Ketika takdir bisnis mengikat mereka dalam sebuah pertunangan, keduanya melihatnya sebagai transaksi sempurna, saling memanfaatkan, tanpa melibatkan hati.
Ini adalah fakta bisnis, bukan janji cinta.
Tapi ikatan strategis itu perlahan berubah menjadi personal. Menciptakan garis tipis antara manipulasi dan ketertarikan yang tak terbantahkan.
***
"Seharusnya kau tidak kembali," desis Aiden, suaranya lebih berbahaya daripada teriakan.
"Kau datang ke wilayah perang yang aktif. Mengapa?"
"Aku datang untukmu, Kak."
"Aku tidak bisa membiarkan tunanganku berada dalam kekacauan emosional atau fisik sendirian." Jawab Helena, menatap langsung ke matanya.
Tiba-tiba, Aiden menarik Helena erat ke tubuhnya.
"Bodoh," bisik Aiden ke rambutnya, napasnya panas.
"Bodoh, keras kepala, dan bodoh."
"Ya," bisik Helena, membiarkan dirinya ditahan.
"Aku aset yang tidak patuh."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hellosi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Di sebuah perpustakaan, Reyhan duduk di meja paling pojok, terhalang oleh rak-rak buku. Itu adalah tempat ternyaman untuk menyendiri, jauh dari hiruk pikuk Helios Academy.
Tiba-tiba, seseorang duduk di sampingnya, meletakkan kepalanya di atas meja dengan napas berat.
Ya, di tengah kebisingan Helios Academy yang terus mengganggunya, Helena menemukan tempat istirahat yang nyaman untuk sementara waktu, yaitu di dekat Reyhan.
Meskipun Reyhan tidak sedingin atau tak tersentuh seperti Aiden, bagaimanapun dia adalah Aliston, sehingga tidak ada yang berani mengusik mereka.
"Bagaimana hari-harimu di sekolah baru?" tanya Reyhan, entah bertanya atau mengejek.
"Kau masih menanyakannya?" balas Helena dengan desahan kesal.
Tawa ringan yang langka keluar dari bibir Reyhan.
Helena menoleh dan menatapnya. "Reyhan, kau tidak kesal atau marah?"
"Kenapa aku harus?" tanya Reyhan, bingung.
"Bukankah perebutan pewaris Aliston masih menjadi persaingan antara kamu dan Kak Aiden? Tapi mengapa semua orang seolah menganggap Kak Aiden adalah pewaris yang sah saat ini?"
"Bukankah sudah jelas? Persaingan itu hanya formalitas," jawab Reyhan, senyum tipis muncul di wajahnya.
"Lagi pula, Kak Aiden luar biasa dan cocok untuk memimpin Aliston di masa depan."
"Kenapa, kau tidak ingin menjadi pewaris?" tanya Helena lagi.
Namun, senyum pahit muncul di wajah Reyhan.
"Aku ingin, aku berusaha, tapi aku selalu kalah sejak dulu."
"Lagi pula, kau meremehkan kegilaan ayahku. Sejak awal, aku hanyalah alat asah untuk mempertajam Kak Aiden." Reyhan menatap mata Helena, sorotnya kosong.
"Sejak awal, pewaris Aliston adalah Kak Aiden."
Hembusan napas berat keluar dari mulut Helena.
"Untung saja ayahku terlahir sebagai pria. Jika dia adalah wanita, dengan betapa ambisiusnya Paman Henhard pada ayahku, bukankah hidupnya akan menderita?" ucapnya asal, yang membuat Reyhan tertawa terbahak-bahak.
Tawa yang jarang keluar itu kini pecah, mengisi keheningan yang nyaman di antara rak buku. Dan membuka sedikit ruang kecil di hati Reyhan.
***
Jauh sebelum Helios Academy, rumah keluarga Aliston adalah medan pertempuran.
Henhard Aliston, seorang pria yang percaya bahwa kelemahan adalah dosa, tidak pernah menganggap kedua putranya sebagai anak-anak.
Mereka adalah aset, dan dia harus memastikan bahwa salah satunya akan menjadi yang paling kuat.
Setiap minggu, dia memberikan mereka "tantangan".
Bukan teka-teki bisnis, tetapi permainan yang dirancang untuk menguji kecerdasan dan kekuatan mereka.
Suatu hari, dia memberikan mereka dua set balok yang identik. Aturannya sederhana, siapa yang bisa membangun menara tertinggi, akan menjadi pemenang.
Aiden, yang berusia sepuluh tahun, dengan cepat menganalisis balok-balok itu.
Dia membangun pondasi yang kokoh, lalu dengan cermat menumpuk setiap balok dengan teliti. Dia tidak peduli dengan balok-balok yang terjatuh, dia hanya fokus pada tujuannya.
Reyhan, yang berusia delapan tahun, sebaliknya, lebih peduli pada keindahan menara itu. Dia mencoba membangun menara yang artistik, dengan pola-pola yang rumit. Dia berhati-hati, tetapi setiap balok yang dia tumpuk selalu terjatuh.
Reyhan merasa frustrasi dan putus asa.
Henhard, yang mengamati dari jauh, hanya tersenyum mengejek.
"Kau terlalu lembut, Reyhan," katanya.
"Kau tidak akan pernah bisa menjadi yang terbaik jika kau terus memikirkan keindahan."
Aiden, yang telah menyelesaikan menaranya, menatap Henhard.
***
Kisah perjodohan Helena Nelson dan Aiden Aliston telah menjadi perbincangan hangat di media sosial, melambungkan harga saham dan popularitas kedua perusahaan.
Media bisnis dan hiburan tergila-gila pada pasangan muda ini, memamerkan mereka sebagai dongeng modern yang memukau.
Untuk memperkuat narasi ini, Henhard mengutus Aiden sebagai perwakilan Aliston Corporation di sebuah acara amal bergengsi, ditemani Helena yang mendampinginya sebagai perwakilan Nelson Corporation.
Mereka adalah wajah baru kemurahan hati dan kekuasaan, dan media tidak akan melewatkan kesempatan ini.
Di malam acara, ballroom hotel bintang tujuh berkilauan di bawah cahaya lampu kristal. Karpet merah dipenuhi oleh para pengusaha, politisi, dan selebriti, namun semua mata tertuju pada saat Aiden dan Helena tiba.
Aiden, dengan setelan jas hitam yang dibuat khusus, tampak tak terjangkau. Di sisinya, Helena memancarkan kelembutan dalam gaun malam yang sederhana. Senyumnya yang sempurna melengkapi penampilannya.
Di depan kamera, mereka berpose dengan percaya diri, senyum mereka terlihat natural.
Wartawan menyerbu mereka dengan pertanyaan.
"Bagaimana perasaan kalian menjadi pasangan muda yang paling disukai saat ini?"
"Apakah kalian merasa tertekan oleh ekspektasi publik?"
"Apa kalian menyukai perjodohan ini?"
Aiden, dengan suaranya yang tenang dan penuh wibawa, menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan lancar dan menghindari gosip.
"Kami merasa bangga bisa mewakili keluarga kami dan berkontribusi pada acara amal ini," katanya, sambil memegang tangan Helena.
Helena tersenyum dan mengangguk, matanya berbinar.
Helena tahu dia adalah aktris utama dalam pertunjukan ini, dan harus memainkan perannya dengan sempurna.
Saat para wartawan pergi, keheningan menyelimuti mereka. Di tengah para tamu yang sibuk bersosialisasi, mereka bisa berbicara secara terbuka.
"Kak, mereka semua bermuka dua," bisik Helena menilai, suaranya penuh dengan gosip.
"Mereka berpura-pura peduli pada amal, padahal yang mereka lakukan hanyalah pencitraan dan memperluas koneksi."
"Bukankah kita juga berpura-pura?" tanya Aiden, matanya menatap ke wajah Helena.
Helena tersenyum. Bukan senyum yang dibuat-buat, melainkan senyum tulus.
"Kita berbeda," jawabnya.
"Kita tahu bahwa kita berpura-pura."
Aiden tertawa mendengar bualan gadis di sampingnya. Tawanya ringan, tetapi penuh dengan apresiasi.
Di tengah obrolan harmonis itu, datang kerabat dari keluarga Aliston.
Alaric dan istrinya, Clara, mendekat dengan senyum palsu yang menyembunyikan niat jahat mereka.
"Aiden, kau di sini. Kau sudah jauh lebih tinggi dari terakhir kali aku melihatmu," sapa Clara, nadanya terdengar manis dan penyayang.
"Paman, Bibi apa kabar?" balas Aiden, menyapa kedua tetua itu.
Helena, yang menyadari tatapan ingin tahu mereka mengikuti jejak Aiden untuk menyapa.
"Halo Bibi, Paman. Perkenalkan, namaku Helena Nelson," kata Helena, suaranya lembut.
"Anak yang cantik," kata Alaric. "Kau tunangan Aiden, kan?"
"Ya, Paman," jawab Helena.
"Kalian berdua serasi," tambah Clara.
"Terima kasih, Paman, Bibi," balas Helena, senyumnya tidak goyah sedikitpun.
Alaric dan Clara saling bertatapan, mencoba mencari celah.
Mereka berharap bisa melihat kecemasan atau ketidaknyamanan dari Helena, tetapi dia tetap tenang dan percaya diri.
Alih-alih mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka harus pergi dengan tangan kosong.
Setelah kedua tetua itu pergi, Helena menatap mata Aiden dengan penasaran.
Meskipun di permukaan mereka terlihat baik, Helena merasakan kepalsuan yang menusuk. Dia melihat bagaimana senyum hangat itu tidak sampai ke mata, dan setiap pujian yang diberikan terasa seperti jebakan.
"Tetua keluarga Aliston benar-benar menyayangi junior mereka," sindir Helena, nadanya penuh dengan makna tersembunyi.
"Mereka bahkan menyapa kita terlebih dahulu, sungguh patut untuk dihormati."
Senyum Aiden semakin dalam. Dia membalas tatapan mata Helena sebagai pujian atas insting tajam gadis itu.
Helena tidak hanya cantik, dia juga cerdas. Dia melihat lebih dari sekedar permukaan.
"Kau benar-benar ingin mengorek semua hal tentang Aliston?" tanyanya, suaranya penuh hiburan.
"Jika pertunangan ini berhasil, bukankah aku akan menjadi bagian dari keluarga Aliston?" ucap Helena, membenarkan alasannya.
"Tidak rugi untuk mempersiapkannya sejak awal."
"Daripada menyayangi, mereka hanya menilai," balas Aiden, suaranya berbisik.
"Mereka menilai semua yang ada di sekelilingku, terutama pertunangan kita."
Helena mengerti. Di dunia mereka, setiap orang adalah pemain, dan setiap interaksi adalah bagian dari permainan yang lebih besar.
***
Acara amal itu memiliki efek luar biasa. Media dan publik tak puas hanya dengan satu penampilan, sehingga sorotan kini sepenuhnya tertuju pada Aliston dan Nelson.
Henhard Aliston, yang melihat ini, tertawa bangga. Ini adalah kemenangan yang manis, sebuah bukti bahwa bahkan emosi bisa dijual.
Henhard memanggil Aiden ke ruangannya.
"Aiden, kau lihat? Terkadang hal-hal sepele seperti ini dapat menimbulkan gejolak di pasar," ungkap Henhard, memberikan arahannya.
"Aku tidak menyangka drama roman picisan dapat memengaruhi pasar secara signifikan" ungkap Aiden, pria ambisius itu seolah mendapat taktik baru.
Mata Henhard berbinar.
"Mata publik kini menatap Aliston dan Nelson, Aiden. Jadi, bagaimana menurutmu?"
Aiden tersenyum.
"Aku akan menghubungi Helena."
"Kencan di akhir pekan sepertinya menyenangkan."
Henhard tertawa mengerti.
"Kau memang Aliston," ucap Henhard bangga.