Leora Alinje, istri sah dari seorang CEO tampan dan konglomerat terkenal. Pernikahan yang lahir bukan dari cinta, melainkan dari perjanjian orang tua. Di awal, Leora dianggap tidak penting dan tidak diinginkan. Namun dengan ketenangannya, kecerdasannya, dan martabat yang ia jaga, Leora perlahan membuktikan bahwa ia memang pantas berdiri di samping pria itu, bukan karena perjanjian keluarga, tetapi karena dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon salza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Permintaan Minjae Alastair itu terdengar sederhana, namun bagi Leonard, rasanya sama sekali tidak.
“Temani Leora. Belanja apa pun yang ia butuhkan, gaun untuk pernikahan kalian besok, perhiasan, dan lainnya. Menantuku harus tampil bak putri di dongeng. Kau paham! "
"Ibu.. " ucap Leonard dengan menatap ibunya intens
"Kenapa tidak, Leora harus berdandan sebagaimana mestinya.. Apa kau akan membantah perkataan ayah? " Ucap Presdir Lee dengan nada yang pedas
"Tidak perlu seperti itu Lee,.. " Ucap Damian
"Putraku selalu seperti itu, aku tidak tau kenapa dia sangat keras kepala" Ucap Presdir Lee
"Baiklah.. " ucap Leonard
Leonard tidak membantah. Ia hanya menarik napas singkat dan melangkah keluar lebih dulu.
Mall Alastair ramai namun tertata. Begitu mereka masuk, suasana langsung berubah—beberapa kasir saling melirik, langkah para pegawai melambat, dan pengawal keluarga Alastair menyebar tanpa suara. Tidak ada yang berani terlalu dekat, namun tak satu pun mengalihkan perhatian.
Leora masuk ke butik gaun pertama. Ia mengambil dua gaun yang berbeda warna dan potongan, lalu menoleh ke arah Leonard.
“Menurutmu, yang mana lebih cocok?”
Leonard bahkan tidak mendekat. Ia melirik sekilas dari tempatnya berdiri, lalu menghela napas pelan.
“Belilah apa pun,” katanya datar.
Ia menunjuk sofa di sisi butik. “Aku tunggu di sana.”
Leora terdiam sesaat. Bukan tersinggung—lebih pada memastikan dirinya tidak salah dengar.
“Kau bahkan tidak mau melihatnya?” tanyanya tenang.
“Tidak perlu,” jawab Leonard sambil berjalan menjauh. “Besok tetap akan berjalan sesuai rencana.”
Leora menatap punggungnya beberapa detik sebelum akhirnya masuk ke ruang ganti. Ia memilih sendiri, tanpa ragu. Namun ketika keluar, Leonard masih duduk di sofa, tangan terlipat, tatapannya lurus ke depan—seolah dunia belanja itu tidak ada.
“Kau tahu,” ujar Leora saat mendekat, “ini bukan sekadar gaun.”
Leonard mengangkat pandangan. “Aku tahu.”
“Lalu kenapa kau bersikap seolah aku hanya formalitas?”
Tatapan Leonard mengeras. “Karena pernikahan ini memang formalitas bagi banyak orang.”
“Termasuk kau?” tanya Leora, suaranya tetap stabil.
Hening sejenak. Beberapa pegawai pura-pura sibuk di balik rak, jelas menyadari ketegangan itu.
“Yang penting,” Leonard akhirnya berkata, “kau tampil pantas sebagai Nyonya Alastair.”
Leora tersenyum tipis, bukan senyum senang. “Tenang saja. Aku sudah terbiasa memenuhi ekspektasi.”
"Gaun ini terlihat bagus ditubuh Calon Istri anda Tuan" Ucap salah satu pegawai disana
"Benar, calon istri anda bahkan terlihat sangat cantik dengan gaun ini. Anda benar-benar beruntung dapat menikah dengan Nyonya secantik ini" Saut salah satu pegawai
Leora tersenyum
" Terima kasih"
Leora melangkah ke butik sepatu yang terletak di sudut lantai utama. Etalasenya sederhana namun elegan—koleksi hak tinggi dengan detail halus dan kilau yang tidak berlebihan. Jelas bukan butik biasa.
Ia berhenti di depan dua pasang sepatu yang diletakkan berdampingan.
“Yang putih dengan aksen emas…” gumamnya pelan, lalu menoleh ke pasangan di sebelahnya, “…atau yang merah.”
Leonard berdiri beberapa langkah di belakang, bersandar ringan di pilar marmer. Tatapannya terangkat sekilas.
“Kau ragu,” katanya datar.
Leora mengangguk kecil. “Untuk gaun besok, dua-duanya cocok.”
Ia lalu melihat label harga. Alisnya sedikit terangkat—bukan terkejut, lebih pada refleks logis. Harga itu fantastis, bahkan untuk standar kelas atas.
“Sepertinya—” Leora belum sempat melanjutkan.
“Tak perlu melihat harga.”
Suara Leonard memotong tenang, tanpa emosi, seolah membicarakan hal sepele.
Leora menoleh. “Aku hanya memastikan.”
Leonard melangkah mendekat. “Pastikan warnanya. Bukan angkanya.”
Ia mengeluarkan sebuah kartu hitam dari dompetnya—tanpa logo mencolok, tanpa kata. Black card itu diletakkan di tangan pegawai toko yang langsung menunduk hormat, jelas menahan gugup.
“Semua yang ia pilih,” ujar Leonard singkat.
Pegawai itu mengangguk cepat. “Baik, Tuan.”
Leora menatap kartu itu sesaat. “Kau tidak perlu—”
Leonard memotong lagi, kali ini lebih pelan. “Leora, hentikan.”
Ia berbalik ke rak sepatu, lalu—tanpa bertanya—mengambil satu per satu hak tinggi lain: putih mutiara, emas lembut, merah marun, nude elegan, dan hitam klasik. Lima pasang sekaligus ia letakkan ke keranjang belanja.
Leora menatapnya, kali ini jelas terkejut. “Leonard.”
“Apa?” tanyanya singkat.
“Itu terlalu banyak.”
“Tidak,” jawabnya dingin.
Leora menghela napas kecil. “Apa kau selalu seperti ini?”
“Seperti apa?”
“Memutuskan tanpa bertanya.”
Leonard menatapnya lurus. “Aku bertanya dengan caraku sendiri. Kau hanya perlu mengenakannya.”
Hening sesaat. Beberapa pegawai berpura-pura merapikan rak, jelas mencuri perhatian pada interaksi itu.
Leora akhirnya tersenyum tipis. “Kau tahu… cara bicaramu terdengar menyebalkan.”
“Dan caramu ragu-ragu tidak efisien jika bersanding Konglomerat seperti ku. ” balas Leonard tanpa ragu.
Namun kali ini, sudut bibirnya bergerak nyaris tak terlihat.
Leora mengambil sepatu merah itu dan memandangnya sekali lagi. “Baik. Yang ini untuk besok.”
Leonard mengangguk. “Yang lainnya untuk hari-hari setelahnya.”
Ia kembali ke sofa, duduk dengan sikap santai, seolah belanja bernilai luar biasa itu bukan apa-apa. Leora berjalan ke kasir, sementara pengawal tetap memantau, dan para kasir menahan napas saat menyadari transaksi itu melibatkan Pendiri Mall Alastair sendiri.
Belanja belum selesai, Leora masuk ke butik perhiasan berlian tanpa menoleh. Cahaya putih memantul dari etalase kaca, menampilkan potongan berlian yang tersusun rapi dan terlalu sempurna.
Leonard berhenti di dekat pintu. Tidak mendekat. Tidak ikut melihat.
“Kalung untuk pernikahan,” ucap Leora pada pegawai.
Beberapa nampan dikeluarkan. Leora menunduk, mengamati satu per satu. Ia berhenti pada kalung berlian dengan desain sederhana—bersih, elegan.
Ia menoleh ke arah Leonard. “Pendapatmu?”
Leonard tidak bergerak. “Terserah.”
Leora menahan napas sejenak. “Aku bertanya karena besok kita—”
“Tidak mengubah apa pun,” potong Leonard datar. “Kalung itu tidak menentukan jalannya acara.”
Pegawai itu terdiam, jelas menahan gugup.
Leora mengangguk kecil. Ia meletakkan kalung itu, lalu mengambil yang lain—lebih besar, lebih mencolok. Ia melihat label harganya sebentar.
“Yang ini terlalu berlebihan,” katanya pada dirinya sendiri.
“Tidak,” suara Leonard terdengar tenang. “Itu standar.”
Leora menoleh. “Standar siapa?”
“Standar Alastair.”
Leonard akhirnya melangkah maju. Ia tidak menyentuh kalung itu, hanya menunjuk dua desain lain di nampan berbeda.
“Tambahkan yang itu. Dan yang itu.”
Pegawai segera menuruti.
Leora mengerutkan kening. “Leonard, aku belum memutuskan.”
Leonard mengeluarkan black card tanpa ekspresi dan meletakkannya di meja kaca. “Putuskan nanti.”
“Ini bukan barang sekali pakai.”
“Justru itu,” jawabnya singkat.
Leora terdiam. Ia mengambil kembali kalung sederhana yang tadi ia sukai. “Aku tetap mau yang ini.”
Leonard menatapnya sekilas. Tidak lama. Tidak dalam.
“Baik.”
Ia menoleh ke pegawai. “Ambil semuanya.”
Pegawai itu membeku sepersekian detik sebelum mengangguk cepat.
Leonard kembali ke posisinya semula, bersandar ringan di dinding. Seolah transaksi bernilai fantastis itu tidak lebih penting dari waktu.
Leora menatap pantulan mereka di kaca etalase—dirinya yang tenang, dan Leonard yang dingin, berjarak, tak terbaca. Belanja masih berlanjut.
Dan Leonard Alastair tetap tidak berubah—cuek, efisien, dan tidak tertarik pada detail emosional apa pun.