Dr. Tristan Aurelio Mahesa, seorang dokter jenius sekaligus miliarder pemilik rumah sakit terbesar, dikenal dingin, tegas, dan perfeksionis. Hidupnya hanya berputar di sekitar ruang operasi, perusahaan farmasi, dan penelitian. Ia menolak kedekatan dengan wanita mana pun, bahkan sekadar teman dekat pun hampir tak ada.
Di sisi lain, ada Tiwi Putri Wiranto, gadis ceria berusia 21 tahun yang baru saja resign karena bos cabul yang mencoba melecehkannya. Walau anak tunggal dari keluarga pemilik restoran terkenal, Tiwi memilih mandiri dan bekerja keras. Tak sengaja, ia mendapat kesempatan menjadi ART untuk Tristan dengan syarat unik, ia hanya boleh bekerja siang hari, pulang sebelum Tristan tiba, dan tidak boleh menginap.
Sejak hari pertama, Tiwi meninggalkan catatan-catatan kecil untuk sang majikan, pesan singkat penuh perhatian, lucu, kadang menyindir, kadang menasehati. Tristan yang awalnya cuek mulai penasaran, bahkan diam-diam menanti setiap catatan itu. Hingga akhirnya bertemu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Pagi itu, kediaman mewah milik Tristan berbeda dari biasanya. Biasanya rumah itu seperti museum hening, dingin, seakan tak berpenghuni meski segala fasilitas ada. Namun kali ini, ada hawa lain. Ada aroma hangat yang merayap dari dapur, bercampur dengan suara riang seorang gadis yang sama sekali tak cocok dengan suasana rumah sebesar itu.
Tiwi, dengan celemek bermotif kelinci yang ia bawa sendiri dari rumah, sedang sibuk memotong sayuran. Sesekali ia menggoyangkan pinggulnya mengikuti irama lagu yang hanya ia nyanyikan sendiri.
“Lalala… ayam panggang lemon, salad quinoa, sayur kukus, sehat-sehat semuanya… kalau masih dingin, kasih sambel biar HOT,” Tiwi bersenandung dengan nada seenaknya, suaranya jernih meski liriknya ngawur.
Di sela-sela aktivitasnya, ia sempat celingak-celinguk. “Hmmm… kok rumahnya terasa beda ya? Biasanya hawa dingin banget, kayak masuk kulkas raksasa. Tapi sekarang… entah kenapa kayak agak anget. Apa perasaan gue aja?”
Ia mengedikkan bahu, lalu kembali fokus pada panci sup yang sedang mendidih.
Sementara itu, di lantai atas, langkah kaki seorang pria terdengar berat namun mantap. Tristan Aurelio Mahesa baru saja pulang subuh tadi dari tugas malam. Rambut hitamnya agak berantakan, dasi sudah dilepas, kemejanya setengah terbuka memperlihatkan leher yang tegang.
Ia berniat langsung ke kamarnya, tapi langkahnya terhenti ketika samar-samar ia mendengar suara. Bukan suara televisi, bukan radio, melainkan… nyanyian riang bercampur suara panci.
Alis Tristan terangkat. Sejak kapan rumah ini ada suara seperti ini? Biasanya, rumah hanya berisi derit pintu atau dengung AC.
Tanpa banyak pikir, ia menuruni tangga perlahan, menuju arah dapur.
Begitu sampai di ambang pintu dapur, Tristan berhenti. Pandangannya tertuju pada sosok mungil di tengah ruangan.
Seorang gadis dengan rambut panjang diikat tinggi, wajah segar tanpa riasan, kulit putih bersih, dan mata besar yang berbinar. Ia melompat-lompat kecil sambil mengaduk sup, sesekali menepuk-nepuk spatula seakan sedang mengiringi musik.
Tristan terpaku.
Ini… ART yang dikirim Mama? Aku kira usianya tiga puluhan… ternyata… gadis kecil?
Pikirannya kacau. Ia terbiasa menghadapi suster senior, dokter ahli, investor berjas mahal. Tapi yang ada di depannya sekarang… seperti remaja SMA yang tersesat ke rumahnya.
Dan saat Tiwi menoleh ke samping untuk mengambil piring, cahaya pagi dari jendela jatuh tepat ke wajahnya. Wajah manis itu seakan menyala, membuat dada Tristan terasa… aneh. Sesuatu bergetar, sebuah sensasi yang sudah lama hilang dari hidupnya.
Jantungnya berdetak lebih cepat. Apa-apaan ini?
Sementara itu, Tiwi belum menyadari keberadaan pria di belakangnya. Ia masih sibuk menaburkan parsley di atas ayam panggang. Lalu tanpa sengaja ia menoleh, dan…
“YAAAAA! Astaga naga kebakaran kandang!!!” serunya kaget begitu melihat sosok tinggi menjulang berdiri di ambang pintu.
Tangannya refleks melempar spatula yang masih ia pegang.
“Siapa kamu?! Maling ya?! Maling ganteng sih, tapi tetap aja maling nggak boleh masuk rumah orang!”
Spatula melayang dan hampir mengenai dada Tristan, tapi pria itu dengan refleks cepat menangkapnya di udara.
Tiwi ternganga. “Wuih, reflek abang! Latihan ninja berapa tahun?”
Tristan masih terdiam, matanya menatap lurus ke arah gadis itu. Ekspresi dinginnya tak berubah, tapi dalam hatinya ada badai yang tak bisa ia kendalikan.
Setelah beberapa detik hening, Tiwi akhirnya berdehem. “Eh… tunggu… jangan-jangan kamu…” Ia memicingkan mata, menatap dari atas ke bawah. Jas mahal, wajah dingin, aura perfeksionis… Tiwi langsung menepuk jidatnya sendiri.
“YA AMPUN!!! Jangan bilang kamu… Dr. Tristan Aurelio Mahesa?!”
Tristan hanya mengangkat alis tipis, seakan mengonfirmasi tanpa kata.
Tiwi menutup mulutnya sendiri, lalu kembali latah. “Astaga beneran! Gila! Gue tadi hampir lempar spatula ke pemilik rumah sakit! Duh, kalau Tante Tina tahu bisa-bisa gue disemprot pakai micin!”
Tristan akhirnya bicara, suaranya berat dan dalam. “Kamu… ART baru yang dikirim Mama?”
Tiwi mengangguk polos. “Yap! Nama saya Tiwi, panggil aja Tiwi. Full service, bisa masak, bisa nyanyi, bisa bikin rumah ini nggak kerasa kayak kuburan.”
Pria itu terdiam lama. Tatapan matanya seperti sedang menilai dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Tiwi merasa gerah ditatap begitu. “Eh, Pak Dokter, jangan tatap kayak lagi scan MRI dong. Saya manusia, bukan tumor.”
Tak disangka, bibir Tristan sedikit terangkat. Sangat tipis, nyaris tak terlihat.
“Kenapa kamu yang dikirim?” tanyanya akhirnya, kembali datar.
Tiwi mengangkat bahu santai. “Karena nggak ada yang berani kerja di sini, katanya aura tuan rumah dingin kayak freezer. Jadi… yaudah aku aja. Lagian, aku suka tantangan.”
Tristan menghela napas, seakan menahan sesuatu. “Kamu sadar ini bukan main-main? Ini rumahku. Bukan tempat untuk coba-coba.”
“Tenang aja, Pak Dokter. Saya serius. Bukanya pak dokter sudah mencicipi masakan saya beberapa hari ini dan juga bagaimana dengan note mini saya suka kan, dan Lihat nih,” Tiwi menunjuk ayam panggangnya dengan bangga. “Makan siang sehat, bebas minyak, bebas micin, tapi tetap enak. Dijamin nggak bikin kolesterol naik. Kalau nggak percaya, coba aja.”
Tristan melangkah mendekat, mengambil garpu, dan menusuk sedikit potongan ayam itu. Ia mencicipi perlahan.
Hening.
Tiwi menunggu dengan mata berbinar, tapi dalam hati deg-degan. Ya Tuhan, kalau dia bilang nggak enak, gue harus siap-siap jadi headline berita: ART dipecat gara-gara ayam gosong.
Akhirnya Tristan berkata singkat. “Lumayan.”
Tiwi ternganga. “Lumayan? Serius? Itu doang komentarnya? Saya hampir bakar alis demi masakan ini, masa cuma ‘lumayan’?”
Tristan menatapnya datar. “Kalau enak, saya bilang enak. Kalau lumayan, berarti lumayan.”
Tiwi mendengus. “Ya ampun, komentar dingin banget. Untung saya nggak bikin es batu, bisa-bisa dibilang ‘biasa aja’ juga.”
Tristan ingin menjawab, tapi suaranya tercekat ketika kembali menatap wajah gadis itu. Ada sesuatu yang membuatnya sulit mengalihkan pandangan. Wajah polos, senyum lebar, sorot mata yang hangat. Semua itu kontras dengan dunia hitam-putih yang selama ini ia jalani.
Dan yang paling mengejutkan: jantungnya masih berdegup cepat.
Sejak kapan terakhir kali aku merasa seperti ini? batinnya.
Tiwi, di sisi lain, masih gemetar karena sadar ia baru saja memarahi pemilik rumah sakit. Namun bukannya menyesal, mulutnya malah terus berkomentar.
“Eh, Dokter… kalau setiap hari mukanya kaku gitu, bisa cepat keriput loh. Makanya jangan pelit senyum. Senyum itu sehat, gratis pula.”
Tristan terdiam lagi. Ia menatap gadis itu lama, lalu… entah mengapa, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, bibirnya benar-benar terangkat lebih jelas. Sebuah senyum tipis, tapi nyata.
Tiwi terbelalak. “ASTAGA! Dia senyum! Ya Tuhan, dunia kiamat! Es kutub meleleh!”
Tristan spontan menahan tawa, meski hanya sedikit terdengar seperti hembusan napas. “Kamu terlalu berisik.”
Tiwi menepuk dada. “Yah, mending berisik daripada jadi zombie dingin. Setuju nggak, Pak Dokter?”
Tristan tidak menjawab. Ia hanya berjalan melewati Tiwi, mengambil segelas air, lalu menuju kamarnya. Tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang tak bisa ia abaikan.
Sementara Tiwi berdiri di dapur, menatap punggung pria itu sambil menggaruk kepala. “Ya Allah, ternyata dokter dingin itu masih punya fungsi ketawa juga. Tantangan dimulai!”
Bersambung…
weezzzzz lah....di jamin tambah termehek-mehek kamu....🤭
Siapa sih orang nya yang akan diam saja, jika dapat perlakuan tidak baik dari orang lain? Tentunya orang itu juga akan melakukan pembalasan balik.
Lope lope sekebon Author......🔥🔥🔥🔥🔥
Tak kan mudah kalian menumbangkan
si bar bar ART.....💪🔥🔥🔥🔥🔥