Rahasia Sang Wanita Besi
Sebagai sekretaris pribadi, Evelyn dikenal sempurna—tepat waktu, efisien, dan tanpa cela. Ia bekerja tanpa lelah, nyaris seperti robot tanpa emosi. Namun, di balik ketenangannya, bosnya, Adrian Lancaster, mulai menyadari sesuatu yang aneh. Semakin ia mendekat, semakin banyak rahasia yang terungkap.
Siapa sebenarnya Evelyn? Mengapa ia tidak pernah terlihat lelah atau melakukan kesalahan? Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, misteri di balik sosok "Wanita Besi" ini pun perlahan terkuak—dan jawabannya jauh lebih mengejutkan dari yang pernah dibayangkan Adrian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Perangkap yang Mematikan
Malam itu, hujan turun dengan deras. Rintiknya menghantam jendela kaca kantor Evelyn, menciptakan irama monoton yang memenuhi keheningan ruangan.
Evelyn duduk di balik meja, menatap layar laptopnya yang kini sudah pulih setelah serangan siber sebelumnya. Damian telah bekerja keras untuk mengembalikan data yang sempat terhapus, tetapi sebagian besar jejak transaksi yang mereka cari telah hilang.
Namun, itu tidak berarti mereka kehabisan cara.
Evelyn mengetukkan jarinya ke meja, berpikir dalam-dalam.
“Jika kita tidak bisa mengejarnya dari jalur digital, maka kita harus memancingnya keluar,” gumamnya.
Adrian, yang berdiri bersandar di ambang pintu, menyilangkan tangan. “Kau yakin dengan ini?”
Tatapan Evelyn bertemu dengannya, penuh tekad. “Tidak ada cara lain. Aku akan menjadi umpan.”
Damian, yang sedang mengutak-atik laptopnya, mendengus. “Kau tahu ini gila, kan?”
Evelyn tersenyum tipis. “Kegilaan kadang diperlukan untuk menang.”
Rencana mereka sederhana tetapi berbahaya.
Evelyn akan secara terbuka mencari informasi lebih dalam tentang transaksi misterius itu, seolah-olah dia tidak tahu bahwa ada bahaya mengintai. Dia akan membiarkan namanya muncul di berbagai laporan investigasi, memberi kesan bahwa dia hampir menemukan sesuatu yang besar.
Tujuannya hanya satu: memaksa si pengkhianat untuk bergerak.
Adrian dan Damian akan berada di balik layar, mengawasi setiap pergerakan yang mencurigakan.
“Kita hanya perlu satu kesalahan dari mereka,” kata Damian, “dan kita bisa melacaknya.”
Adrian mengangguk. “Tapi jika ini jebakan, kau harus siap.”
Evelyn tersenyum miring. “Aku selalu siap.”
Tiga hari setelah rencana mereka dimulai, suasana mulai berubah.
Orang-orang di sekitar Evelyn semakin berhati-hati saat berbicara dengannya. Beberapa bahkan terlihat gugup saat berada di dekatnya.
Ponselnya menerima pesan-pesan aneh yang hanya berisi satu kata: Berhenti.
Tetapi yang paling menarik adalah fakta bahwa seseorang telah mencoba mengakses database pribadinya.
“Mereka mulai bergerak,” kata Damian sambil menatap layar laptopnya. “Seseorang berusaha meretas akunmu tadi malam.”
Evelyn menyesap kopinya dengan tenang. “Bagus. Itu berarti mereka mulai panik.”
Adrian duduk di seberangnya, ekspresinya serius. “Tapi kita masih belum tahu siapa mereka.”
Damian mengetik cepat di laptopnya. “Aku sedang melacak alamat IP yang digunakan untuk meretasmu. Tapi ini tidak mudah, mereka memakai proxy yang sangat canggih.”
Evelyn tersenyum tipis. “Kita lihat siapa yang lebih cerdas.”
Malam itu, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Ketika Evelyn keluar dari kantor, dia merasa ada yang tidak beres. Jalanan terasa lebih sepi dari biasanya, dan udara di sekitar seperti menyimpan bahaya yang tidak terlihat.
Dia mencoba mengabaikannya, tetapi langkahnya tetap berhati-hati.
Namun, ketika dia sampai di tempat parkir bawah tanah, semuanya menjadi jelas.
Seorang pria bertopeng hitam sudah menunggunya di sana.
Evelyn langsung waspada. Dia bisa merasakan aura membunuh dari pria itu, meskipun dia belum bergerak.
“Aku sudah memperingatkanmu,” suara pria itu terdengar dingin.
Evelyn menatapnya tajam. “Dan aku tidak pernah mendengarkan ancaman.”
Pria itu tidak menjawab. Dia hanya mengangkat tangannya—dan dalam sekejap, dua orang lain muncul dari balik bayangan, masing-masing memegang pisau.
Perangkap ini akhirnya terungkap.
Tetapi yang tidak mereka ketahui adalah, Evelyn juga sudah siap.
Tanpa ragu, Evelyn meraih pistol kecil di balik jaketnya dan melepaskan satu tembakan ke udara.
DOR!
Suara tembakan itu menggema di tempat parkir, memberi sinyal kepada Adrian dan Damian yang sudah bersiap di sekitar area.
Pria bertopeng itu langsung bergerak, mencoba menyerang Evelyn dengan kecepatan tinggi.
Tetapi Evelyn sudah mengantisipasinya. Dia menghindar ke samping dan menendang salah satu pria bersenjata, membuatnya terhuyung mundur.
Sementara itu, Adrian dan Damian muncul dari sisi lain parkiran.
Adrian langsung menembak pria bertopeng di kaki, membuatnya jatuh ke tanah dengan erangan kesakitan.
Damian menahan pria lainnya dengan pisau di leher mereka. “Sepertinya kalian salah memilih lawan,” katanya dingin.
Evelyn berjalan mendekati pria bertopeng yang kini terbaring dengan darah mengalir dari kakinya.
Dia berjongkok, menatapnya dengan mata dingin.
“Siapa yang mengirimmu?” tanyanya.
Pria itu hanya terdiam, tetapi matanya penuh ketakutan.
Adrian menghela napas. “Sepertinya dia tidak akan bicara.”
Evelyn menyeringai. “Oh, dia akan bicara.”
Dia mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi yang langsung terhubung ke sistem keamanan mereka.
Dalam hitungan detik, rekaman CCTV dari tempat itu muncul di layar ponselnya.
“Jika kau tidak bicara,” lanjutnya, “aku akan memastikan wajahmu tersebar di seluruh jaringan kriminal di kota ini. Kau akan menjadi buruan semua orang.”
Pria itu menelan ludah, ketakutan mulai muncul di wajahnya.
“Baik… baik!” katanya akhirnya. “Aku hanya orang suruhan… Aku tidak tahu siapa bosnya, tapi dia memberiku instruksi lewat pesan terenkripsi.”
Evelyn menatap Adrian dan Damian.
“Instruksi?” tanya Damian tajam. “Apa yang dia minta darimu?”
Pria itu menggigit bibirnya, ragu-ragu sebelum akhirnya berkata pelan,
“Menghancurkan kalian.”
Evelyn berdiri di balkon apartemennya malam itu, menatap lampu kota yang berkelap-kelip di kejauhan.
Mereka telah menangkap pria itu, tetapi masih ada banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Siapa yang berada di balik ini semua?
Mengapa mereka ingin menghancurkan Evelyn dan timnya?
Dan yang paling penting—seberapa dalam konspirasi ini?
Adrian mendekatinya, membawa segelas anggur. “Penny untuk pikiranmu?”
Evelyn tersenyum tipis, mengambil gelas itu. “Aku hanya berpikir… bahwa kita baru saja membuka pintu ke sesuatu yang lebih besar dari yang kita duga.”
Damian, yang duduk di sofa, mengangguk. “Dan kita tidak bisa berhenti sekarang.”
Evelyn menyesap anggurnya. Matanya penuh dengan api tekad.
“Tidak. Kita harus terus maju.”
Hujan masih mengguyur kota, menciptakan genangan di jalanan yang berkilauan di bawah cahaya lampu jalan. Di dalam apartemen Evelyn, suasana terasa tegang. Damian duduk di depan laptopnya, jari-jarinya menari di atas keyboard, mencoba melacak sumber pesan terenkripsi yang dikatakan pria bertopeng tadi.
Adrian berdiri di dekat jendela, matanya menatap ke luar dengan penuh kewaspadaan. Dia sudah lama bekerja di dunia ini dan tahu bahwa serangan tadi malam hanyalah permulaan. Musuh mereka tidak akan berhenti hanya karena satu misi gagal.
Evelyn sendiri bersandar di meja dapur, memainkan gelas anggur di tangannya. Tatapannya kosong, tetapi pikirannya bekerja cepat.
Siapa yang sebenarnya mengincarnya?
Dan yang lebih penting, kenapa sekarang?
Setelah bertahun-tahun bekerja tanpa cela sebagai sekertaris Adrian, dia selalu berpikir dirinya hanyalah seorang wanita yang tenggelam dalam pekerjaan, seorang "robot" yang hanya tahu bagaimana menyelesaikan tugas. Tapi sekarang, semuanya terasa lebih rumit.
Adrian akhirnya memecah keheningan. “Kita harus menekan pria itu lebih dalam.”
Evelyn mengangguk. “Dia pasti tahu sesuatu yang belum dia katakan.”
Damian mendesah. “Kita bisa menekannya, tapi ada risiko dia mati sebelum berbicara. Orang-orang seperti dia pasti memiliki protokol perlindungan.”
“Apa maksudmu?” tanya Evelyn.
Damian memutar layar laptopnya ke arah mereka. “Aku sudah memeriksa identitasnya. Namanya tidak terdaftar di sistem mana pun. Tidak ada sidik jari, tidak ada rekam medis, tidak ada catatan kepolisian.”
Adrian mengernyit. “Jadi dia seperti hantu?”
“Bukan seperti, dia memang hantu. Satu-satunya cara seseorang bisa sebersih ini adalah jika dia bagian dari proyek rahasia atau…” Damian berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “…jika dia sengaja dihapus dari sistem.”
Evelyn mengepalkan tangannya. “Itu berarti seseorang dengan kekuatan besar ada di balik ini semua.”
Adrian menatapnya dengan tajam. “Dan mereka tahu siapa kau.”
Keesokan paginya, mereka bertiga kembali ke kantor seperti biasa. Tidak ada tanda-tanda serangan lebih lanjut, tetapi atmosfer di sekitar mereka terasa lebih dingin.
Evelyn duduk di mejanya, matanya menyapu layar komputer. Dia memeriksa jadwal Adrian, membaca ulang setiap pertemuan yang akan datang.
Salah satu nama di daftar itu menarik perhatiannya. Leonard Verhoven.
CEO sebuah perusahaan teknologi yang baru saja mulai bekerja sama dengan perusahaan Adrian.
Sekilas, nama itu tidak mencurigakan. Tapi Evelyn memiliki kebiasaan untuk selalu memeriksa latar belakang setiap orang yang berurusan dengan bosnya.
Dan ada sesuatu tentang Leonard yang terasa… salah.
Dia mengetik namanya ke dalam sistem pencarian internal mereka dan menemukan sesuatu yang mengejutkan.
Leonard Verhoven terlibat dalam beberapa proyek keamanan tingkat tinggi, termasuk yang berhubungan dengan teknologi enkripsi dan penghapusan data digital.
Seketika itu juga, Evelyn merasa jantungnya berdegup lebih cepat.
Apakah mungkin… Leonard adalah dalang di balik serangan ini?
Dia segera mengirim pesan ke Damian dan Adrian.
“Kita harus menyelidiki Leonard Verhoven. Sekarang.”
Malam itu, Adrian memiliki pertemuan makan malam dengan Leonard di sebuah restoran mewah di pusat kota. Evelyn menemaninya, seperti biasa.
Leonard adalah pria berusia sekitar empat puluhan, dengan rambut hitam rapi dan senyum yang terlalu sempurna untuk dianggap alami.
Saat mereka duduk, Leonard menatap Evelyn dengan tatapan yang tajam. “Sekertarismu ini sangat berbakat, Adrian. Kudengar dia sangat teliti dalam pekerjaannya.”
Adrian hanya tersenyum tipis. “Evelyn adalah aset terbaik yang dimiliki perusahaan ini.”
Evelyn menatap Leonard dengan penuh kewaspadaan. “Anda memberi saya terlalu banyak pujian, Tuan Verhoven.”
Leonard terkekeh. “Oh, saya hanya menghargai orang-orang yang tahu bagaimana menggali informasi dengan benar.”
Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Evelyn semakin curiga.
Selama makan malam berlangsung, Evelyn diam-diam memperhatikan setiap gerakan Leonard. Setiap kata yang diucapkannya terasa seperti memiliki makna tersembunyi.
Namun, titik puncaknya terjadi ketika Leonard mencondongkan tubuhnya ke depan dan berbisik,
“Kau harus berhenti mencari, Nona Evelyn. Sebelum terlambat.”
Darah Evelyn membeku seketika.
Dia menatap Leonard, berusaha membaca ekspresinya. Tetapi pria itu hanya tersenyum tenang, seolah-olah dia baru saja mengatakan sesuatu yang tidak berarti.
Namun Evelyn tahu lebih baik.
Ini adalah ancaman.
Malam itu, setelah pertemuan berakhir, Evelyn kembali ke apartemennya dengan perasaan tidak nyaman.
Ancaman Leonard terus terngiang di kepalanya.
Saat dia membuka pintu apartemen, perasaannya semakin buruk.
Semua terasa… terlalu sepi.
Dia meraih pistol kecil yang selalu disimpannya di dalam tas dan berjalan perlahan ke dalam.
Dan saat itulah dia menyadarinya—seseorang telah berada di sini sebelum dirinya.
Lampu dapur yang seharusnya mati kini menyala. Laci tempatnya menyimpan dokumen penting sedikit terbuka.
Seseorang telah menggeledah apartemennya.
Detik berikutnya, dia mendengar suara langkah kaki di belakangnya.
Tanpa berpikir panjang, Evelyn berbalik dan menembak.
DOR!
Tembakannya meleset, hanya mengenai dinding. Tapi itu cukup untuk membuat penyusup itu bergerak lebih cepat.
Orang itu mencoba menyerangnya, tetapi Evelyn sudah siap. Dia menghindari pukulan pertama, lalu menendang kaki pria itu, membuatnya kehilangan keseimbangan.
Namun, sebelum Evelyn bisa melakukan serangan lanjutan, pria itu mengeluarkan pisau dan menyerang dengan cepat.
Evelyn nyaris tidak sempat menghindar. Pisau itu mengenai lengannya, meninggalkan luka yang cukup dalam.
Tapi dia tidak menyerah. Dengan satu gerakan cepat, dia meraih benda terdekat—sebuah vas kaca—dan menghantamkan ke kepala pria itu.
Pria itu jatuh ke lantai dengan erangan. Darah mengalir dari dahinya.
Napas Evelyn terengah-engah. Dia meraih ponselnya dan segera menelepon Adrian.
“Seseorang baru saja mencoba membunuhku,” katanya dengan suara tajam.
Di seberang telepon, Adrian mengumpat pelan. “Aku akan segera ke sana.”
Evelyn menatap pria yang masih tergeletak di lantai. Dia tahu satu hal dengan pasti:
Ini bukan serangan terakhir.
Seseorang menginginkan dirinya mati.
Dan dia akan menemukan siapa pelakunya—tidak peduli berapa pun harga yang harus dibayar.
Kalo berkenan boleh singgah ke "Pesan Masa Lalu" dan berikan ulasan di sana🤩
Mari saling mendukung🤗