Tujuh belas tahun lalu, satu perjanjian berdarah mengikat dua keluarga dalam kutukan. Nadira dan Fellisya menandatangani kontrak dengan darahnya sendiri, dan sejak itu, kebahagiaan jadi hal yang mustahil diwariskan.
Kini, Keandra dan Kallista tumbuh dengan luka yang mereka tak pahami. Namun saat rahasia lama terkuak, mereka sadar… bukan cinta yang mengikat keluarga mereka, melainkan dosa yang belum ditebus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lautan Ungu_07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 05 Tanggung Jawab
Malam berlalu dalam sekejap mata. Hari telah berganti, udara pagi ini masih terasa dingin, matahari masih ragu untuk bersinar. Aroma tanah semalam masih tercium.
Dengan perasaan yang tenang. Alka memanaskan motor Kawasaki 250SL, berwarna hitam doff itu, ia duduk di lantai teras rumah, membetulkan tali sepatu yang terlepas.
Dari arah garasi, mobil Pajero sport putih kini keluar. Melaju pelan menuju gerbang. Awalnya semua terlihat akan aman, karena jalanan halaman masih luas. Tapi gak lama...
Brukh...
Motor Alka terguling, di dalam mobil, Fellisya hanya tersenyum sinis.
Alka langsung bangkit, melemparkan helm ke kaca belakang mobil. "STRESS!!" teriaknya, sambil kembali membangunkan motornya. Alka tahu, Fellisya sengaja menabrak motornya.
Mobil itu berhenti, Fellisya keluar dari dalamnya. "Siapa yang stres, manasin motor sembarangan," kata Fellisya, menatap tajam Alka.
"Nona, apa anda buta?... Jalanan ini luas, kenapa anda memilih nabrak motor, saya?" balas Alka dengan nada suara meninggi.
"Heh, jaga nada bicara kamu, ya. Kurang ajar!" Fellisya menunjuk wajah, Alka.
"Saya tidak akan seperti ini, kalau anda tidak mencari gara-gara dengan, saya." Alka tak kalah, ia mendorong dada Fellisya dengan jari telunjuknya.
"Berani kamu dengan, saya..." satu tamparan mendarat di pipi kanan Alka.
Alka menunduk menatap tanah, rasa panas dan perih itu bercampur jadi satu. Napasnya memburu, rahangnya mengeras. Menahan amarah agar tidak meledak.
"Anda pikir saya tidak berani?... Nona Fellisya yang terhormat, saya tidak takut dengan anda." kata Alka pelan tapi jelas.
Dari dalam rumah, Lista, Renata dan Varel baru saja keluar. Mereka melihat, Fellisya kembali melayangkan tamparan pada, Alka.
"CUKUP, FELI!" teriak Varel, yang kini berdiri di teras.
Dengan napas memburu, Fellisya menatap mereka sekilas, lalu kembali menatap Alka. Sorot nya tajam penuh amarah, ia langsung kembali masuk ke dalam mobil.
Renata berlari kecil ke arah, Alka. "Kak, kamu nggak apa-apa, Nak?" tangannya meraba lembut wajahnya.
"Aman, Bu. Cuma luka kecil." jawab Alka datar, ia meraih helm miliknya.
"Yaudah, kamu berangkat, sana. Hati-hati ya." Renata mengelus pelan punggungnya.
Setelah mengenakan helm, Alka naik ke atas motornya. Dan tak lama, motor itu meraung pergi.
"Kamu kenapa nggak bareng Alka, Ta?" tanya Renata yang melihat Lista masih terpaku di teras.
"Nggak, Bu." jawabnya singkat. "Aku berangkat ya, Bu."
"Hati-hati, Ta." Renata sedikit berteriak, melihat motor Lista yang sudah menjauh.
Cahaya matahari perlahan bersinar. Angin berhembus lembut, mememainkan rambut Alka. Ia berdiri di depan gerbang sekolah barunya. Seragamnya yang ia pakai berbeda dari biasanya.
Tak lama, sebuah mobil Fortuner hitam terparkir di depan gerbang sekolah. Kacanya di buka setengah.
"Alka," panggil Edgar dari dalam mobil.
Alka langsung mendekat. "Hallo, Om, apa kabar?" tanya Alka.
"Kabar saya baik, Ka. Oh iya... hari ini, Alesha mulai masuk sekolah, kamu tolong bantu jaga dia, ya." jawab Edgar sambil tersenyum ramah.
"Alesha nya mana, Om?"
"Di kursi belakang, kamu buka aja. Terus bantu dia duduk di kursi roda,"
Tangan Alka membuka pintu mobil, pelan. Saat pintu terbuka, Alesha duduk tenang di sana. Ia tak menatap Alka sedikitpun.
"Hai, saya, Alka. Hari ini, saya mulai bertanggung jawab atas kelalaian saya, yang menyebabkan kamu seperti ini." kata Alka, suaranya lembut, tapi ada gemetar halus. Seperti menahan rasa bersalah.
"Hmm," jawab Alesha.
Alka hanya tersenyum getir, ia tahu. Ini bukan hal yang mudah, yang harus Alesha terima. "Alesha, saya izin nyentuh kamu ya."
Alesha mengangguk ragu, ingin menolak. Tapi ini permohonan dari Edgar untuk membiarkan Alka membantunya.
Alka mengambil kursi roda, perlahan ia mengangkat Alesha dari kursi mobil, mendekap nya hati-hati sebelum menurunkannya ke kursi roda.
"Gimana, bisa Ka?" tanya Edgar yang duduk di kursi depan. Ia sengaja tak membantu Alka, karena ia pikir agar Alka terbiasa mengangkat Alesha.
"Aman, Om." jawab Alka, ia mengacungkan jari jempolnya, sambil ngos-ngosan.
"Saya titip ya, Ka. Kalau gitu, saya pergi dulu."
Alka mengangguk sambil tersenyum. Mobil kembali melaju di jalanan pagi yang cukup ramai.
Angin pagi kembali berhembus, kali ini lebih kencang dari sebelumnya. Membuat rambut Alesha menutupi wajahnya.
Detak jantung Alka berdegup cepat, rasa sesak menyergap dadanya. Rasa bersalah itu tak benar-benar hilang.
"Alesha, kalau lo perlu bantuan. Jangan sungkan buat minta tolong sama gue ya." kata Alka, menatap rambut Alesa dengan sorot permohonan.
"Hmm," jawab Alesha pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Begitu tiba di koridor sekolah. Lista berlari kecil menghampiri Alka dan Alesha.
"Hai, gimana kondisi, lo? Masih ada yang sakit?" tanya Lista, ia berlutut di hadapan Alesha.
"Yaa gini, Ta. Sakitnya udah mendingan, tapi... efeknya yang belum membaik." jawab Alesa dengan nada pasrah.
Lista tersenyum lembut, lalu menepuk pelan lengannya. "Lo pasti sembuh, Aesh. Gue yakin... lo pasti bisa jalan layak biasa lagi."
Lista kembali berdiri. "Awas, Ka. Biar gue aja yang dorong."
"Enak aja, ini tanggung jawab gue, udah tugas gue juga kali," Alka menolak, ia kembali mendorong Alesha pelan.
"Lo nggak tahu kelasnya, Alkaezar." teriak Lista, menepis tangan Alka.
"Yang dorong gue, lo ngikutin aja. Sekalian kasih arahan nya," Alka mengeratkan pegangannya.
"Gue aja, Alka. Aesh nggak kenal sama, lo." Lista masih mencoba menepis tangan, Alka.
Perdebatan kecil mereka mengundang tatapan dari beberapa murid yang lewat. Terdengar bisikan kecil yang masih terdengar oleh Alka.
"Kallista versi cowok."
"Mereka kembar atau adek, kakak?"
Alka hanya menatap mereka, lalu tersenyum menyapanya.
"Awas, Ta. Gue mau jalan ini," Alka menepis tangan Lista.
"Lo yang awas, Alka."
"Biar gue aja yang dorong, Alesha," suara seseorang kini menghentikan perdebatan kecil mereka.
"Siapa lagi, lo. Mau ikutan juga, rebutin yang dorong." kata Alka, nadanya sedikit kesal.
"Gue, Jehan. Pacarnya, Alesha." balas Jehan pelan.
Alka mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ohh, pacarnya. Lo nggak patas ada di belakangnya, pasangan harus di sampingnya." kini Alka mendorong kursi roda itu dengan sedikit lebih cepat.
"Alka, mending cowok gue aja yang dorong," kata Alesha akhirnya.
"Nggak! lo harus sama gue, karena gue harus bertanggung jawab." Alka kembali mendorong kursi roda itu dengan perlahan, dan mengabaikan panggilan dari Lista dan Jehan.
Bagi Alka, tanggung jawab tetap harus di jalani. Walau dalam hatinya ia tak pernah benar-benar tahu. Apakah dirinya memang bersalah, atau hanya sedang menanggung dosa orang lain.
Di sela rasa sesak itu, ia rindu sambutan Cakra pagi hari saat dirinya tiba di sekolah. Rindu Athar juga yang selalu jadi penengah antara dirinya dan Cakra jika sedang berdebat.
Sekarang, semuanya terasa sepi. Sekolah baru, wajah baru, dan rasa bersalah yang masih menempel di dadanya.
Tapi ya sudah, pikirnya. Mungkin ini jalan yang harus ia tempuh, meski kebenaran belum tentu berpihak padanya.
"Inget, Athar sama Cakra," gumamnya pelan. Tapi Lista mendengarnya.
Lista berdecak, lalu terkekeh pelan. "Lebay banget, lo. Nanti sore juga, lo ketemu lagi sama dua bocah itu."
Lista berjalan mendahului, lalu berbelok masuk ke dalam kelas.