Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.
Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.
Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.
Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ingin kembali?
..."Hidupkan lagi semangat kita untuk menerbitkan sebuah senyuman bahagia"...
...•...
...•...
Seluruh siswa-siswi yang Zevan lalui menjadi salah fokus saat mereka melihat logo dari sebuah geng yang sangat amat tenar dulunya. Tapi geng tersebut seakan-akan telah lenyap dan tidak pernah menampakkan diri. Sekarang, seorang wakil-lah yang akan menghidupkan kembali. Dengan kepercayaan dirinya, Zevan melewati lorong dengan menenteng tasnya. Anggota CSSP yang berada di koridor pun tersenyum saat melihat logo yang sangat mereka rindukan.
"APA CSSP BAKAL KEMBALI??" Teriak seseorang dari belakang Zevan dengan senyum mengembang.
Zevan berbalik dan mengacungkan jempolnya. Glen langsung menyambar bahu Zevan untuk ia peluk. "Mau kayak dulu lagi nih..."
"Ketua."
Glen sedikit membulatkan matanya. Bukankah Zevan hanya sebatas wakil? Lalu mengapa ia menjawab ketua?
"Kok ketua?"
Zevan menyunggingkan senyuman tipisnya. "Karena gua yang bakal gantiin Nathan."
Saat nama Nathan disebut, seorang gadis yang awalnya menatap mading sekolah tanpa melihat hal ramai apa yang sedang murid lainnya lihat hingga menimbulkan suasana keramaian di pagi hari, pun menoleh mencari sumber suara. Sontak ia kaget dengan logo yang berbeda di dada Zevan dengan membulatkan matanya.
Logo yang sama saat ia melihat Nathan sedang berfoto di sebuah gambar yang ia temui di kamar laki-laki tersebut. Zea mendekati Zevan dan langsung berhenti di hadapan laki-laki tersebut dengan temannya. "Lo..."
"Kenapa?" Sahut Zevan.
"Lo anggota Caspe?" Tanya Zea.
"Caspe itu nama yang Zevan buat," balas Glen.
Zea menganggukkan kepalanya paham. Ternyata Zevan termasuk dalam 9 anggota CSSP yang sering ia baca di tablet milik Nathan. Di sana terdapat data keuangan dan berapa jumlah orang yang menerima bantuan. Zea tidak menyangka jika Zevan salah satu anggota CSSP. Bahkan orang yang sangat dekat dengan abangnya, Nathan.
"Lo itu apanya?" Tanya Zea lagi.
"Gua wakilnya, tapi sekarang gua ketuanya," jawab Zevan dengan percaya diri.
"Ohh..."
"Tujuan lo pakai gituan buat apa?" Tunjuk Zea pada jaket kulit CSSP.
"Pengen gua hidupin lagi biar kayak dulu." Zevan menatap Zea yang terlihat sangat ingin tahu mengenai CSSP. Mungkin gadis itu sudah tahu beberapa tentang Cassiopeia, tapi tidak benar-benar semuanya. Zevan yakin dengan itu. "Emang kenapa? Lo kayaknya kepo sama geng ini."
Zea menggeleng. "Nggak, terserah lo mau apain itu geng. Asalkan jangan mencemari namanya."
Zea berbalik dan melangkahkan kakinya meninggalkan Zevan dan Glen yang tengah menatap kepergiannya. "Adiknya mantan ketu kita orangnya pengintegrasian, ya? Semenjak ketemu dia di bus awalnya gua kira polos, ternyata polos-polos mengerikan waktu gua lihat nilainya," kata Glen menatap gadis yang tengah mengintrogasi Zevan tadinya.
"Tanggapan lo salah. Dia cewek yang jauh dari pikiran lo kalau lo tau cerita di balik tubuhnya yang pendek."
Glen menatap Zevan aneh. "Lo lagi ngejek apa gimana?"
"Nggak, sih. Gua bicara soal fakta." Zevan langsung meninggal Glen menuju kelasnya.
Sementara itu, Glen justru hanya menatap punggung Zevan tanpa ada keinginan mengikutinya. Padahal kelasnya sama.
...••••...
Zea duduk di bangkunya dengan menatap Arlan aneh. Baru pagi bukannya belajar seperti yang ia lihat seperti biasa, justru Arlan sedang bermain game di ponselnya. Aneh bukan?
"Tumben lo main? Lagi bosen belajar?" Tanya Zea dari belakang.
Arlan melirik Zea sekilas dan melanjutkan permainannya tanpa menjawab pertanyaan gadis tersebut.
"Nyesel gua SKSD ke dia," lirih Zea. Ia mengeluarkan buku-bukunya dan mulai belajar mengenai materi biologi yang akan ada penilaian hari ini.
Wawan baru saja memasuki kelas dengan menenteng tasnya. Manik matanya melihat Zea yang sibuk belajar, sementara telinga Arlan tersumpal earphone dengan layar ponsel yang terlihat tengah bermain game. Ia meletakkan tasnya dan menghampiri Zea untuk menanyakan sesuatu mengenai tugas kimianya.
"Emh... Permisi, nanti pulang sekolah kita jadi ke rumah dia?" Wawan menunjuk punggung Arlan yang berada di depan Zea.
Volume yang Arlan setel itu kecil, jadi ia dapat mendengar pertanyaan Wawan pasal tugas kelompok kimianya. Ia melepaskan earphonenya dan membalikkan tubuh tingginya, lalu menatap kedua anggota kelompoknya yang sedang menatapnya juga.
"Awas aja kalau kalian berdua nggak ke rumah gua nanti pulang sekolah. Tapi terserah kalian, lah! Tinggal coret nama aja susah," ancam Arlan.
"Awas aja lo main coret-coret nama gua, gua gorok leher lo!" Ancam balik Zea menatap manik mata tajam laki-laki itu.
"Emh... Gua nggak tahu rumah lo," kata Wawan.
"Nanti gua sherlok."
Setelah mengucapkannya, Arlan kembali membalikkan tubuhnya dan mulai fokus ke layar ponselnya dengan memasang earphone yang sempat ia lepaskan.
Tiba-tiba guru datang langsung membagikan selebaran soal kepada siswa-siswi di kelas termasuk Zea dan Arlan. Sangat terdengar jelas suara helaan nafas, umpatan, keluh kesah, dan grasak-grusuk di kelas untuk menyiapkan dirinya.
Mau heran, tapi guru biologi adalah guru killer. Sangat dadakan, tidak memberikan waktu sejenak saat memasuki kelas, melainkan langsung memberikan selembar kertas penilaian harian. Jujur saja, Arlan tidak belajar pagi ini, ia hanya belajar tadi malam dengan Variel yang tertidur di kamarnya.
Zea mengerutkan keningnya saat mendengar suara helaan nafas Arlan di depannya. Bukankah laki-laki itu akan bergerak cepat untuk mengerjakan soal-soal seperti biasa? Lalu mengapa menghela nafas dengan menopang dagu dan hanya menatap lembaran tersebut?
"Kok kamu ngelamun, Zea? Ada masalah?" Tanya guru biologi tersebut dari tempat duduknya di depan sana.
Itu membuat seisi kelas meliriknya yang membuat Zea tidak nyaman. Ia hanya menggelengkan kepalanya dengan tersenyum tipis dan berkata, "Tidak, Bu."
"Silahkan dikerjakan!"
"Baik, Bu...," jawab sekelas serempak.
Suasana senyap, hanya suara jam dinding yang terdengar jelas di kelas, selebihnya suara suara dari luar. Arlan menggaruk rambut kepalanya saat membaca soal yang di luar kepalanya. Ini tidak ada sangkut-pautnya dengan materi di catatan, bahwa jauh di luar nalar.
Sementara itu, Zea sangat lancar mengerjakannya. Bahkan, sebuah senyuman terbit dari bibirnya karena mencapai akhir soal. Ia langsung berdiri mengumpulkan lembar soal tersebut beserta jawaban dan kembali ke tempat duduknya. Lega....
Membereskan barang-barangnya di meja dan meletakkan kepalanya di atas lipatan tangannya untuk menunggu bell berbunyi dengan menutup mata.
"Tck!"
Zea tersenyum tipis mendengar suara Arlan berdecak. Ia berhasil lagi kali ini.
...••••...
"Ini beneran rumah dia?" Tanya Zea kepada Wawan yang berdiri di sebelahnya.
"Maaf, neng. Cari siapa?" Tanya seorang pria yang menghampiri kedua insan yang masih terbalut seragam.
"O-oh. Arlan-nya ada, Pak? Kita udah buat janji ke sini, kok," jawab Zea.
"Ohh... Temennya den Arlan. Silahkan masuk, sudah ditunggu di belakang rumah."
"Belakang rumah?" Beo Zea.
"Iya, kalian ke sini mau eksperimen kimia, kan?" Zea menganggukkan kepala bersama Wawan. "Nah! Den Arlan sudah menyiapkan semuanya di belakang rumah."
Otak Zea baru saja terkoneksi. Pria yang berseragam satpam itu pun membukakan gerbang pintu rumah dan mempersilahkan kedua teman Arlan untuk masuk.
Sebenarnya Zea dan Wawan tidak tahu di mana letak belakang rumah yang dimaksud pak satpam tadi, jadi mereka hanya menuju belakang rumah tersebut dengan sesekali melihat taman di sisi pagar. Saat mencapai belakang rumah besar itu, manik mata Zea bertemu dengan manik mata Variel yang sedang bermain bersama anak kucing di bawah pohon sedang tersenyum.
Zea awalnya membalas senyumannya tersebut, tapi saat otaknya mencerna sesuatu dari tatapan mata Variel, senyumannya memudar. Bibir bocah itu memang tersenyum, tapi tidak dengan matanya. Bahkan terlihat jelas jika mata itu sangatlah sendu.
Wawan hanya diam celingak-celinguk melihat sekeliling taman dengan memegangi tasnya. "Mana Arlan?"
"Nggak tau," jawab Zea tanpa melihat Wawan sedikit pun. Ia berjalan perlahan menghampiri Variel dengan tersenyum agar bocah itu tidak takut dengannya.
"Kakak siapa?" Tanya Variel, seraya meletakkan anak kucing tersebut di atas tanah rerumputan.
"Halo, nama kakak, Zea." Zea mengajak Variel bersalaman, namun tangan Variel seolah-olah enggan untuk membalasnya.
Tapi saat melihat mata perempuan di depannya, hatinya menghangat karena tatapan Zea sangatlah dalam. "Variel," jawabnya dengan membalas tangan Zea sebentar, lalu menariknya kembali.
"Hai, Variel. Nama kamu bagus, kayak orangnya. Ganteng."
Entah angin dari mana, sorot mata Variel berbeda saat mendapatkan pujian dari Zea. Kini mata itu terlihat benar-benar tersenyum, tidak seperti sebelumnya.
"Ngapain lo?"
Sontak Zea menoleh ke sumber suara. Pandangan matanya langsung menabrak mata Arlan yang berjalan ke arahnya. "Nggak ngapa-ngapain, ya, kan, Riel?"
Variel hanya tersenyum tipis menatap Zea dan kembali menatap abangnya.
"Kamu masuk dulu, Riel," pinta Arlan yang langsung Variel lakukan.
Bocah itu berjalan memasuki rumah dengan melirik Zea sebentar seraya tersenyum lagi.
"Lo apain dia? Kok bisa ramah ke lo?" Tanya Arlan melirik gadis di sebelahnya.
"Ada, deh."
...••••...
"Ini aja nggak, sih?" Tunjuk Glen pada sebuah gambar jaket kulit yang menurutnya keren.
"Yang ini aja," tunjuk Lino pada gambar yang berbeda.
"Kurang itu. Yang ini aja, lebih keren," balas Glen dengan mengacungkan kedua jempolnya.
"Gua pilih yang ini." Telunjuk Zevan menunjuk gambar yang berbeda dari teman-temannya.
"Terserah, deh. Yang. Penting seragam baru," kata Lino dengan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi yang ia duduki.
Zevan ternyata sudah mematangkan niatnya untuk kembali menghidupkan geng Cassiopeia yang telah hiatus kurang lebih setengah tahun dari lingkungan masyarakat. Kini, ia sedang berdiskusi dengan anggota-anggota Caspe untuk mencari seragam barunya karena telah lama tidak dipakai dan telah kusut tertimbun baju baru dan juga kenangannya.
Linda sedari tadi hanya ikut menyimak di samping Lino. "Kita beneran mau balik kayak dulu?"
Refleks, seluruh anggota Caspe menatapnya dengan tatapan mata yang sama dengan Zevan. Ternyata seluruh anggota Caspe sangat menginginkan CSSP kembali seperti dulu. Yang selalu membantu dan berbuat hal positif pada masyarakat di sekitarnya.
"Dia gimana?" Tanya Glen.
"Dia siapa?" Balas Zevan yang masih menatap layar tabletnya tanpa mengalihkan arah pandangnya.
"Raja, dan Arlan."
Jemari tangan Zevan langsung berhenti mengusap layar tabletnya saat mendengar nama pengkhianat itu. "Ngapain dipikir? Orang pengkhianat kok dipikirin. Ya, nggak guys?"
Seluruh anggota Caspe langsung menjawab dengan suara keras mereka yang juga kesal dengan Glen yang menyebut nama sang pengkhianat itu. Raja yang tidak ingin kalah dengan bakatnya dengan Nathan dulu, dan Arlan yang juga tidak ingin kalah dengan kepintaran Nathan, dari sudut pandang Zevan.
"Pengkhianat berkedok teman," kata Zevan.
...••••...
...TBC....