membuat Azam merasa bersalah dan semua akan berimbas pada pernikahannya dengan Aisha.

"Kakak sudah ikhlas, Sar! Semua sudah menjadi takdir kakak."

Sarah menghela napas, perlahan dia melepas genggaman tangannya.

"Sarah berdoa kakak dapat pengganti Mas Azam. Sarah sayang kakak begitu juga dengan Kak Aisha! Sarah hanya ingin menyampaikan pesan Mas Azam satu tahun lalu. Aku tahu meski ini tidak akan merubah keadaan."

Mata Sarah memerah ketika mengucapkan itu. Aku memeluk dia erat, aku bisa menutupi lukaku dengan pura-pura bahagia. Tidak aku sekarang benar-benar bahagia karena aku hanya kehilangan Azam bukan nyawaku.

"Kakak balik ke ruang guru dulu, kamu mau ikut?" tanyaku pada Sarah. Sarah menggelengkan kepalanya.

Aku berpamitan padanya, tak lupa surat dari Azam aku bawa. Langkah kakiku gontai, lemas kehilangan kekuatan. Tak dapat aku tahan lagi air mata luruh membasahi pipi. Surat dalam genggamanku semakin erat aku pegang.

Bukankah ini sudah jadi pilihanku, mengapa aku masih sedih? Dengan cepat aku menghapus air mata ini.

"Nak, ayo sarapan dulu! Semalam nggak makan nanti magh kamu kambuh!" ucap Ibu saat aku melewati meja makan makan menuju kamarku. Aku kira mereka telah sarapan sejak ternyata perhitunganku salah.

"Sini, kak makan bareng!" ujar Aisha menarik tanganku dia mendudukan aku disampingnya. Aku berhadapan langsung dengan Azam. Lelaki berbaju koko putih itu tampak tenang menyantap sarapannya.

"Dari mana, Nak? Ayah tunggu dari tadi baru muncul?" tanya Ayah saat aku mulai mengambil nasi goreng untuk sarapanku.

"Dari asrama, Yah! Ada apa nungguin Alisha?" Aku balik bertanya. Ayah meneguk air putih di hadapannya sebelum menjawab pertanyaanku.

"Kamu mau kan mengajar lagi di sini, Nak? Sejak kamu di Al-Irsyad, pelajaran tentang sastra Ayah hapus karena tidak ada yang mengisi!" tutur Ayah.

"Iya, Alisha mau, Yah! Kalau sudah ada jadwalnya nanti Alisha mulai mengajar.

Ayah tampak sumringah, lelaki yang sangat aku sayangi itu tersenyum.

"Nanti kamu buat jadwal ulang, Gus! Biar Alisha cepat mengajar lagi!" titah Ayah pada Azam. Ayah membiasakan diri memanggil menantunya dengan sebutan Gus.

Azam, dia bukan seorang anak kyai. Ayah tidak mempermasalahkan dari kalangan kyai atau tidak menantunya. Yang penting dia seiman dan memiliki iman yang kuat. Aku melirik Azam yang tengah menyelesaikan makannya.

"Iya, Yah! Nanti Azam buatkan jadwal ulang. Neng Alisha bisa mulainya kapan?"

Pertanyaan tiba-tiba dari Azam sukses membuat aku tersedak. Tenggorokanku sampai terasa panas. Dengan cekatan Aisha memberikan air putih.

"Pelan-pelan, Nak!" ujar Ibu. Rasa panas masih terasa.

"Maaf, Gus tadi nanya apa?" tanyaku setelah agak merasa mendingan.

"Neng Alisha kapan siap mulai mengajar lagi?" ulang Azam. Terasa ganjil di telinga setiap dia memanggilku dengan sebutan Neng Alisha. Hatiku meringis dia yang selalu memanggilku Dek Alisha, kini berubah menjadi Neng Alisha. Aku mengakui betapa dia menjaga marwah dirinya juga aku dengan bersikap formal.

Masa lalu tetap berada di belakang, betapa lama aku mengenal dia tidak akan berarti apapun saat dia menjadi adik iparku. Terasa lucu dua orang yang saling mengenal, tapi bersikap seolah-olah tidak pernah mengenal.

Dia memang layak menjadi menantu Ayah, sikap sopan santun juga wibawa dia mampu mengemban masa depan Darul Arkom. Meski bukan aku yang menjadi istrinya.

"Lusa mungkin, Gus! Besok saya harus cari buku refensi untuk pembelajaran!" jawabku.

"Nanti saya buat secepatnya, Yah! Untuk menyesuaikan jadwal yang sudah ada," ucap Azam yang di iringi ucapan terima kasih dari Ayah.

Bagaimana mungkin aku mengedepankan egoku, jika akan menyakiti banyak orang. Ayah pernah berucap jika Azam menantu idamanya. Aku hanya memberi senyuman untuk menanggapi ucapannya. Allah sudah tahu aku mampu melewati semua ini. Aisha mungkin lebih membutuhkan Azam. Satu tahun kebersamaanku dengan Azam sudah cukup membuat aku merasa menjadi orang yang paling bahagia. Walau pada akhirnya aku kini merana.

Waktu bergulir begitu cepat, siang berubah menjadi malam. Ternyata tidak semenakutkan yang aku pikirkan kembali ke rumah ini. Rembulan mengintipku dari balik jendela. Aku menatap nanar surat dari Azam satu tahun lalu, warna biru yang hampir pudar. Menegaskan jika dibuat cukup lama.

Kata-kata di balik surat ini, sudah mampu membuat aku mengira isi dari surat ini. Dada mendadak sesak, udara dingin yang di terbangkan angin tidak mampu mendinginkan kepalaku. Haruskah aku membaca isinya? Gamang diri ini, jemariku membelai rangkaian huruf yang berjajar dibalik surat itu.

Ku pejamkan mata, mencari sedikit ketenangan juga kekuatan. Semua harus aku akhiri, ini yang terpampang di depan mata. Yang telah di tuliskan Allah di Lauh Mahfudzku. Gemerlap bintang menjadi saksi dari kepedihan hati. Pengorbananku umtuk orang-orang tercinta.

Alisha Alfatunnisa, bukan wanita egois yang hanya memikirkan kebahagiaannya sendiri. Aku gaungkan namamu di setiap doaku, memanggil namamu dari dalam hatiku. Aku tahu kamu terluka teramat dalam. Busur panahku meleset dan tanpa sengaja mengoyak isi perutmu.

Aku lelaki bodoh, yang tidak mengenal baik orang yang di cinta. Alisha Alfatunnisa bagaimana aku bisa menghapus namamu dari daftar doaku? Meski nanti akan aku temui sosokmu tapi dalam raga kembaranmu.

Kau tahu Alisha, aku mengiba pada Allah bertanya mengapa ini terjadi? Mengapa aku bisa seceroboh ini? Akulah yang paling bersalah. Bukan kamu yang tidak memberi tahu jika kamu kembar ataupun Ibu yang saat itu aku utus untuk memintamu pada Ayah.

1
Afu Afu
jangan bucin alisha,buka hati buat yg lain percm menghro Azam istri nya jg SDH hmil apa yg mau km hrapkan ,plis deh
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!