Elara dan teman-temannya terlempar ke dimensi lain, dimana mereka memiliki perjanjian yang tidak bisa di tolak karena mereka akan otomatis ke tarik oleh ikatan perjanjian itu itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Rush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Elara terbangun di tempat tidurnya. Tubuhnya terasa pegal dan lelah, tapi pikirannya masih dipenuhi kenangan mimpi semalam , bertemu dengan orang tuanya, bahkan orang tua Brian.
"Apa itu mimpi? Mereka sangat baik," ucap Elara sambil tersenyum, masih terbuai perasaan hangat yang anehnya menenangkan hatinya.
Tanpa menunggu lama, dia bangkit, mandi, dan mengganti pakaian dengan seragamnya. Saat keluar, matanya langsung menangkap sosok Arsen, Lysandra, dan Brian yang sedang bersiap.
"Ohhh, hai Arsen, Lysandra, dan juga Brian," sapa Elara dengan nada malas, menyapu pandangannya ke Brian sekilas.
"Gak butuh sapaan," jawab Brian datar, tak bergeming dari tempatnya.
Heh, pikir Elara, Brian tetap seperti biasanya. Tapi matanya tetap menyelinap melihatnya, seperti ada sesuatu yang ingin dikatakannya tapi tertahan.
"Heh, Arsen… Kamu gak nikah sama Selena kan?" tanya Elara, setengah bercanda, setengah serius.
"Bukan urusanmu!" balas Arsen, menatap Elara dengan mata yang dingin tapi menyembunyikan sedikit rasa penasaran.
Elara menatapnya sejenak, lalu tanpa ragu dan dengan nada barbar, ia langsung menembakkan pertanyaan itu:
"Arsen, mau kan menikah denganku?"
Tiba-tiba suasana berubah. Brian dan Lysandra terkejut, bahkan minuman yang mereka pegang muncrat ke udara, menandakan betapa tak siapnya mereka mendengar pertanyaan itu.
Arsen menatap Elara, diam sejenak, seolah mencoba memproses keberanian gadis itu. Senyum tipis namun sulit ditebak mulai muncul di wajahnya, sementara Brian dan Lysandra masih tercengang, tak bisa menahan kombinasi rasa kesal, kaget, dan entah kenapa sedikit… sakit hati yang muncul diam-diam.
Elara tersenyum nakal, menatap reaksi mereka dengan penuh kemenangan kecil, tak peduli dunia duplikat atau kloning ini seolah hanya menjadi panggung untuk uji keberanian dan perasaan mereka semua.
....
Elara merangkul Mira begitu mereka bertemu.
"Mira..." teriak Elara, separuh senang, separuh cemas kalau teman dekatnya bakal mengomel.
"Bawa makanan nggak?" tanya Elara, menatap Mira dengan mata berbinar.
"Kamu doyan makan tapi badan tetap saja nggak berkembang," ucap Mira sambil menyeringai.
"Karena hatiku senang dan juga makanan hanya numpang lewat saja di lambungku," jawab Elara santai, sambil tertawa kecil.
Mira menatapnya sejenak, lalu menurunkan suaranya. "Elara, aku semalam mimpi aneh."
"Apa mimpi tentang itu?" bisik Elara, penasaran.
"Kamu juga?" Mira menoleh.
"Apa mereka juga sama?" tanya Elara, ragu-ragu.
"Mungkin," jawab Mira singkat.
"Apa itu suatu pertanda?" Mira melanjutkan, matanya sedikit tegang tapi mencoba terdengar ringan.
"Pertanda apa?" Elara balik bertanya, sedikit bingung.
"Pertanda kita sedang tidur," Mira terkekeh.
"Heh, sejak kapan kamu ngeselin, Mira?" Elara mengerutkan kening, meskipun hatinya sedikit terhibur.
"Terlalu lama bergaul dengan kamu," jawab Mira sambil tersenyum, membuat Elara menghela napas panjang.
Mereka berjalan sambil mengobrol ringan, tertawa, dan sesekali saling menendang ringan kaki satu sama lain.
"Elara, Mira," sapa Selena yang tiba-tiba muncul.
"Hai, Selena. Ada apa?" tanya Mira ramah.
"Kita ke kelas bareng," jawab Selena singkat.
"Kamu nggak bersama suamimu?" Elara menatapnya dengan nada ketus tapi tidak terlalu jelas.
"Dia belum datang," jawab Selena datar.
Elara menatapnya sejenak, lalu tak sengaja keluar pertanyaan kepo-nya: "Eh, emang pernikahan tolak bala sah ya? Maksudnya kalian malam pertama nggak, eh..."
Ucapan itu terhenti tiba-tiba ketika dia dijitak oleh Brian dari jauh, sihir jarak jauhnya.
"Brian..." Elara menggerutu kesal, menahan rasa malu.
"Mana Brian?" Maria menghampiri mereka dengan cepat, penasaran.
"Gak tahu, gelantungan paling di pohon toge," keluh Elara kesal, masih menahan pipinya yang sedikit perih.
Brian, dari atas pohon, tersenyum sinis sambil menatap mereka.
...
Mereka sudah sampai di kelas.
"Eh, sadar nggak sih bahwa Brian sekarang terlihat tampan dengan rambut pendeknya," ucap Maria sambil menatap Brian dari jauh.
"Emang dulu dia jelek ya?" tanya Elara penasaran.
"Dia nggak jelek, hanya angkuh. Dulu rambutnya panjang, tapi sekarang baru sadar saat latihan bersamanya," jawab Maria dengan senyum puas.
"Jatuh cinta kamu?" Selena menimpali, menatap Maria penuh selidik.
"Kepincut pangeran angkuh klan iblis," ucap Jesika sambil tertawa kecil.
"Eh, sekarang kita belajar sihir di mana?" tanya Maria, ingin mengalihkan perhatian dari gosip tadi.
"Area terlarang," jawab Selena singkat.
"Kenapa di sana? Bukankah kita nggak boleh memasuki kawasan itu kecuali klan iblis, itu pun intinya tetap nggak bisa disentuh, hanya tetua yang bisa," tanya Mira, sedikit khawatir.
"Kurang tahu sih, sepertinya karena kita, mungkin ,akan dijelaskan apa yang tidak boleh dilakukan di area terlarang itu," jawab Selena sambil berjalan di depan mereka.
"Gurunya plin-plan tuh, katanya nggak boleh tapi malah belajar sihir di sana," Elara menimpali, agak cemas tapi penasaran.
"Heh, nggak boleh bilang kaya gitu," sahut Maria cepat, mencoba menenangkan suasana.
"Apa kita akan langsung belajar ke sana atau gimana?" tanya Jesika, sedikit gelisah.
"Satu jaman lagi kayanya," jawab Selena.
Mereka semua mengangguk, menunggu dengan sabar.
Profesor Lyra datang, langkahnya pelan tapi matanya kosong, seolah memandang dunia lain.
Elara sedikit terkejut, hatinya berdesir aneh.
"Apa jiwanya hilang? Tapi diambil siapa? Tuhan? Tapi kenapa dia masih hidup?" pikir Elara dalam hati.
"Kenapa dirinya bisa melihat semuanya?" pikir Elara lagi, semakin bingung.
"Ada apa, Elara?" tanya Lyra, suaranya lembut tapi tegas.
"Enggak..." jawab Elara, masih mencoba mencerna perasaannya sendiri.
"Ada yang berbeda?" pikir Elara, menatap Lyra dengan campuran penasaran dan cemas.
Ia merasa aneh pada dirinya sendiri, ada sesuatu yang berbeda dalam energi dan penglihatannya.
...
Kini mereka sudah berada di dalam area terlarang. Kebetulan, area ini dekat dengan danau yang tenang namun memancarkan aura misterius.
Mereka berjalan mengelilingi area itu bersama Lyra.
"Di sini, kalian bisa menggunakan kekuatan kalian sesuka hati. Tapi ingat, setiap tindakan punya konsekuensi. Jangan meremehkan energi di sekitar kalian," jelas Lyra dengan nada serius.
Elara menatap danau, matanya menyipit, mencoba merasakan energi yang berbeda. Ia bisa merasakan kekuatan yang seolah hidup sendiri di sekitar mereka.
Brian berdiri agak jauh, tatapannya tetap dingin tapi matanya sesekali mencuri melihat ke Elara.
Lysandra berjalan di samping Arsen, menahan senyum kecil tapi terlihat dongkol di dalam hati.
Dorion dan Mira berjalan bersama, tampak lebih santai, tapi ada kehangatan kecil yang muncul di antara mereka, terlihat dari tatapan sesekali yang saling bertukar.
Elara menarik napas panjang, menatap teman-temannya, dan berbisik pelan pada dirinya sendiri, "Kalau kekuatan bebas digunakan di sini, aku harus hati-hati… tapi juga bisa belajar banyak walau entah apa yang akan terjadi."
Di kejauhan, permukaan danau berkilat, seolah menunggu sesuatu yang akan terjadi.
...
Yang lain sudah mulai berlatih bersama para senior di area terlarang, masing-masing menyalurkan kekuatan mereka dengan penuh semangat. Elara hanya berdiri di tepi, menatap mereka dengan raut bingung dan sedikit cemas.
"Kamu kenapa?" tanya Lysa sambil mendekat, nada suaranya mencurigakan.
"Ada yang aneh sih, tapi nggak tahu apa," jawab Elara, matanya masih menatap kerumunan teman-temannya yang berlatih.
"Kamu nggak latihan?" Arsen muncul di sampingnya, menatap Elara dengan tajam tapi penasaran.
"Bukannya kita dilarang memasuki area ini, tapi kenapa kita latihan di sini?" tanya Elara, nadanya serius. Pertanyaan itu membuat Arsen terdiam sejenak.
"Bukannya kamu yang paling tahu, Arsen?" Lysa menimpali, sedikit menantang.
"Brian, apa yang kamu rasakan?" tanya Arsen sambil menatap Brian, yang berdiri di samping dan tampak santai.
"Jalani saja dulu, urusan nanti diurusnya belakangan," jawab Brian dengan nada cuek, sambil sesekali menatap Elara yang tampak kesal.
"Brian…" geram Elara, mendengus kesal.
"Lagian perasaanmu ngaco," komentar Arsen santai, menatap Elara seolah ingin menenangkan tapi sekaligus menggoda.
"Sebenarnya feeling Brian itu bagus, Elara. Dia bisa merasakan sesuatu hal yang mungkin sama seperti kamu, tapi bedanya dia bodo amat, sedangkan kamu khawatir," jelas Arsen, nada suaranya serius tapi ada sedikit nada menertawakan.
"Kalau begitu sekarang bagaimana?" tanya Elara, masih ragu-ragu.
"Latihan saja dulu…" jawab Brian, lalu meninggalkan mereka dengan langkah tenang dan cuek.
"Ayo latihan!" seru Arsen, mencoba mengajak Elara untuk menyalurkan energinya.
Elara bergerak mendekat, ingin menyentuh tangan Arsen untuk memulai latihan, tapi begitu tangannya hampir menyentuh, tangan Arsen terasa tak bisa dijangkau.
"Arsen, kenapa tanganmu?" Elara terkejut, mundur sedikit sambil menatap tangannya sendiri.
"Mungkin karena dia terikat sama Selena…" ucap Lysa, menatap Arsen dan Elara dengan tajam.
"Gak mungkin…," gumam Elara, hatinya berdebar. Kenangan potongan mimpi yang aneh dan samar muncul di pikirannya, membuatnya terdiam sejenak.
"Kenapa?" Arsen menatap Elara, nada suaranya khawatir tapi lembut.
Elara menelan ludah, matanya masih menatap tangan Arsen yang seolah ada jarak tak terlihat. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah semua ini hanyalah efek dari perasaan dan ikatan yang tak terlihat, atau ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggu mereka di area terlarang ini.