follow Ig : dhee.author
Mungkin ini tidak sepantasnya. Tapi apa daya kalau Mika terlanjur dibuat nyaman oleh kakak iparnya sendiri.
Sedangkan lelaki yang dia sebut suami, dia lebih mementingkan wanita lain ketimbang dirinya.
Nalurinya sebagai perempuan yang haus akan perhatian sudah terpenuhi oleh kakak iparnya, Gavin.
Hingga perlahan cinta itu tumbuh dan tak bisa dicegah lagi. Rasa ingin memiliki itu begitu kuat. Sekuat rintangan yang harus mereka lalui agar bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhessy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 6
"Livy tunggu aku."
Dengan langkah lebar setengah berlari, Mikha mengejar Livy dan rekan-rekannya yang lain yang sudah keluar kantor untuk makan siang.
"Kenapa, Kha?" Semua nampak heran. Pasalnya, gadis itu jarang terlihat di kantor. Pada saat makan siang pun dia tidak turun, atau pasti sedang berada di luar kantor bersama Gavin.
"Aku ikut makan siang bareng kalian," ucapnya dengan pasti sambil mengatur napas.
Ria menatap Mikha dengan penuh tanya. "Yakin, Kha?"
Mikha mengangguk kuat. "Ya pasti, dong. Mau makan di mana?"
"Di bakso depan, sih," jawab Novia.
"Hayuk, ah." Mikha mendahului langkah mereka. Mendengar mereka akan makan bakso saja rasa laparnya sudah semakin bertambah.
"Tumben kamu makan siang bareng kita, Kha? Pak Gavin nggak ngasih kamu kerjakan apa?"
"Sssttt... Jangan dibilang tumben gitu. Nanti aku udah nggak dikasih ijin bisa repot aku."
Teman-temannya lantas tertawa kecil mendengar jawaban Mikha.
Sejak pagi tadi Mikha menangis di pelukan Gavin, Gavin tidak terlalu membebani Mikha dengan pekerjaan. Tugas yang biasa diberikan pada Mikha seluruhnya, setengahnya diambil oleh Gavin.
Gavin juga memberi ijin pada Mikha jika ingin beristirahat di luar. Sebab itu tanpa ragu Mikha segera turun mencari teman-temannya yang akan makan siang.
Cara bersikap Gavin pun juga sedikit berubah. Dia tak lagi jutek, tak lagi dingin. Gavin menjadi lebih perhatian pada Mikha. Membuat Mikha yang awalnya sungkan menjadi lebih menikmati kenyamanan yang diberikan oleh Gavin.
"Mau minum nggak, Kha?" tawarnya pelan sambil menyesap kopi yang dibuatkan oleh Mikha.
Mikha menggelengkan kepalanya. "Aku minumnya cuma air putih aja, Kak."
Dan lagi, panggilan mereka juga sudah berubah. Bukan lagi Lo dan gue, bukan lagi saya. Tapi aku dan Kakak. Dengan begitu, Mikha merasa semakin dekat dengan Gavin. Tidak ada lagi batasan seperti dulu karena sikap dingin Gavin.
"Sesekali minum kopi juga nggak apa-apa. Mau rasain kopiku nggak, Kha?"
Mikha menggeleng kuat. "Enggak. Kopi pahit itu. Orang kopinya banyak gulanya cuma dikit. Nggak mau, ah."
"Cobain. Nanti kamu pasti suka." Gavin memaksa Mikha. Mendorong pelan cangkirnya yang masih berisi setengah ke hadapan Mikha.
"Enggak, Kak Gavin. Itu pahit."
"Justru yang pahit itu yang nikmat. Lagipula buat kakak nggak ada pahitnya. Rasanya manis banget karena minumnya sambil lihat kamu."
"Gombal banget, Bapak."
Gavin tertawa kecil mendengarnya. Sekaligus melihat wajah Mikha yang terlihat salah tingkah mendengar gombalannya.
Melihat tawa Gavin, Mikha sempat tertegun. Selama ini hampir tidak pernah Mikha melihat Gavin tertawa. Baru saja dia menyadarinya.
Terbuat dari apa si Gavin sampai dia bisa jarang tertawa? Mikha berpikir keras. Pikiran yang hanya akan membuang-buang waktunya saja karena hal itu sepertinya tidak penting.
Dengan ragu, Mikha meminum sedikit kopi yang diberikan Gavin. Keningnya mengernyit merasakan pahit pada mulutnya. Pertama kalinya Mikha merasakan kopi sepahit ini.
"Lagi," ucap Gavin.
Mikha menggeleng. "Enggak, Kak. Pahit banget ini."
"Yang kedua nggak akan sepahit ini. Dinikmati, Kha."
"Kakak mau ngasih aku minuman nggak sehat, ya. Orang nggak suka, kok, masih dipaksa."
Gavin tertawa lagi. "Enggak. Kan, cuma sesekali aja."
Dan Mikha pun kembali melakukannya. Benar apa kata Gavin. Kopi yang dia minum tak sepahit yang pertama saat Mikha mencoba menikmatinya.
Aromanya juga segar dan menenangkan. Mikha menghirup aromanya dalam-dalam dengan mata terpejam.
"Gimana?"
"Better," jawab Mikha yang membuat Gavin tersenyum lebar.
🌹🌹🌹
Malam ini, Mikha dan Gilang sedang makan malam bersama. Kali ini bersama kedua orangtua Mikha setelah dua bulan yang lalu bersama kedua orangtuanya Gilang.
Kesibukan kedua orangtua Mikha membuat mereka jarang bertemu dan menghabiskan waktu seperti malam ini. Feni dan Wira sama-sama sibuk bekerja. Mereka sibuk mengembangkan dua perusahaan besar dalam bidang yang berbeda.
"Kamu magang di mana, Mikha?" tanya Feni di tengah acara makan malam.
Pertanyaan Feni membuat Mikha terdiam. Selama ini memang tidak ada yang tahu dimana Mikha magang selain Gilang dan Gavin sendiri. Juga Sena sahabat Mikha dan juga teman-teman seangkatan Mikha yang juga magang di sana.
"Di kantor Kak Gavin, Ma," jawab Mikha dengan pelan. Dia tidak tahu lagi harus beralasan apa jika masih menyembunyikan dimana dia magang.
"Kenapa nggak di kantor Gilang? Kantor Mama sama Papa juga bisa. Kantor Papa mertua kamu juga bisa."
"Di kantor Kak Gavin juga sama saja, kok, Ma. Di sana malah Mikha kerja beneran. Nanti kalau masuk ke kantor Papa atau Mama, atau ke kantor Papa Anton, yang ada Mikha malah seenaknya aja di sana. Ngerasa anaknya yang punya kantor, sih. Waktu itu Mikha juga udah kepepet banget, Ma. Waktu magang udah dekat, tapi Mikha belum dapat kantor. Kepikiran buat ke kantor Kak Gavin barangkali dia mau bantu. Eh, beneran diterima, dong." Mikha mengarang cerita. Membuat kedua orangtuanya agar percaya dengan alasannya.
"Terus kenapa nggak di kantor Gilang?" sahut Petra membuat Mikha terdiam sesaat.
Mikha melirik Gilang yang sepertinya saat ini enggan membantu Mikha memberikan jawaban. Buktinya, dia masih asyik dengan sepiring nasi di hadapannya.
"Mama sama Papa tau kita masih pengantin baru. Masih panas-panasnya. Kalau Mikha magang di sana, kalian pasti tahu-lah apa yang terjadi. Ya, kan, Kak?" Mikha meminta dukungan dari Gilang.
Gilang mengangguk dan tersenyum. "Iya, Sayang," balasnya berpura-pura mesra. "Apa yang dibilang Mikha itu bener, Ma, Pa. Saya, sih, sebenarnya senang saja kalau Mikha ada di kantor saya. Tapi saya yang suka lepas kendali kalau berada di dekat Mikha."
Hampir saja Mikha memuntahkan isi perutnya setelah mendengar ucapan Gilang yang menurutnya itu menjijikkan. Tapi Mikha berpura-pura tersenyum malu demi sempurnanya sebuah sandiwara.
"Aduh, pengantin baru, ya, Pa."
Wira tertawa kecil. "Ya sudah tidak apa-apa," katanya membuat Mikha menghembuskan napas lega. "Di manapun kamu magang, yang penting kamu tetap bekerja dengan hati. Pasti hasilnya bagus."
"Iya, Pa," jawab Mikha.
Kini tinggal kedua mertuanya yang belum mengetahui hal ini. Semoga saja kedua orangtuanya bisa membantu Mikha untuk menjelaskan hal tersebut jika mereka bertemu dengan orangtua Gilang. Sehingga Mikha tak perlu lagi bersusah payah menceritakan palsu yang sudah dia buat.
***
"Ma?"
"Hmm."
"Yang Mama dan Papa lihat dari hubungan aku dan Gilang sekarang apa?"
"Kalian bahagia. Kalian terlihat saling mencintai. Mama senang akhirnya kalian bisa menerima perjodohan ini dengan baik sehingga kalian bisa saling mencintai sekarang."
Mikha tertawa kecil. Ternyata orangtuanya tak peka dengan apa yang sebenarnya terpancar dari kedua mata Mikha. Bibir memang bisa berbohong. Tapi tatapan mata tak pernah membohongi jika mereka bisa peka sedikit saja.
"Mikha boleh tanya nggak, Ma?"
"Boleh."
"Gavin sama Gilang kakak adik, ya, Ma. Kenapa waktu itu bukan Gavin yang dijodohkan dengan Mikha?"
"Kenapa tanya begitu? Jangan bilang kalau kamu suka sama Gavin gara-gara kamu satu kantor sama dia. Pindah aja kalau kayak gitu."
"Ih, Mama. Nggak gitu maksud aku."
"Terus apa?" sahut Feni tak sabar.
"Maksud aku Gavin, kan, lebih tua dari Gilang. Kenapa justru Gilang duluan yang nikah, bukan Gavin? Kan, katanya nggak boleh tuh melangkahi kakak yang belum menikah."
"Oh, itu..." Feni bernapas lega. Hampir saja dia ketakutan kalau sampai Mikha suka pada Gavin. "Dulu Gavin nggak mau dijodohkan. Dia bilang dia udah punya pacar. Karena wasiat kakek kamu, kamu harus menikah dengan keluarga Anton, dan tinggal Gilang saja yang waktu itu sedang sendiri. Ya sudah, akhirnya kalian dijodohkan."
Mikha mencerna setiap ucapan yang keluar dari bibir mamanya. Mikha meragu, apa memang seperti itu ceritanya?
Kalau memang saat itu Gilang sedang sendiri, kenapa setelah pernikahan ini terjadi dia tidak mencoba menerima pernikahan ini?
Berusaha mencintai Mikha pun tidak Gilang lakukan. Tapi juga tidak akan menceraikan Mikha. Sebenarnya, apa yang sedang Gilang rencanakan untuk Mikha?
🌹🌹🌹
lanjut nggak nih? 😑😑
habis di edit. nama papanya Mikha aku ganti. 😅