DALAM TAHAP REVISI TANDA BACA
Jangan lupa follow IG Author : tiwie_sizo08
Karena insiden yang tak diinginkan, Zaya terpaksa harus mengandung benih dari seorang Aaron Brylee, pewaris tunggal Brylee Group.
Tak ingin darah dagingnya lahir sebagai anak haram, Aaron pun memutuskan untuk menikahi Zaya yang notabenenya hanyalah seorang gadis yatim piatu biasa.
Setelah hampir tujuh tahun menikah, rupanya Aaron dan Zaya tak kunjung mejadi dekat satu sama lain. perasaan yang Zaya pendam terhadap Aaron sejak Aaron menikahinya, tetap menjadi perasaan sepihak yang tak pernah terbalaskan, hingga akhirnya Aaron pun memilih untuk menceraikan Zaya.
Tapi siapa sangka setelah berpisah dari Zaya, Aaron justru merasakan perasaan asing yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Jatuh cintakah ia pada Zaya?
Akankah akhirnya Aaron menyadari perasaannya dan kembali bersama Zaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiwie Sizo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergolakan Batin
Aaron memesan ruang privat di sebuah restoran mewah. Tempat yang biasanya digunakan oleh para pebisnis untuk membicarakan proyek penting atau hal lain yang bersifat rahasia.
Mejanya terletak di ruangan yang terpisah dari meja untuk tamu-tamu yang lain sehingga orang yang makan di sana bisa leluasa berbicara tanpa khawatir didengar oleh tamu yang lain. Dan Aaron merasa, apa yang akan ia bicarakan dengan Zaya termasuk dalam kategori rahasia, sehingga ia tidak ingin jika sampai ada orang yang tahu apa yang menjadi rahasianya itu.
Tak lama setelah Aaron datang, Zaya juga datang dan masuk ke ruang privat tersebut dengan diantar oleh seorang pelayan.
"Duduklah," perintah Aaron.
Zaya pun duduk di hadapan Aaron sambil sedikit menunduk.
Aaron memperhatikan Zaya dengan seksama. Hatinya sedikit miris melihat gadis di hadapannya sekarang. Wajahnya sangat pucat dan tubuhnya lebih kurus dari yang Aaron ingat. Tatapannya juga terlihat sayu dan lebih banyak memandang ke bawah.
Aaron tahu, gadis ini sedang terpuruk dan mungkin tak punya tempat untuk bersandar. Sungguh Aaron merasa bersalah dibuatnya.
"Berapa usia kandunganmu sekarang?" tanya Aaron membuka percakapan.
"Dua bulan lebih, Tuan," jawab Zaya lirih.
"Apa itu benar anakku?"
Deg! Zaya sudah menduga pertanyaan itu akan terlontar dari mulut Aaron. Tapi entah kenapa, saat mendengarnya secara langsung, hati Zaya terasa seperti diremas.
"Tentu saja ini anak Tuan. Setelah kejadian malam itu, saya tidak pernah melakukannya dengan orang lain," jawab Zaya akhirnya. "Jika ada cara untuk mengujinya, saya tidak keberatan melakukannya," sambung Zaya lagi.
Aaron sedikit tertegun.
"Tidak perlu." kata Aaron kemudian. "Aku percaya padamu."
Zaya terlihat sedikit lega. Lalu keduanya hening sejenak.
"Kau pasti belum makan siang, kan? Lebih baik kita makan dulu." Ajakan Aaron membuat Zaya sedikit mendongak. Lalu ia mengangguk menyetujui sambil kembali menunduk.
Tidak lama kemudian, seorang pramusaji membawa beberapa macam makanan dan menyajikannya di meja mereka. Kemudian menyusul minuman yang belum pernah Zaya lihat sebelumnya.
"Boleh saya minta air hangat saja?" tanya Zaya pada sang pramusaji. Ia sedikit ragu dengan tampilan minuman yang ada di hadapannya itu.
"Tentu, Nona," jawab pramusaji itu sambil tersenyum. Sejurus kemudian, ia pun kembali dengan membawa pesanan Zaya, lalu pamit setelahnya.
Mereka makan dengan hening. Tak ada yang memulai percakapan.
Sesekali Aaron memperhatikan Zaya yang nampak kesulitan menelan makanannya. Gadis itu juga terlihat beberapa kali meghela nafas seakan sedang menahan sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Aaron.
Zaya mendongak. Lalu buru-buru ia mengangguk.
"Hanya sedikit mual," jawabnya kemudian.
"Sudah berkonsultasi dengan dokter?"
Kali ini Zaya agak tercenung. Dia tidak pernah sekali pun berkonsultasi pada dokter karena keterbatasan biaya. Apa itu sebab dari kondisinya yang buruk saat ini?
"Saya ... cuma pergi ke bidan," jawabnya ragu-ragu.
Aaron sedikit menghela nafasnya. Kemudian ia menyesap minumannya dan menyudahi makan siangnya.
"Zaya ...," panggilnya kemudian setelah terdiam agak lama. "Sekarang aku ingin mendengar keinginanmu."
Zaya kembali mendongak.
"Aku ingin tahu, kau menginginkan aku melakukan apa untukmu?" tanya Aaron lagi.
Zaya terdiam agak lama. Entah kenapa lidahnya terasa kelu untuk digerakkan. Padahal, sebelumnya Zaya telah menyusun kalimat yang akan ia katakan pada Aaron.
"Katakan, Zaya. Aku ingin mendengarnya," pinta Aaron lagi. Kali ini terdengar seperti perintah yang tidak bisa dibantah.
"Sa-saya ingin ...." Perkataan Zaya terhenti sejenak. Ia terlihat sedang mengumpulkan keberaniannya.
"Tuan ... bisakah Tuan menanggung biaya hidup saya selama saya hamil?" tanya Zaya akhirnya.
Aaron mengerutkan alisnya.
"Kehamilan saya ini lebih sulit daripada kehamilan pada umumnya. Kondisi tubuh saya sangat lemah. Setiap kali saya paksakan bekerja, saya selalu pingsan. Saya takut, jika saya terus memaksakan diri, itu akan berakibat buruk pada tubuh saya, juga pada bayi yang saya kandung. Karena itulah, saya mau minta bantuan Tuan untuk membiayai saya sampai saya melahirkan," jelas Zaya dengan nada rendah.
Aaron tertegun mendengar Zaya yang meminta bantuannya. Jadi sekarang gadis ini sedang meminta bantuannya, bukan pertanggungjawabannya? Aaron sungguh tak menduganya.
Tadinya Aaron mengira Zaya akan meminta untuk menikahinya, minimal sampai bayinya lahir agar ia tidak perlu menanggung malu atas kehamilannya ini. Tapi sekarang, yang ditangkap indera pendengarannya adalah Zaya hanya meminta Aaron membantunya untuk membiayai hidupnya sementara, bukan menginginkan status darinya.
Apakah gadis ini sudah gila?
Perempuan waras mana yang mau menanggung malu seorang diri, di saat laki-laki yang harusnya bertanggung jawab jelas-jelas ada di depan mata.
"Apa orang tuamu sudah tahu kau hamil?" tanya Aaron kemudian.
Mata Zaya langsung meredup mendengarnya.
"Saya yatim piatu, Tuan," jawabnya, terdengar sedikit sendu.
Aaron sedikit terkejut.
"Keluargamu yang lain? Saudara? atau orang yang tinggal denganmu?" tanya Aaron lagi.
Zaya menggeleng.
"Dulu saya tinggal di panti asuhan, tapi sekarang saya sudah keluar dari panti dan tinggal sendiri."
Aaron makin terkejut. Rasa bersalah semakin besar bercokol di dalam hatinya. Bagaimana bisa dia menghancurkan masa depan gadis dihadapannya ini. Tanpa permasalahan ini pun hidupnya pasti sudah sangat sulit, dan sekarang Aaron malah menambah penderitaannya dengan membuatnya hamil di luar ikatan pernikahan.
Tiba-tiba seseorang datang keruangan itu dengan ekspresi yang tidak terlalu bagus. Ia nampak sedikit terkejut melihat Zaya sebelum akhirnya membungkuk hormat ke arah Aaron.
"Maaf mengganggu, Tuan. Ada masalah."
Aaron menggangguk dan memberi isyarat kepada asistennya itu untuk menunggunya di luar. Dia adalah Asiaten Dean. Orang yang berinisiatif untuk menghentikan mobil dan menolong Zaya saat Zaya diganggu anak-anak jalanan tiga tahun yang lalu. Dan tampak dari ekspresi wajahnya, Dean masih mengenali Zaya.
Dengan penuh tanda tanya, Dean akhirnya keluar dari ruangan itu dan memilih menunggu di dalam mobil.
"Tampaknya aku sudah harus pergi, Zaya. Jangan khawatir, sopir akan mengantarmu ke tempat tinggalmu yang baru. Semua kebutuhanmu juga akan aku penuhi, jadi kau tidak perlu bekerja lagi." Aaron beranjak dari duduknya.
"Dan satu lagi, tidak perlu mengambil barang-barang di rumah lamamu. Aku akan menyuruh orang menyiapkan barang-barang yang baru untukmu," ujar Aaron dengan nada memerintah.
Mereka pun kemudian berjalan beriringan keluar dari restoran mewah itu.
Pikiran Zaya bermain kesana-kemari, masih mencerna apa yang Aaron katakan padanya. Apa itu artinya Aaron menerima permintaanya dan mau menanggung Zaya? Zaya masih bertanya-tanya, hingga akhirnya mereka sampai di tempat mobil Aaron terparkir.
"Aku akan menemuimu nanti." Aaron melihat ke arah Zaya sesaat, dibalas anggukan dari Zaya. Kemudian keduanya menaiki mobil berbeda. Aaron masuk ke dalam mobil yang dinaiki Dean, sedangkan Zaya masuk ke dalam mobil yang telah menjemput dia sebelumnya.
Kedua mobil itu pun melaju ke arah yang berbeda.
"Ada masalah apa?" tanya Aaron kepada Dean saat mobil yang dinaiki mereka melaju.
"Tadi Anna memberi tahu jika Chairman meminta Anda untuk segera pergi ke Singapura, Tuan. Masalah kemarin masih belum selesai, jadi Chairman menunggu kehadiran anda di sana hari ini juga," terang Dean.
"Apa?" sentak Aaron
"Bukannya masalah itu sudah ada yang menangani? Dasar orang-orang tidak berguna!"
Aaron menghela nafas. Baru saja ia akan menyelesaikan masalahnya dengan Zaya, ada masalah lain yang kini mengharuskannya pergi. Bagaimana ini?
"Anna sudah menyiapkan tiket penerbangan anda dan semua berkas-berkas yang diperlukan. Sore ini anda bisa langsung berangkat," terang Dean lagi. Dan Anna yang dimaksud di sini adalah sekretaris pribadi Aaron.
Aaron nampak berpikir. Haruskah ia meninggalkan Zaya saat ini? Akankah gadis itu menganggapnya lari dari tanggung jawab jika tiba-tiba dia menghilang? Tapi di sisi lain, Aaron juga tidak menampik jika dia butuh waktu untuk memikirkan keputusan apa yang akan diambilnya terhadap Zaya.
Selama ini, Aaron hanya akan melakukan sesuatu yang diyakininya saja, dan kali ini pun Aaron ingin seperti itu. Karena baginya, melakukan sesuatu dengan ragu-ragu hanya akan menghasilkan kegagalan. Sedangkan orang seperti dirinya tidak suka dengan yang namanya kegagalan.
"Berapa lama rencananya aku akan berada disana?" tanya Aaron kemudian.
"Karena masalahnya sudah agak rumit, kemungkinan Anda akan berada di sana selama satu bulan lebih, Tuan. Dan bisa jadi lebih lama dari itu," jawab Dean.
Aaron sejenak menimbang-nimbang, kemudian terlihat kembali menghela nafas.
"Baiklah, aku akan pergi," katanya kemudian.
"Tapi, Dean. Selama aku di sana, tolong atur orang untuk memenuhi segala kebutuhan gadis yang kau lihat tadi. Cari juga orang yang bisa mengurusnya di rumah dan menemaninya pergi ke dokter," perintah Aaron dengan serius.
Dean termangu. Apa tidak salah dengar, pikirnya.
"Kau dengar?" tanya Aaron lagi menegaskan.
"I-iya, Tuan. Sesuai dengan keinginan Anda."
Dean agak tergagap. Sejuta pertanyaan muncul di otaknya, tapi dengan keras ia tekan agar tak sampai terucap di mulutnya. Karena ia tahu, majikannya itu tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan.
Sementara itu, Aaron kembali terdiam dengan pikiran yang melalang-buana, menahan pergolakan batin yang terjadi di dalam dirinya. Dengan satu sisi dari dalam dirinya yang menyuruh untuk bertanggung jawab penuh terhadap Zaya. Dan sisi yang lain mengatakan sebaliknya.
Keputusan apa yang akan Aaron ambil, Aaron sendiri masih harus memikirkannya lagi.
Bersambung ....
jangan sedikit-sedikit marah, menangis 😭 dan Mengabaikan suami.
bisa-bisanya mamanya dikasi. zombie
baru merasa kehilangan ya Aaron
waktu zaya kau menghina dan menyeretnya seperti sampah di rumah mu menyakiti nya di tempat tidur dia tetap memaafkan dan bertahan padamu.
dia tidak meminta hartamu Aaron hanya kasih sayang perhatian atau lebih tepatnya CINTA.
tapi setelah berpisah baru kau merasa kehilangan
masih waras kah Aaron?
karena zaya patut di perjuangkan
seganti g apapun laki-laki kalau tak bisa menghargai ya percuma