Namira, wanita karier yang mandiri dan ambisius terpaksa menjalani pernikahan paksa demi menyelamatkan nama baik dan bisnis keluarganya. Namun pria yang harus dinikahinya bukanlah sosok yang pernah ia bayangkan. Sean, seorang kurir paket sederhana dengan masa lalu yang misterius.
Pernikahan itu terpaksa dijalani, tanpa cinta, tanpa janji. Namun, dibalik kesepakatan dingin itu, perlahan-lahan tumbuh benih-benih perasaan yang tak bisa diabaikan. Dari tumpukan paket hingga rahasia masalalu yang tersembunyi. Hingga menyeret mereka pada permainan kotor orang besar. Namira dan Sean belajar arti sesungguhnya dari sebuah ikatan.
Tapi kalau dunia mulai tau kisah mereka, tekanan dan godaan muncul silih berganti. Bisakah cinta yang berbalut pernikahan paksa ini bertahan? ataukah takdir akan mengirimkan paket lain yang merubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35_Luka yang Disembuhkan
Langit pagi itu berwarna abu-abu lembut, seperti kabut tipis yang menyelimuti kota yang mulai menggeliat kembali setelah badai panjang. Di pelataran rumah sakit, pepohonan bergoyang pelan ditiup angin sejuk. Udara pagi membawa aroma dedaunan basah, seperti pertanda baru: sesuatu telah bergeser. Sesuatu telah berubah.
Namira duduk di kursi roda, mengenakan sweter hangat dan selimut yang menyelimuti kakinya. Ia menatap langit, lalu memejamkan mata sejenak. Udara pagi ini terasa berbeda lebih ringan, lebih lapang. Seolah seluruh beban yang lama ia simpan perlahan mencair bersama embun.
“Apa kamu siap kembali ke dunia luar?” tanya Sean yang berdiri di sampingnya, menggenggam gagang kursi roda.
Namira membuka mata.
“Aku tidak tahu. Tapi aku tidak ingin bersembunyi lagi.”
Sean tersenyum.
“Itu sudah lebih dari cukup.”
Ia mendorong perlahan kursi roda itu, membawa Namira menyusuri jalur setapak di taman rumah sakit. Di kejauhan, mereka melihat Anton dan Nina sedang duduk di bangku kayu, berdiskusi sambil membuka laptop dan dokumen. Wajah mereka serius, namun tetap ada sinar semangat yang tak bisa disembunyikan.
“Aku masih ingat hari itu,” ujar Namira perlahan, “ketika aku nyaris menyerah. Ketika semuanya terasa terlalu berat. Tapi sekarang... aku bisa tersenyum.”
Sean menghentikan langkahnya. Ia berlutut di hadapan Namira, menatapnya dalam.
“Kamu pernah bilang kalau kamu ingin menjadi kuat. Tapi aku ingin kamu tahu, menjadi kuat bukan berarti menanggung semuanya sendirian. Menjadi kuat berarti tahu kapan kamu harus merangkul tangan orang lain.”
Namira menatap Sean. Matanya hangat, “dan kamu ada di sana saat aku akhirnya berani meminta tolong.”
Sean menggenggam tangan Namira.
“Aku tidak pernah akan membiarkanmu jatuh sendiri lagi. Kamu tidak hanya layak untuk dicintai... kamu layak untuk dilindungi, dihormati, dan didengar.”
***
Di ruang konferensi salah satu media independen, Nina berdiri di depan para jurnalis yang bersedia mengangkat kasus ini dengan integritas.
“Kami sudah menyerahkan semua bukti pada pihak kejaksaan. Tapi kami tahu itu belum cukup,” ujar Nina lantang.
“Opini publik juga harus dibentuk ulang. Banyak korban lain yang diam karena takut, karena malu, karena mereka pikir suara mereka tidak penting. Tapi Namira telah menunjukkan bahwa satu suara pun bisa mengguncang tembok kekuasaan.”
Salah satu jurnalis mengangkat tangan.
“Apakah Namira bersedia memberikan testimoni langsung dalam wawancara publik?”
Nina menatap Anton yang mengangguk, lalu menjawab, “Ia akan mempertimbangkannya. Tapi yang lebih penting sekarang, bukan siapa yang bicara melainkan kebenaran yang akhirnya punya ruang untuk didengar.”
***
Sore itu, Namira akhirnya diizinkan pulang. Sean menjemputnya, sementara Anton dan Nina menyiapkan ruangan di sebuah kontrakan sederhana sebagai tempat singgah sementara. Mereka memutuskan untuk menjaga Namira dari sorotan media yang mulai gencar.
“Tempat ini mungkin kecil,” kata Anton saat Namira masuk ke dalam, “tapi cukup nyaman untuk menyusun strategi baru.”
Namira tersenyum kecil.
“Kadang, ruang kecil dengan orang yang tepat terasa lebih luas daripada istana yang kosong.”
Malam itu, mereka berempat duduk melingkar di ruang tamu, mengatur rencana lanjutan. Sean mengambil kertas besar dan mulai menggambar skema.
“Bima sudah terpojok. Tapi kita tahu, masih ada orang-orang di belakangnya yang akan berusaha menyelamatkan namanya. Mereka bisa saja memutarbalikkan fakta lagi. Jadi kita harus tetap selangkah di depan.”
Anton menunjuk layar laptop.
“Salah satu donatur yayasan Bima ternyata juga terhubung dengan perusahaan media yang sempat menyebarkan berita bohong itu. Kalau kita bisa bongkar koneksi ini, maka kita bisa menunjukkan bahwa ini bukan hanya skandal pribadi. Ini konspirasi sistematis.”
Nina menambahkan, “dan aku juga sedang menghubungi komunitas jurnalis perempuan. Mereka ingin menyuarakan ini dalam bentuk kampanye sosial.”
Namira mendengarkan semuanya. Di dalam dadanya, rasa sakit lama masih membekas, tapi untuk pertama kalinya ia merasa punya kendali. Ia tidak lagi menjadi objek cerita. Ia adalah penulisnya.
“Aku ingin ikut bicara di kampanye itu,” ujar Namira.
“Bukan untuk membuka luka lama, tapi untuk menunjukkan bahwa luka bisa disembuhkan dan bahwa diam bukan satu-satunya pilihan.”
***
Di tempat lain, Bima duduk di balik meja dalam sel tahanan yang sunyi. Wajahnya kuyu. Ia menerima sepucuk surat dari pengacaranya yang baru datang.
“Semua aset Anda telah dibekukan. Beberapa partner bisnis juga mulai menarik diri dan berita pagi ini...” sang pengacara menyerahkan surat kabar.
Di halaman depan terpampang foto Namira dengan tajuk besar:
"Saat Perempuan Berdiri: Suara yang Tak Bisa Dibungkam Lagi."
Bima menghempaskan surat kabar itu ke lantai.
“Semuanya... sudah terlepas dari tanganku.”
Pengacaranya hanya menatapnya datar, “dan itu terjadi karena kamu selalu percaya bahwa uang bisa membeli segalanya.”
...****************...
Esok harinya, Namira berdiri di atas panggung kecil di sebuah aula komunitas. Wajahnya tenang, suaranya mantap. Di hadapannya, puluhan perempuan menyimak dengan mata berkaca-kaca.
“Aku pernah takut. Aku pernah merasa bahwa dunia akan selalu memihak yang lebih kuat. Tapi aku salah. Dunia memang tidak selalu adil, tapi kita bisa membuatnya lebih baik dengan saling mendengar, saling menguatkan.”
Ia memegang mikrofon dengan kedua tangan.
“Luka yang pernah kupendam, kini menjadi senjataku. Bukan untuk menyerang, tapi untuk melindungi. Aku ingin kalian tahu... kita punya suara dan suara itu berharga.”
Kebenaran tidak hanya untuk ditegakkan di pengadilan. Tapi juga untuk menghidupkan kembali harapan dalam hati yang pernah hancur. Suara yang berani adalah cahaya bagi mereka yang masih dalam gelap.
Di belakang panggung, setelah acara selesai, seseorang mendekati Anton diam-diam.
“Ada hal lain yang perlu kalian tahu,” katanya lirih.
Anton menatapnya curiga.
“Tentang apa?”
Orang itu menyodorkan sebuah flashdisk kecil.
“Masih ada satu nama besar yang belum kalian sentuh. Bima hanya permukaan yang di balik semua ini... lebih kuat, lebih licik dan mereka belum selesai.”
Anton menggenggam flashdisk itu erat. Permainan belum benar-benar usai. Tapi mereka juga belum selesai bertarung.
YA TUHANNN. GA KEBAYANG GIMANA HANCURNYA SEAN /Sob//Sob/