NovelToon NovelToon
Rempah Sang Waktu

Rempah Sang Waktu

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Cinta Istana/Kuno / Reinkarnasi / Cinta Beda Dunia / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author:

Seorang Food Vlogger modern yang cerewet dan gila pedas, Kirana, tiba-tiba terlempar ke era kerajaan kuno setelah menyentuh lesung batu di sebuah museum. Di sana, ia harus bertahan hidup dengan menjadi juru masak istana, memperkenalkan cita rasa modern, sambil menghindari hukuman mati dari Panglima Perang yang dingin, Raden Arya.

5. Roti Jepit dan Tamu Tak Diundang

Ayam jantan baru berkokok satu kali, tapi Kirana sudah sibuk di dapur kecil paviliun milik Arya. Matanya masih sepet karena kurang tidur (akibat insiden kecoak dan roti sobek semalam), tapi tangannya lincah mengaduk adonan tepung beras dan santan.

“Oke, karena nggak ada ragi buat bikin roti tawar, kita bikin versi kearifan lokal aja. Pancake asin alias Lempeng.” Gumam Kirana.

Ia memanaskan wajan tanah liat datar. Adonan dituang, mendesis pelan. Setelah matang, ia menumpuknya dengan isian telur dadar tipis, irisan daging asap (dendeng yang dikukus lagi biar empuk), dan selada air segar.

“Tadaaa! Ancient Javanesse Sandwich!”

Kirana menata dua porsi di piring kayu. Ia membawa nampan itu ke pendopo depan, tempat Arya biasa duduk minum teh pagi sebelum berangkat kerja.

Raden Arya sudah disana. Ia sudah berpakaian rapi dengan seragam panglimanya, duduk bersila sambil memeriksa laporan di daun lontar. Wajahnya segar, rambutnya basah dan rapi. Gantengnya benar-benar tidak manusiawi.

“Pagi, Bos!” Sapa Kirana ceria, meletakkan nampan di meja.

Arya mendongak, alisnya berkerut melihat tumpukan makanan di piring. “Apa ini? Kenapa lauknya kau sembunyikan di antara dua kue dadar?”

“Ini namanya sandwich, Mas. Eh, roti jepit.” Jelas Kirana. “Biar praktis. Karbohidrat, protein, sama serat masuk dalam satu gigitan. Cocok buat orang sibuk kayak Mas Arya yang mau perang.”

Arya menatap curiga. Ia mengambil satu tangkup roti itu, lalu dengan sopan ia membuka lapisan atasnya, memakan dagingnya dulu, baru telurnya.

Kirana gregetan melihatnya. “Salah, Mas! Bukan gitu cara makannya!”

Tanpa sadar—mungkin karena gemas—Kirana maju dan memegang tangan Arya yang sedang memegang roti.

“Jangan dipisah-pisah. Pegang yang kenceng gini, terus gigit sekaligus. Biar rasanya campur di mulut. Eksploison of flavours, gitu loh!”

Arya terpaku. Bukan karena instruksinya, tapi karena tangan kecil Kirana yang hangat menyentuh punggung tangannya yang kasar. Kulit gadis itu lembut sekali.

Jantung Arya kembali berulah, berdetak tidak sesuai tempo. Ia menatap mata Kirana yang berbinar antusias, lupa bahwa gadis ini adalah orang asing yang mencurigakan.

“Ehem.” Arya menarik tangannya pelan, tapi ia menuruti instruksi Kirana. Ia menggigit tangkupan roti itu sekaligus.

Tekstur lembut kue dadar, gurihnya telur, dan asinnya dendeng menyatu. Praktis. Enak. Dan tidak terlalu perlu banyak piring.

“Lumayan.” Komentar Arya singkat (padahal dalam hati ia ingin nambah). “Tapi caramu makan sangat barbar. Tidak ada tata kramanya.”

“Yang penting kenyang, Mas. Tata krama gak bikin perut kenyang.” Balas Kirana santai sambil mengunyah bagiannya sendiri.

Arya menghabiskan sarapannya dengan cepat. Ia berdiri, membenarkan letak keris di pinggangnya.

“Aku akan ke balairung utama. Kau pergilah ke dapur istana. Ki Gedeng sudah menunggumu untuk menu makan siang Raja.” Perintah Arya.

Sebelum melangkah pergi, Arya berhenti sebentar tanpa menoleh.

“Dan…hati-hati. Lidah di istana lebih tajam dari pedangku. Jangan sembarangan menerima makanan atau bicara dengan orang asing.”

Kirana tersenyum miring. “Cie, khawatir ya?”

“Aku tidak mau kehilangan koki yang masakannya enak. Itu saja.” Elak Arya cepat, lalu berjalan pergi dengan langkah lebar, telinganya sedikit memerah.

Dapur Utama Istana, Dua Jam Kemudian.

Suasana dapur utama jauh lebih sibuk. Ki Gedeng Roso hari ini sedikit lebih lunak. Ia bahkan membiarkan Kirana memakai ‘wajan sakti-nya’ lagi untuk menumis sayur pakis.

“Ingat, Nyai Key.” Ki Gedeng memberi instruksi sambil mengaduk kuali gulai. “Gusti Prabu tidak suka yang terlalu pedas hari ini.”

“Siap, Chef.” Seru Kirana.

Saat Kirana sedang asyik mencicipi kuah tumisan, suasana dapur yang tadinya ribut mendadak hening. Senyap total.

Hawa dingin yang menusuk merayap masuk. Bukan hawa dingin penuh wibawa seperti milik Arya, tapi hawa dingin yang terasa licik.

“Jadi ini wanita itu…”

Suara wanita yang lembut namun penuh bisa terdengar. Kirana berbalik.

Di pintu dapur, berdiri Dyah Ayu Sekar. Ia tampak memukau dengan kemben sutra hijau jamrud dan selendang emas. Di belakangnya, dua dayang kepercayaan berdiri dengan wajah angkuh.

Ki Gedeng buru-buru membungkuk hormat. “Gusti Ayu…ada angin apa panjenengan mampir ke dapur yang kotor ini?”

Dyah Ayu tidak menjawab Ki Gedeng. Matanya yang tajam terkunci pada Kirana. Ia berjalan pelan, kain jariknya berdesir menyapu lantai.

“Kirana, bukan?” Dyah Ayu berhenti tepat di depan Kirana. Aroma bunga melati yang menyengat menguar dari tubuhnya.

“Iya, Bu…Eh, Gusti Ayu.” Jawab Kirana, berusaha sopan meski firasatnya tidak enak.

Dyah Ayu melirik wajan di sebelah Kirana. “Apa yang kau masak? Racun apa lagi yang kau masukkan untuk memikat Raja?”

“Cuma tumis pakis, Gusti. Pakai bumbu dasar aja. Nggak ada racun, dijamin halal.” Jawab Kirana.

PLAK!

Kirana terkesiap. Dyah Ayu menepis sendok sayur yang dipegang Kirana hingga terlempar ke lantai. Bunyinya nyaring memecah keheningan.

“Jangan menjawab dengan nada sok pintar!” Desis Dyah Ayu. Wajah cantiknya berubah bengis. “Kau pikir aku tidak tau? Kau pasti menggunakan guna-guna. Tidak mungkin Prabu Wirabumi yang selera makannya mati tiba-tiba lahap makan masakan kampungan seperti ini.”

Dyah Ayu mendekatkan wajahnya ke telinga Kirana, berbisik dengan nada mengancam.

“Dengar baik-baik, pendatang asing. Posisi ‘kesayangan’ itu milikku. Jika kau berani mengambil perhatian Raja lebih dari sekedar urusan perut…aku pastikan kau tidak akan selamat.”

Kirana merasakan darahnya berdesir naik ke kepala. Jiwa Gen Z-nya yang anti penindasan memberontak. Ia tahu ia harus hati-hati, tapi ia tidak bisa diam saja diinjak-injak.

Kirana menegakkan punggungnya. Ia menatap mata Dyah Ayu, tidak menunduk seperti pelayan lain.

“Maaf, Gusti Ayu.” Ucap Kirana tenang, tapi tegas. “Saya cuma tukang masak. Saya nggak punya niat ngerebut siapa-siapa. Tapi kalau Gusti Prabu suka masakan saya, itu karena rasanya enak. Bukan karena guna-guna. Daripada nuduh saya pakai sihir, mending Gusti belajar masak. Siapa tahu Rajanya baik lagi.”

GASP!

Seluruh isi dapur menahan napas. Laras menutup mulutnya dengan tangan, wajahnya pucat pasi. Ki Gedeng melotot horor. Belum pernah ada yang berani membalas ucapan Selir Utama.

Wajah Dyah Ayu memerah padam menahan murka. Tangannya terangkat, siap menampar pipi Kirana.

“Berani sekali kau…”

“Gusti Ayu!” Sela Ki Gedeng Roso cepat, sengaja menjatuhkan panci besar hingga berbunyi gaduh untuk mengalihkan perhatian. “Maaf! Maaf! Tangan hamba licin! Gusti, jam makan siang Raja sudah dekat. Jika makanan terlambat, Gusti Prabu akan marah besar.”

Dyah Ayu menurunkan tangannya perlahan. Ia sadar, membuat keributan yang menghambat makan Raja akan merugikan dirinya sendiri.

Ia merapikan selendangnya, lalu menatap Kirana dengan pandangan mematikan.

“Nikmatilah kemenangan kecilmu hari ini, Pelayan.” Ujar Dyah Ayu dingin. “Tapi ingat…dapur adalah tempat yang berbahaya. Terkadang, garam bisa tertukar dengan racun tikus tanpa ada yang menyadarinya.”

Dengan kibasan selendang yang dramatis, Dyah Ayu berbalik dan meninggalkan dapur.

Lutut Kirana langsung lemas. Ia merosot bersandar ke meja dapur, napasnya ngos-ngosan.

“Gila…itu orang apa ular kobra?” Bisik Kirana gemetar.

Laras langsung memeluk kakinya. “Nyai Key! Kenapa dijawab?! Nyai bisa dipancung!”

Kirana tersenyum kecut. “Mulut gue emang gak ada remnya, Ras. Tapi sumpah, tadi gue takut banget.”

Ki Gedeng memungut sendok sayur yang jatuh, lalu memberikannya pada Kirana. Wajah Pak Tua itu serius.

“Kau punya nyali, Nak. Tapi nyala saja tidak cukup melawan dia. Mulai sekarang, kau harus mencicipi setiap bahan dua kali sebelum dimasak. Ancaman Dyah Ayu bukan omong kosong.”

Kirana menatap pintu dapur yang kosong. Ia sadar, Rempah Sang Waktu ini bukan cuma soal masak-memasak. Ini adalah medan perang. Dan dia baru saja menabuh genderang perang melawan wanita paling berbahaya di istana.

Matahari sudah terbenam sepenuhnya. Langit berubah menjadi ungu gelap. Kirana duduk melamun di teras paviliun kecilnya. Di tangannya, ia memegang sebuah mangga muda yang sudah dikupas, tapi selera makannya hilang.

Ucapan Dyah Ayu masih terngiang di kepalanya. “Garam bisa tertukar dengan racun tikus.”

“Sialan.” Gumam Kirana. “Gue di sini mau survival hidup, bukan mau ikut Hunger Games. Mana nggak ada CCTV, nggak ada bagian HRD buat laporin bullying.”

Terdengar langkah kaki berat mendekat. Kirana tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu. Hawa dingin dan wibawa yang menguar hanya milik satu orang.

Raden Arya berhenti di depan teras. Ia baru pulang dari istana, wajahnya terlihat lelah namun matanya tetap tajam menyorot Kirana.

“Aku dengar kau membuat keributan di dapur utama.”ucap Arya datar.

Kirana mendengus. “Berita cepet banget nyebarnya ya? Lambe Turah kalah cepet sama gosip istana.”

“Kau cari mati.”lanjut Arya, mengabaikan istilah aneh Kirana. Ia naik ke teras, duduk di pagar kayu pembatas, berhadapan dengan Kirana. “Melawan Selir Utama di depan umum? Kau pikir lehermu terbuat dari baja?”

“Dia duluan yang mulai!”bela Kirana, suaranya meninggi. “Dia ngelempar sendok gue! Dia nuduh gue pake guna-guna! Emang gue harus diem diinjek-injek?”

Arya terdiam menatap gadis di depannya. Matanya berkaca-kaca karena marah dan takut, tapi dagunya tetap terangkat menantang. Persis seperti kucing liar yang tersudut.

Tanpa bicara, Arya merogoh saku sabuknya. Ia mengeluarkan sesuatu yang dibungkus kain beludru kecil.

Ia melemparkan bungkusan itu ke pangkuan Kirana.

“Apa nih?” Kirana menatap curiga. “Ular? Kodok?”

“Buka saja.”

Kirana membuka kain itu perlahan. Di dalamnya, terdapat sebuah sendok kecil yang terukir indah. Warnanya putih berkilau, kontras dengan sendok kayu yang biasa ia pakai.

“Sendok?” Kirana bingung. “Buat apa? Makan es krim?”

“Itu perak murni.” Jelas Arya. “Perak akan berubah warna menjadi hitam jika bersentuhan dengan racun arsenik—racun yang biasa di pakai Dyah Ayu.”

Kirana tertegun. Ia memegang sendok itu. Terasa dingin dan berat.

“Kau…ngasih ini buat gue?”

“Aku tidak mau kau mati konyol.”jawab Arya dingin, memalingkan wajah ke arah pohon beringin. “Kalau kau mati, aku harus cari koki baru. Dan aku benci mencari. Merepotkan.”

Kirana tersenyum kecil. Alasan klise. Padahal jelas-jelas Arya baru saja memberinya alat penyelamat nyawa.

“Makasih ya, Mas Arya.”ucap Kirana tulus, suaranya melembut. “Ternyata hati lo nggak sekeras batu kali ya. Masih ada…empuk-empuknya dikit. Kayak marshmallow.”

Arya mendelik tajam. “Jangan samakan hatiku dengan batu kali. Dan ingat, gunakan itu setiap kali kau mencicipi masakan untuk Raja. Atau untuk dirimu sendiri.”

Arya turun dari pagar teras, hendak masuk ke rumah utamanya.

“Oh iya, satu lagi.”Arya berhenti sejenak. “Mulai besok, Laras tidak hanya membantumu memasak. Aku sudah memerintahkan dia untuk menjadi pencicip masakanmu. Apapun yang kamu makan, Laras harus mencicipinya dulu.”

“Eh? Kasian Laras dong kalau ada racunnya!” Protes Kirana.

Arya menoleh, tatapannya serius. “Itu sudah tugasnya. Dan itu satu-satunya cara memastikan kau tetap hidup sampai besok pagi. Tidurlah. Jangan begadang memikirkan hal tidak berguna.”

Punggung tegap Arya menghilang di balik pintu kayu ukir.

Kirana menggenggam sendok perak itu erat-erat di dadanya. Rasa takutnya sedikit berkurang. Di tengah istana yang penuh ular berbisa ini, setidaknya ada satu ‘naga’ galak yang diam-diam menjaganya.

“Sendok perak anti racun.”gumam Kirana sambil menatap bulan. “Oke, Dyah Ayu. Game on. Gue punya baking-an sekarang.”

1
Roro
yeee ketemu lagi arya sama kirana
Roro
keren sumpah
NP
Makasih banyak ya kak 🥰🔥
Roro
wahhh ternyata nanti berjodoh di masa depan 😍😍😍
NP: 🤣🤣 tadinya mau stay di masa lampau kirana nya galau 🤭
total 1 replies
Gedang Raja
tambah semangat lagi ya Thor hehehe semangat semangat semangat
Roro
akan kah kirana tinggal
Roro
ayo thor aky tungu update nya
Roro
gimana yah jadinya, apa kita akan bakal pulang atau bertahan di era masa lalu.
NP: Hayoo tebak, kira kira Kirana pilih tinggal di masa lalu atau masa depan?
total 1 replies
Roro
Arya so sweet
Roro
panglima dingin.. mancair yah
NP
Ditunggu ya kak hehehe.. makasih udah suka cerita nya😍
Roro
aku suka banget ceritanya nya Thor, aku tunggu lanjutan nya
Roro
lanjut thor
Roro
kok aku suka yah sama karakter Kirana ini
Roro
ahhhsetuju Kirana
Roro
bagus ceritanya aku suka
Roro
keren thor
Roro
keren jadi semngat aku bacanya, kayak nya tertular semangat nya Kirana deh
NP: Makasih banyak kak Roro😍🙏
total 1 replies
Roro
fix Kirana berada di abad ke 14
Roro
jangan jangan Kirana sampai ke abad 14
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!