NovelToon NovelToon
Terpaksa Jadi Istri Kedua Demi Keturunan

Terpaksa Jadi Istri Kedua Demi Keturunan

Status: tamat
Genre:Poligami / Ibu Pengganti / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Tamat
Popularitas:244.8k
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah Alfatih

Hana, gadis sederhana anak seorang pembantu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Pulang dari pesantren, ia hanya berniat membantu ibunya bekerja di rumah keluarga Malik, keluarga paling terpandang dan terkaya di kota itu. Namun takdir membawanya pada pertemuan dengan Hansel Malik, pewaris tunggal yang dikenal dingin dan tak tersentuh.

Pernikahan Hansel dengan Laudya, seorang artis papan atas, telah berjalan lima tahun tanpa kehadiran seorang anak. Desakan keluarga untuk memiliki pewaris semakin keras, hingga muncul satu keputusan mengejutkan mencari wanita lain yang bersedia mengandung anak Hansel.

Hana yang polos, suci, dan jauh dari hiruk pikuk dunia glamor, tiba-tiba terjerat dalam rencana besar keluarga itu. Antara cinta, pengorbanan, dan status sosial yang membedakan, Hana harus memilih, menolak dan mengecewakan ibunya, atau menerima pernikahan paksa dengan pria yang hatinya masih terikat pada wanita lain.

Yuk, simak kisahnya di sini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

19.Rumah itu masih sama yang nggak sama isinya.

Pagi itu suasana rumah terasa berbeda. Burung-burung di halaman belakang berkicau riang, namun suasana hati di dalam rumah justru berat, penuh tanda tanya.

Hansel terbangun dari sofa ruang tamu. Matanya masih berat, tubuhnya pegal karena semalaman tertidur tanpa selimut. Dia mengusap wajahnya, mencoba mengumpulkan kesadaran. Namun, suara gesekan koper di lantai marmer yang menggema dari arah tangga langsung membuatnya terlonjak.

Matanya melebar begitu melihat Laudya, istrinya, menuruni tangga dengan koper besar berwarna hitam. Wajah Laudya tenang, tanpa ekspresi, langkahnya mantap meski jelas terlihat sembab di bawah matanya.

“Laudya…?” Hansel bangkit cepat, langsung menghampiri.

“Kamu mau ke mana? Kenapa membawa koper?”

Laudya tidak menjawab, tangannya tetap menggenggam erat gagang koper, terus menariknya menuju pintu depan. Suara roda koper yang beradu dengan lantai semakin keras, menimbulkan kegaduhan kecil yang membuat suasana rumah terasa mencekam.

Di dapur, Jamilah yang sedang menyiapkan sarapan bersama Hana terhenti. Sendok di tangannya bergetar, matanya terbelalak menatap ke arah ruang tamu. Hana pun sama, tubuhnya menegang begitu melihat pemandangan itu. Perasaan was-was langsung menyelimutinya.

Beberapa pelayan yang sedang membereskan meja makan saling berbisik dengan tatapan penuh tanya. Hansel menyusul, langkahnya terburu, wajahnya dipenuhi kebingungan.

“Laudya, jawab aku! Kamu mau ke mana bawa koper?!”

Akhirnya Laudya berhenti, tepat di depan pintu utama. Ia menarik napas panjang, lalu berbalik perlahan, menatap suaminya dengan sorot mata yang dingin.

“Aku ada project di Tiongkok.” Suaranya datar, seolah sedang membicarakan hal biasa. “Aku harus pergi … sebulan.”

Hansel tertegun, kata-kata itu menghantam keras dadanya. “Apa? Tiongkok? Se ... bulan penuh?!”

Laudya hanya mengangguk pelan.

“Ya.”

Hansel mengusap wajahnya, frustasi. Ia melangkah cepat mendekat, meraih lengan istrinya.

“Laudya, jangan … jangan begini. Jangan lari dari masalah kita!”

Laudya menatap suaminya, kali ini dengan senyum getir.

“Aku tidak lari, Hansel. Aku hanya … tidak ingin berdebat lagi. Aku tidak punya tenaga untuk itu. Semua sudah jelas ... kamu mencintainya, dan aku … aku memilih diam.”

Suasana hening, Hansel terpaku, matanya berkaca-kaca. Laudya melanjutkan, suaranya tenang tapi menusuk.

“Aku hanya akan menunggu. Sampai bayi itu lahir … setelah itu, aku yang akan mengurus semuanya.”

Hana yang berdiri di ambang dapur langsung merasa darahnya berdesir. Perkataan itu membuat jantungnya seolah berhenti berdetak sejenak.

'Mengurus semuanya?' gumamnya lirih dalam hati.

'Apa maksud NyonyaLaudya? Apakah setelah bayi ini lahir, aku benar-benar akan dipisahkan dari buah hatiku?'

Tangannya refleks menyentuh perut yang kian membesar, matanya berkaca-kaca.

Hansel menatap istrinya tak percaya. “Laudya, jangan bicara begitu … jangan buat aku semakin takut kehilanganmu.”

"Kamu selalu takut kehilanganku, Mas. tapi kamu tak pernah benar-benar setia dalam menjaga hatimu. Kamu membuat aku kecewa ... kita pernah berjanji bagaimanapun akhirnya hidup kita jangan ada orang lain di hati kita. Namun, kau melanggarnya, Mas."

Laudya lalu menarik tangannya dari genggaman Hansel, lalu memegang gagang koper dengan erat. Tanpa menoleh lagi pada suaminya, ia melangkah ke luar rumah, meninggalkan Hansel yang berdiri kaku di ruang tamu, Jamilah yang menatap penuh kecemasan, dan Hana yang kini berdiri sambil meraba perutnya, dihantui ketakutan baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

'Tidak! Aku tidak mau berpisah dari bayi ini ... jangan sampai ...'

"Sudah ibu katakan Hana jangan melibatkan perasaan dari hubungan ini. Kamu liat! Kamu sendiri yang akhirnya terluka," ucapan Jamilah menghentikan Hana berdebat dengan batinnya sendiri.

"Aku sudah terluka sejak awal, Bu." gumam Hana nyaris tak terdengar. Jamilah pun kembali ke dapur, Hansel berbalik melihat Hana di ambang pintu dapur juga tak bisa mengatakan apapun selain tersenyum pada perempuan itu, lalu bergegas pergi menuju kamarnya di lantai atas.

Hana merasa dadanya sesak, pikirannya kacau. Kata-kata Laudya barusan terus terulang di kepalanya.

'Aku hanya akan menunggu. Sampai bayi itu lahir … setelah itu, aku yang akan mengurus semuanya.'

Hana terduduk di kursi meja makan, matanya kosong. Tangannya gemetar saat menyentuh perutnya yang semakin membesar. Di dalam sana, bayi kecil itu bergerak, seolah merespons gundah gulana ibunya. Hana langsung menutup mulutnya, menahan tangis agar tidak terdengar oleh siapa pun.

Dalam hati ia ingin sekali berteriak,

"Anakku … apa benar nanti kamu akan diambil dariku? Apa benar aku hanya rahim yang disewa? Tidak … tidak! Aku ibumu. Aku yang merasakan sakitnya, lelahnya, bahkan setiap tendanganmu aku yang rasakan. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengambilmu dariku … bahkan Nyonya Laudya sekalipun."

Air mata Hana mengalir deras. Ia merasa semakin terjebak, seolah tidak punya kuasa sedikit pun atas masa depannya sendiri. Semua keputusan selalu datang dari orang lain dari Laudya, dari Hansel, bahkan dari ibunya, Jamilah, belum lagi dari Rohana.

Saat itu, Jamilah menghampiri, menaruh segelas air hangat di meja.

“Hana … jangan banyak dipikirkan, Nak. Ibu yakin semua akan ada jalan keluarnya,” ucapnya lembut, meski dalam hatinya sendiri ia ragu.

Hana mendongak, menatap ibunya dengan mata sembab. “Bu … apa benar nanti bayi ini akan diambil dariku?” suaranya bergetar, nyaris tak terdengar.

Jamilah terdiam, dia tidak punya jawaban pasti. Ia tahu sejak awal, kesepakatan ini memang hanya tentang ‘meminjam rahim’. Tapi ia juga tahu, ikatan batin seorang ibu dengan anak dalam kandungannya tak bisa diputus semudah itu.

“Kalau memang itu yang disepakati … mungkin begitu, Nak,” jawabnya lirih, lebih seperti gumaman.

Hana langsung menunduk, air matanya jatuh membasahi punggung tangannya. “Aku tidak rela, Bu … aku tidak rela,” bisiknya penuh kepedihan.

Dari kejauhan, Hansel yang baru saja turun hendak ke kantor, berdiri kaku di depan ruang makan, mendengar potongan kalimat Hana. Matanya meredup, dada sesak. Ia tahu Hana benar-benar takut kehilangan bayinya. Dan di dalam hati, ia pun tak bisa membayangkan jika nanti anak itu benar-benar dipisahkan dari wanita yang dengan sabar mengandungnya.

Namun, di satu sisi, Hansel sadar Laudya adalah istri sahnya. Wanita yang selama ini mendampinginya. Keputusan tidak bisa ia ambil begitu saja.

Malam itu, Hana terbaring di ranjang kamarnya. Lampu sudah dipadamkan, hanya cahaya temaram dari lampu tidur yang menemani. Ia memeluk perutnya erat, membisikkan janji kepada bayinya,

"Nak, dengarkan ibu. Ibu akan berjuang apa pun caranya. Ibu tidak akan biarkan siapa pun memisahkan kita. Bahkan jika semua orang menentang … ibu akan melawan."

Air matanya mengalir lagi, tapi kali ini bukan hanya karena ketakutan. Ada tekad baru di dalam hatinya tekad untuk mempertahankan anak itu, apa pun yang terjadi.

1
Sweet Girl
Syukur deh klo sadar, semoga aja sadar terus dan menjadi lebih baik setiap hari.
Sweet Girl
Golek o Dewe ae Hansel... yg sreg di hati.
Sweet Girl
Gatot...
Sweet Girl
Eh Demit... embok pikir mateni wong iku gak kecil....
opo'o gak koen Dewe ae sing eksekusi...
Sweet Girl
Istighfar Rian... istighfar...
Sweet Girl
iyooo hidup baru di penjara.
Sweet Girl
Ojok bodoh koe Rian... wong wedok Sik akeh.
Fitrie Sadewo
😇😇😇
Sweet Girl
Kamulah yg bikin Hana berani, bisa membela dirinya sendiri.
Sweet Girl
Syaiton tenan Iki mbahe ...
Sweet Girl
Sudah Bu Rohana...
jangan teriak teriak lagi... nanti kenak seteruk.
Sweet Girl
Akhirnya...❤️
Dzimar
ada boschap kah Thor?kok curiga ya orang kena gangguan mental bisa senyum Lngsung meremukkan photo sampai hancur bgtu
Aisyah Alfatih: rencana tapi belum tahu kapan mau di kasih bonus bab itu 🤭
total 1 replies
Dzimar
masa yg 9 bulan mngandung itu bayi kalah bathin nya dgn yg 2 bulan merawat....mirissss
Dzimar
psti istrinya juga selingkuh
Erlinda
pembodohan reader luar biasa goblok nya tokoh yg ada dlm cerita ini. benar benar ga bermutu
Erlinda
katanya org tua hanzel yg PNGN punya cucu tapi dari lahir sampai baby nya udah berusia 2bulan kok ga nongol nongol lagian disini hanzel terlihat sebagai suami yg ga punya sikap labil sekali.
Erlinda
aq yakin pasti author akan bikin si Hana mati dan hanzel hidup tenang dgn laudya dan bayi nya
Erlinda
aneh aja kau laudya kau yg mau begini sekarang kau pula yg tidak terima. kau pikir si Hana itu robot yg ga punya hati dan bisa kau setel sesukamu
Sweet Girl
Wes mending jelaskan sekarang, waktunya sudah tepat, jangan ditutup²i lagi...
Furqon lho wes dewasa...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!