Aku Raima Nur Fazluna, gadis yang baru saja menginjak usia 21 tahun. Menikah muda dengan Sahabat Kakakku sendiri yang sudah tertarik sejak awal pertemuan kita.
Namanya Furqan Hasbi, laki-laki yang usianya berbeda 5 tahun di atasku. Dia laki-laki yang sudah menyimpan perasaannya sejak masa sekolah dan berjanji pada dirinya sendiri akan menikahiku suatu saat nanti ketika dirinya sudah siap dan diantara kita belum ada yang menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06
Aku hanya terdiam mendengarnya. "Gimana jawabnya ini?" batinku.
"Neng?" panggilnya. "Masih di situ kan?" tanya Kak Furqan.
"Masih kok Kak," jawabku. "Cuman bingung aja jawabnya gimana."
Dia terkekeh mendengarnya. "Kalau belum siap juga gak apa-apa," ujarnya.
"Aku pikir-pikir dulu deh ya!" pintaku.
"Iya gak apa-apa," jawabnya. "Besok aku ke rumah mau nagih jawabannya."
Mataku terbuka sepenuhnya. "Kok besok,-"
Tut.....
Panggilannya langsung terputus setelahnya. Aku masih kebingungan dengan jawabannya. "Mana bisa mutusin besok."
Aku langsung berlari sembari teriak memanggil Bang Daffa yang sudah masuk ke kamarnya bersama Kak Asya. "BANG DAFFA....."
Bang Daffa keluar dari kamarnya berikut dengan Kak Asya yang menyusulnya dari belakang. "Kenapa? Ada apa?" tanyanya Bang Daffa dengan wajah paniknya.
"Kak Furqan ngajakin aku ke rumahnya," ungkap-ku.
Bang Daffa langsung memukul keningku kesal. "Gw kira ada apaan ah."
"Ya kan namanya juga panik Bang," keluhku. "Abisnya dia minta jawabannya besok." sambung-ku.
"Yaudah tinggal jawab apa susahnya," celetuknya dengan santai.
Aku menatapnya kesal. Bukannya bantu mencari solusi, Bang Daffa malah kembali masuk ke kamarnya dengan Kak Asya.
"Abang sialan!" cemooh-ku dengan menendang pintu kamarnya.
"NUR BILANGIN KE BAPAK LOH YA!" ancamnya. "Kamu ngerusak pintu tengah malem."
Aku kembali masuk ke kamar dengan kesal-ku. Mataku terus menatap langit-langit kamar semalaman hingga akhirnya tertidur.
Tidak lama setelah itu, terdengar suara Adzan berkumandang di masjid dekat rumah. Aku terbangun lalu bergegas bersih-bersih.
Hoamm..
Aku menguap karena kurang tidur. "Ngantuk banget," keluhku sembari menggeliat.
Aku kembali tiduran di kasur sambil santai memainkan ponselku. Terlihat pesan masuk dari Kak Furqan.
"Neng gimana jawabannya udah ada?" tanya Kak Furqan melalui pesan singkatnya.
Aku langsung menutup kembali ponselku, "Dia pagi-pagi gini udah ngechat kayak begitu," gerutuku. "Bikin jantung copot aja."
Kak Asya sudah sibuk memasak sarapan sepulang belanja sayur di dekat rumah. Aku menghampirinya untuk membantu memasak.
"Kak Asya," sapaku sedikit ragu.
Sontak Kak Asya langsung melirikku, "Kenapa Nur?" tanyanya.
Aku gugup sembari memainkan sayuran yang ada di tanganku. "Kenapa sih?" tanyanya penasaran.
"Kak Asya dulu waktu diajakin ke rumah sama Bang Daffa gimana?" tanyaku. Dia langsung mengerti maksud dari pertanyaan itu.
"Maksudnya karena semalem kamu diajakin ke rumah Furqan?" tanya Kak Asya sembari menggodanya.
Aku tersenyum padanya sedikit malu. "Jadi gimana Kak?" tanyaku penasaran.
"Gak gimana-gimana sih," jawabnya membuatku semakin bingung.
"Langsung mau gitu?" tanyaku dianggukinya.
"Ya kan udah sama-sama suka terus udah masuk usia menikah juga. Normal aja kalau diajakin ke rumah cowok kan," ungkapnya.
"Terus menurut Kak Asya, aku harus gimana?" tanyaku.
"Terserah kamu," jawabnya. "Kalau kamu yakin sama Kak Furqan. Ya ke sana aja."
Aku menghela napasku berat. Bertanya sama Kak Asya sama sekali tidak menemukan jawabannya.
Sebelum sarapan matang, Bapak dan Mamah sudah kembali dari rumah nenek yang tidak jauh.
"Wah pas banget nih, pulang langsung sarapan," ucap Bapak sembari duduk di kursi meja makan.
"Nur, Bapak minta kopi dong!" pintanya diangguki olehku.
Aku membuatkannya kopi untuk Bapak lalu menaruhkan di meja makan. "Bapak emang gak kenyang kalau minum kopi sebelum makan?" tanyaku.
"Enggak, biasa aja," jawabnya dengan santai.
Bang Daffa datang ke meja makan dengan pakaiannya yang sudah rapih karena akan berangkat kerja.
"Pak ada yang mau diajakin ke rumah cowok tuh!" sindir Bang Daffa membuatku langsung menoleh sinis padanya.
Bapak langsung menatapku dalam, "Kamu, Nur?" tanyanya.
Mamah yang mendengarnya pun langsung duduk di samping Bapak dengan tatapan penasarannya.
"Bang Daffa apaan sih?" protes-ku.
"Nur, Furqan mau bawa kamu ke rumahnya?" tanya Bapak.
Aku langsung menoleh karena terkejut Bapak mengetahuinya. "Kok Bapak bisa tau?" tanyaku.
"Orang kita udah di kasih tau sama Abang kamu sebelum Furqan nemuin kamu," ungkap Bapak diangguki setuju oleh Mamah.
Aku duduk di hadapan Bapak dan Mamah. "Jadi gimana dong?" tanyaku. "Kak Furqan mau ke sini minta jawabannya."
Bapak dan Mamah malah terkekeh melihat ekspresiku. "Bapak sama Mamah malah ngetawain," protes-ku. "Bukannya cariin solusi buat jawabnya."
"Kenapa harus bingung Nur?" tanya Mamah.
"Ya kan ini pertama kalinya Mah," jawabku. "Gimana kalau Mamah sama Bapaknya Kak Furqan gak suka sama aku?" tanyaku sedikit berpikiran buruk.
"Gak mungkin gak suka," sela Bang Daffa dengan santainya.
Aku menoleh kesal padanya. "Kenapa gak mungkin?" tanyaku. "Mungkin aja kan."
"Gak mungkin Nur," kukuhnya. "Orangtuanya Furqan itu orang baik. Gak mungkin mereka gak suka sama kamu kalau kamunya ngejaga sikap."
"Menurut Abang sih kamu dateng aja ke sana. Kenalan sama orangtuanya, gak ada salahnya juga kan," usul Bang Daffa.
Aku menoleh pada Bapak dan Mamah. Mereka pun mengangguk setuju dengan usulan Bang Daffa.
Sekitar jam 9 pagi, setelah sarapan aku masih bersantai memainkan ponselku. Terdengar suara motor Kak Furqan yang baru saja datang terparkir di halaman rumah.
Aku langsung bergegas mandi karena tidak ingin langsung bertemu dengannya. Sengaja juga berlama-lama di kamar mandi karena jelas aku masih sangat gugup.
"ASSALAMUALAIKUM," salam Kak Furqan.
"WAALAIKUMSALAM," jawab Bapak sembari membukakan pintu.
Bapak langsung tersenyum saat melihat Kak Furqan yang datang. "Eh ternyata Furqan," ucapnya. "Ayo masuk! Bapak panggilin dulu Nur-nya," ajak Bapak.
Kak Furqan bersalaman pada Bapak dan Mamah. Dia duduk di kursi tamu bersama Bapak yang menemaninya mengobrol sebelum aku keluar rumah.
"Furqan kerja di mana sekarang?" tanya Bapak.
"Masih di tempat kemarin Pak. Di Riau," jawab Kak Furqan.
"Tadi Nur tiba-tiba rame waktu sarapan, katanya mau diajakin ke rumah kamu. Bener?" tanya Bapak.
Furqan tersenyum sembari mengangguk. "Iya Pak," jawabnya. "Kalau dibolehin."
Bapak terkekeh mendengarnya, "Boleh kok Furqan," jawab Bapak.
"Mamah sama Bapak Furqan katanya pengen kenal sama Nur. Makanya semalem Furqan nanya ke Nur, mau gak kalau diajak ke rumah gitu," ungkapnya.
"Ini baru pertama kalinya loh ada yang ajakin anak gadis Bapak ke rumahnya," ungkap Bapak membuat Kak Furqan terkekeh.
Aku segera keluar dari kamarku setelah Mamah beberapa kali mengetuk pintu kamar. Aku menghela napas sedikit panjang karena gugup.
"Nah karena sudah ada Nur-nya. Bapak tinggal ya!" Bapak langsung melengos begitu saja pergi ke ruang tengah.
Aku duduk di sofa yang tidak jauh dengan Kak Furqan. Dia menatapku dengan lekat membuatku semakin gugup dibuatnya.
"Kak Furqan bisa gak natapnya jangan kayak gitu?" pintaku.
Dia terkekeh mendengarnya. "Maaf, maaf," ucapnya. "Abisnya kamu lucu banget kalau gugup ternyata."
Aku mendelik padanya. "Aku gini karena Kak Furqan juga," gumamku pelan namun terdengar olehnya.
"Jadi gimana?" tanyanya dengan tatapan penuh harap.
Aku mengangguk mengiyakannya. "Tapi gimana kalau Mamah sama Bapak Kak Furqan gak suka sama Nur?" tanyaku penuh keraguan.
Kak Furqan dengan santainya mengusak pucuk rambutku yang terhalang dengan kerudung. "Gak usah gugup, mereka pasti suka sama Neng."
Aku segera menepis tangan Kak Furqan, jantungku semakin berdebar karena kelakuannya. "Kak Furqan yang buat aku makin gugup."
Dia tertawa mendengarnya apalagi melihat pipiku yang sudah memerah. "Lucu banget sih," godanya.
"Kapan emangnya mau diajakin ke rumah?" tanyaku.
"Sekarang juga boleh," jawabnya dengan santai.
"Masa sekarang?"
Dia menoleh padaku heran. "Lah emangnya kenapa kalau sekarang?" tanyanya.
merinding jadinya
jangan sampai thor kasihan si ica